bersenie

Aku sering berpikir, barang-barang di sekitar kita seandainya punya mulut akan berkomentar seperti apa ya? terkekeh pelan? bingung? tertawa terbahak-bahak? atau justru mengaduh-aduh?

Soalnya kan saksi dari senyumku sampai nangisnya aku cuman mereka, satu paket barang kesayangan yang setia menemani rapih dan berantakannya aku, bahagia dan murkanya aku, terhadap kamu yang sebentar ngegemesin, gak lama lagi jadi nyebelin, lalu akhirnya sayang-sayang lagi. Sebentar saja, tapi sukses membuatku jadi manusia bunglon walau kadang masih kau ledeki aku “si panikan”, tapi aku adaptif 'kan? harus begitu, itulah sebabnya aku sayang kamu.

Kalau perang dunia ketiga mulai, misalnya dalam kemungkinan besar dilingkup mikro antara kamu dan aku. Jangan lupa akhiri dengan peluk dan kecupan (lagi) ya?

Apa, ya, sebutannya? Bukan, bukan salam damai.

Ah, bahkan kalau habis damai mau bertengkar lagi jangan lupakan penutupan wajib kita ya?

Bulan september ini udaranya dingin, tak terkecuali situasi di ujung telepon.

Aku menunggu jawaban pesannya sembari menyicil tugas baca materi, sudah menjadi kebiasaanku. Aku merasakan suara lemahnya di ujung telepon sana adalah sekumpulan hari-harinya yang lelah, dan aku sungkan bertanya tiap-tiap dari penyebab jedanya yang lama, lantas aku memilih diam dan menunggunya berbicara.

Dia angkat suara, “sampai 20.45, ya? Aku ngantuk.” kulihat jam di laptop menunjukkan pukul 20.37, waktu yang tidak lama. Anehnya tenggorokanku dicekik, aku enggan berbicara apapun bahkan tidak bisa berpikir apapun.

Tiba-tiba situasinya tidak mengenakkan. Aku mohon jam segera pergi pada janjinya atau setidaknya semoga dia bercerita hal apapun seperti biasanya, tapi kini tidak.

Kulihat mode teleponnya dibisukan, dan suasana hatiku semakin memburuk. Apakah dia juga merasakan yang sama? apa dia sama sekali enggan berbicara denganku? atau 'kah aku sedang ditelepon alien?

20.45 sesuai janjinya, kita menghabiskan waktu tanpa apa-apa, dan aku meminta maaf jika diriku yang kau dapati tak semenyenangkan biasanya.

Cinta, oh, cinta. Serangkaian suka dan duka.

Aku tahu itu, dan aku pengecut. Maunya senang-senang tapi lupa bentuknya bisa jadi bencana besar.

Dan aku akan tetap jadi pengecut ketika hal itu memang datang.

Ketimbang menyalahi tuan, aku lebih senang mengutuk diri sendiri.

walaupun salahnya kita sama-sama impas cuman dikemas dalam bentuk berbeda

kau berandai-andai, bisa kembali dengan yang dulu. aku berandai-andai, gak pernah ketemu kamu.

Impas, 'kan?

Kring kring!

seratus kring berdering tak hingga badanku miring meletus semua isi-isi khayal dalam benak tentang aku yang sudah setengah sinting

Kring kring!

gelap langit kamar terang oleh bisingnya dan geramlah ranjang yang terombang-ambing karna teriak tenggorokan kering

aku terjatuh pada pukul 00.00 dan berkhianat pada janji setia di hari cerah

sunyi diganggu, ricuh diganggu

Kalo kali seribu hidup lagi, sudah hancur lempar ke dinding

Kring kring!

Kau menjelema apalagi sekarang? Jam weker-ku?

Terseok-seok langkahnya nyaris muntah darat, hiasan pesta tadi malam berubah mencekam ruang. Tubruk-menubruk badannya setipis kayu/meracau kasar/meronggoh celana/pemantik api untuk sigaretnya/mengepul aksara delima lewat asapnya. Satu dua, ia hirup udara penggerogot dada, menghembus payah rentan sukmanya. Sampai hitungan keseribu, selamat atas waras yang terselamatkan!

  • AZK, 21. Selebrasi untuk hari puisi.

Selama ini, Kita sekumpulan orang yang berbahagia, bukan? Apa aku salah?

Ya, ternyata benar bahwa aku salah.

Padahal tiap-tiap dari kami pandai menanam kasih, bertahun-tahun lamanya agar layu tak mendayu.

Lantas dia lah seekor bajingan kalau tiap dari kami tidak tahu diri, diberi makan enak, tidur nyaman, pakaian modis- tidakkah mampu dari kita untuk saling menyayangi? mencintai? mengasihi?

(tulus tanpa tapi) (sudi tanpa pamrih)

Persetan, cinta dan kasih! itu tidak cukup membuat manusia jadi manusia! dan tak pantas diberikan kepada manusia untuk hatinya tidak mau bernurani.

***

Bukanlah lagi sakit hati ini; Hatiku hancur sehancur-hancurnya, kawan. Air mata yang dikeluarkan juga percuma untuk membasuh perih.

Aku termenung memeluk diri, menjaga apa yang bisa kujaga meski sekarat jiwa dan raga.

dikirim dari A, tersayang.


Suatu hari degupan jantung paling keras dalam hidup terdengar oleh telingaku sendiri, pula nyaringnya hingga tergetar jari jemari ini. Bergelut dengan diri sendiri di masa lalu, masa kini, dan masa depan membuatku memeluk lutut seerat-eratnya lalu kubenamkan wajahku sedalam-dalamnya hingga isak tangisku bisu.

Malam itu aku mencengkeram surat untuknya, kutulis dari getih sendiri. perih dan bernada lirih. berani dan hampir mati.

“Oh Tuhan, pasrahku berikan pada binatang yang hendak mencabik-cabik dagingku; aku lelah berjuang meneriakkan suara yang kalah dengan angin badai, bersama guntur ia nyaris mencabut nyawa kendatipun lebih dahsyat keinginanku untuk bersamanya.” rintihku, bersenandung harap.

Selama ini waktu, tenaga, dan kekayaanku diberikan untuknya; meski aku masih milikku, bukan miliknya.

Setidaknya itulah hal terbaik yang telah kulakukan; meski secukupnya.

Ada satu malam dimana seribu tanya menyerang isi kepala dan kata demi kata membungkam suara.

Pada saat itu tiba ajalnya sang hati teriris oleh bayang yang tak pasti. Dia meracau kacau meminta tolong kepada pemilik sepasang telinga yang dicipta bukan untuk mendengar pilunya.

Padahal hari-harinya penuh dengan adiwarna, kabarnya.

Malam itu menjadi saksi si topeng lusuh yang kukuh tersenyum dilepas, menampakkan wajah kusut dan kotor oleh derai air mata yang lama dibendung.

Kini seluruh tatapannya kosong.

Jiwanya entah dipinjam siapa, entah diculik siapa.

Malam itu pun juga kerabat dekat tak berhenti merapal doa agar damainya segera kembali. Sebab yang terbaring lemah bukan dirinya lagi.

Atau justru yang disaksikan adalah tubuh tak bersukma.

Aku datang dari desa terpencil yang sepi, kebahagiaan yang kudapat hanya secuil, sisa-sisanya ku sumbangkan pada langit yang kian kelabu.

Kau datang dari desa terpencil yang bising, kebahagiaan yang kau dapat rekah meruak, sisa-sisanya kau bagikan pada penduduk sekitar.

Bahkan saking lebihnya, kau berikan juga padaku.

Kebahagiaan itu kubawa pulang, begitu terus hingga terbiasa akan kehadiranmu.

Namun, aku juga sering lupa. Kau punya desa yang hendak dirawat sendiri dengan segenap kasih yang tak mungkin kau bagi.

Hidupku dilanda seloroh saat berada di titik temu : Aku mengenalmu

Berjalan di atas garis dalam sepekan Mematut-matut bakal kasih yang sepakat hendak kita rawat

Kenalkan aku Si langit seribu bisu Sedang kau dikenal Segumpal awan yang gemuruh

Perbedaan yang ricuh, 'kan?

Lantas kau dan aku bermain dadu berlomba tangga mana yang membawa cita ular mana yang melahap duka

Ketika kalah darimu : Tiba-tiba aku berwujud pintu Kau gelisah mencari aku yang dulu

Segera kusambut dengan terbukanya aku meski sempat kudapati kau yang keliru nyaris mengetuk lain pintu

Aduhai tuan, jangan iseng! Nanti cepat mati.