a bittersweet day


tidak ada yang mengalah untuk memecahkan keheningan antara keduanya. raut wajah ken masih cemberut sama seperti saat ia ditarik masuk ke dalam sebuah mobil yang beberapa hari lalu sempat mengantarnya pulang.

lelaki manis itu kini tenggelam dalam lamunannya, berpikir cara melarikan diri dari aksi penculikan yang kedua kalinya dilancarkan oleh lelaki berwajah tegas disampingnya itu. namun nihil, pikirannya buntu, membuat ia berakhir dengan diam menunduk menatap tautan jari kedua tangannya di atas paha.

adnan yang tampak lebih gelisah, refleks mengetukkan jarinya pada kemudi menarik perhatian ken yang kini menoleh sekilas padanya.

“lo mau ngomong apa?”

berhasil, ken berbicara lebih dulu padanya. adnan menarik napas perlahan, menenangkan degupan dalam dadanya yang ributnya mengalahkan pentas musik tahunan kampus.

“tumben lo gak berontak gue bawa lari?”

bodoh. adnan memaki dirinya dalam hati karena mengeluarkan pertanyaan yang memancing ken untuk menolak segala tindakannya kali ini. namun yang tak ia sangka, ken hanya mendengus malas sembari merilekskan posisi duduknya di kursi samping kemudi.

“males buang tenaga, lagian gue lawan lo udah ketauan siapa yang menang.”

adnan mencoba menahan tawanya, namun gagal. ken yang mendengarnya hanya melengos memilih melihat pemandangan jalan yang pagi ini nampak lebih lengang.

“gue gak tau lo mutusin buat ngampus secepet ini.” adnan mencoba menyuarakan rasa penasarannya. saat tadi ia melihat aiden membawa ken masuk ke dalam mobilnya, ia segera mengikuti keduanya dan berakhir dengan tujuan kampus. sebenarnya hari ini ia tak ada niat ke kampus sama sekali, dan telah meminta bantuan kembali pada kale untuk menggantikan jadwalnya.

ken masih betah dengan posisinya, tak menoleh sama sekali pada si penanya sembari menjawab, “mager di rumah, gue kangen baksonya bu noni.”

“sekarang masih mau bakso? mau mampir dulu gak?”

“gak usah, udah gak nafsu.”

adnan masih bingung dengan apa yang ken pikirkan, lelaki itu tidak menolak ajakannya pergi pun tak menampakkan setuju untuk ia ajak pergi. ia kembali memutar otak untuk mencoba membuat ken menyatakan keinginannya.

“lo gak penasaran bakal gue ajak kemana?”

“gak, gak mood.”

nampak tak menemui hasil sesuai harapannya, adnan memilih fokus pada jalanan yang kini ia lalui dengan mobilnya yang berkecepatan setingkat lebih tinggi dari biasanya. berterimakasihlah pada suasana pagi yang nampak lebih bersahabat, walaupun tak merubah atmosfer antara kedua orang yang duduk berdampingan dalam kendaraan roda empat itu.

hingga mobil itu berhenti di depan suatu apartemen, membuat ken tersadar dari lamunannya sedari tadi.

“lo bawa gue kemana?”

“apart gue, yuk turun dulu.”

jawaban pendek adnan membuat kedua alis ken bertaut, awalnya ia berpikir akan diajak pulang atau paling buruk langsung dibawa ke rumahnya, namun ternyata perkiraannya meleset. saat pintu di sampingnya terbuka pun, ken masih menatap adnan tak percaya.

adnan yang melihat raut ragu pada wajah ken pun membawa tangan kanannya mengelus surai milik lelaki dihadapannya itu pelan, “gue jelasin di dalem, gak usah mikir macem-macem dulu.”

tak ada pilihan lain, mau pergi dari sini pun rasanya sudah terlambat. berakhir dengan ken mengangguk kaku dan menyerahkan tangan kirinya digandeng menuju unit milik lelaki yang lebih tua dua tahun darinya itu.

dalam perjalanan keduanya, diam-diam ia mencakup satu tangannya depan dada, bergumam pelan agar suaranya tak sampai di telinga milik lelaki yang kini sedang memencet tombol lift dihadapannya,

“semoga keluar dari sini nanti gue masihh hidup, amin.”

***

“santai aja, anggep rumah sendiri.”

suara berat itu terdengar dari balik dapur, menyadarkan ken yang sedang asik memperhatikan seisi apartemen milik adnan dengan perabotan yang nampak tak main-main harganya.

ken hanya mengangguk, meski tak terlihat adnan tapi kini ia tengah menyamankan dirinya di atas sofa empuk di tengah ruangan. tangannya memencet tombol remote, menghidupkan televisi di depannya. saking nyamannya, kedua kakinya kini telah naik ke atas sofa dengan posisi terlipat menyangga dagu dan kepalanya.

sesuai arahan adnan, ia telah menganggap apartemen ini rumahnya sendiri.

lelaki pemilik apart itu datang dari sebuah kamar di dekat tangga, telah berganti pakaian menjadi lebih santai. begitu pandangannya jatuh pada sosok manis yang kini meringkuk di atas sofa dan tampak asyik dengan tontonannya, lelaki itu langsung mengambil tempat tepat di samping kanannya.

“laper gak? mau gue beliin makan atau gue masakin?”

ken tidak mengalihkan sedikitpun pandangannya dari kartun yang kini tayang di televisi saat ia menjawab pertanyaan itu, “masakin dong kak, ya?”

adnan yang mendengar nada manja, jika ia tak salah menangkap suara ken yang nampak lebih bersahabat dibanding beberapa waktu tadi, mengusak kecil surai ken yang kemudian melempar senyum tampan, “my pleasure. tunggu disini ok.”

kemudian adnan kembali menghilang masuk ke dalam dapur. ken sebenarnya telah tak fokus dengan tontonan di hadapannya sejak adnan duduk di sampingnya tadi. aroma maskulin yang menguar dari tubuh lelaki itu begitu memabukkan, aroma yang sejujurnya beberapa hari ini ken rindukan untuk tercium kembali di sekitar dirinya.

dan kali ini harapannya terkabul, membuat ia mati-matian tak menerjang masuk ke dalam dekapan lelaki yang kini sedang asik dengan kegiatannya di dapur, dan menghancurkan rencana yang sejak tadi telah ia susun.

“lo gak boleh keliatan lemah, ken. lo harus tau dulu apa maksud itu orang bawa lo kemari baru bisa bertindak semau lo.”

***

keduanya kini telah duduk berdampingan di ruang tengah. oh, sepertinya bukan berdampingan lagi. ken yang tadi mengeluh lelah duduk di sofa kemudian mengubah duduknya menjadi duduk di karpet bulu depan sofa, dengan adnan yang duduk di atas sofa tepat di serong kanannya.

fokus ken yang awalnya terpusat pada kartun spongebob di hadapannya berubah haluan pada puzzle yang tadi ia temukan di kolong meja kaca tak jauh dari tempat ia duduk. membuat ia mengabaikan nasi goreng spesial buatan adnan yang sejak tadi menguarkan aroma wangi namun tak tergubris olehnya.

“taruh dulu puzzlenya, itu nasinya dimakan dulu, ken.”

ken hanya menggeleng, jika ia sedang fokus seperti ini memang sulit untuk mendapat perhatiannya. membuat lagi-lagi adnan harus memutar otak untuk mencari solusi agar ken segera makan sebelum makanan buatannya itu menjadi dingin.

“aaa..buka mulutnya coba aaa...”

ken membuka mulutnya mendengar suruhan itu, namun tak menoleh sedikit pun sehingga adnan yang kini memegang sesendok penuh nasi kesulitan dibuatnya.

“sini coba deketan deh, nasinya nanti jatoh..”

tak mendapat respon dari ken membuat adnan mengalah, menggeser duduknya menjadi tepat di belakang tubuh mungil ken yang kini berada diantara kakinya.

“nah sekarang lebih gampang, ayo buka mulutnya dulu aaa..”

pergerakan tangan ken yang sejak tadi sibuk menata puzzle seketika berhenti. suara berat milik adnan itu terdengar begitu merdu dari belakang telinganya, bahkan ia dapat merasakan hembusan nafas lelaki itu yang kini menunduk berupaya menyuapkan nasi goreng buatannya agar masuk ke dalam mulutnya.

dengan segera ia melahap sesendok makan yang ditujukan padanya, kemudian mendorong kecil tubuh adnan yang tampak terlalu dekat nyaris menempel dengan punggungnya.

“m-mwundurwan dwikit kwak, swempwit..”

adnan terkekeh geli akibat dorongan kecil itu. bahkan sebelum ia memundurkan posisi duduknya, ibu jarinya sempat menyeka ujung bibir ken yang belepotan akibat makan sambil berbicara.

ken menunduk menyembunyikan rona merah di pipinya, namun nampaknya ia terlambat karena adnan telah menyadarinya sejak tadi dan membuatnya lagi-lagi menggoda lelaki itu dengan kembali memajukan duduknya saat menyuapi ken untuk kedua kalinya.

“KAK IHH MUNDURANNN!”

tak ayal pekikan itu membuat adnan tertawa lepas, ken nampak sangat menggemaskan jika dilihat dari posisinya ini. tubuhnya begitu mungil menggoda adnan untuk mendekap lelaki manis itu sejak tadi, namun ia tahan agar ken tak mengamuk padanya.

hingga suapan terakhir mendarat pada mulut ken, adnan menggeser piring dan meletakkan sendoknya rapi di atas piring itu. tangannya menepuk bahu ken senang kemudian refleks memajukan wajahnya yang kini tepat berada di atas kepala milik ken.

cup

“ututu pinter banget, kesayangan siapa ini?”

kecupan kilat di dahinya pun dengan cubitan kecil di pucuk hidungnya serta merta membuat ken terdiam. ia kira tadi adnan hanya akan mengelus rambutnya seperti biasanya sebagai bentuk penghargaan. namun ini di luar perkiraannya, membuat ia mendongak dengan raut bingung, menatap wajah adnan dari bawah yang kini juga tengah menatapnya balik.

namun sepertinya adnan salah mengartikan tatapan itu, lelaki itu malah kembali memajukan wajahnya, membuat ken lagi-lagi membolakan matanya.

cup

“dah, itu bonus buat hari ini.”

“KAK KOK GUE DICIUM LAGI SIH!!”

adnan menggaruk belakang kepalanya tak gatal, tadi ia pikir ken mendongak untuk mendapat kecupan di bibirnya. namun sepertinya ia salah paham.

sorry sorry gue kira lo minta cium lagi, kalo nyesel sini balikin aja ciumannya ke gue.”

melihat adnan kembali memajukan bibirnya membuat ken kesal dan dengan cepat memukul bibir itu gemas. adnan sempat mengaduh, namun berakhir tertawa keras saat lagi-lagi tangannya menjadi sasaran pukulan main-main ken untuk menutupi salah tingkahnya.

pukulan berhenti saat adnan mengangkat tangannya tanda menyerah, membuat ken yang juga nampak kelelahan menyandarkan tubuhnya, menyamankan duduknya diantara kedua kaki adnan yang kini mengapit tubuh kecilnya.

tangan adnan terangkat mengelus lembut surai ken, lelaki manis itu pun menyenderkan kepalanya nyaman pada salah satu paha adnan sembari bermain ponsel. ken menghentikan permainannya saat mendengar tawaran yang adnan tujukan padanya,

“haus gak? gue pesenin boba aja mau ya?”

***

“gue mau ngenalin lo ke papa.”

ken yang kini duduk di atas sofa tepat di samping adnan menolehkan kepalanya, masih sibuk menyeruput bobanya yang baru beberapa menit lalu datang sesuai pesanan adnan.

“buat apa?”

walaupun ken sudah terbayang alasan apa yang akan dikatakan adnan, tapi ia tetap memasang wajah polos penuh rasa ingin tau.

“papa gue tau soal video itu, jadi dia kepo sama lo.”

ken menggeser duduknya, bersila diatas sofa dan sepenuhnya menghadap adnan yang juga duduk menghadapnya, “terus abis dikenalin ngapain?”

sebenarnya jawaban pertanyaan ini juga yang adnan bingungkan, ia tak mungkin langsung mengungkapkan bahwa kemungkinan mereka akan segera dinikahkan setelah menemui papanya, atau perkiraan buruknya mereka akan diusir bersama dari rumah saat itu juga.

melihat tatapan menuntut yang ken tujukan padanya, membuat adnan akhirnya mau tak mau menjawab pertanyaan itu ragu, “mungkin, tanggung jawab sama lo?”

meski terdengar ambigu, ken terpikirkan sebuah alasan atas jawaban itu. yang meski terdengar tak masuk akal, namun sepertinya jawaban adnan mengarah ke salah satu hal yang kenyataannya baru ia perjelas kemarin malam.

adnan pasti mengira ia hamil, yang berarti bukan hanya pram yang menerima berita palsu itu, namun juga pria di hadapannya ini.

ia semakin yakin saat mengingat pertemuan mereka di sebuah pagi saat adnan tiba-tiba mengelus perutnya, dan berpesan agar ia makan makanan sehat, persis nasihat yang jian berikan padanya tiap hari.

seketika senyum dan semua perasaan gembira yang awalnya memuncak memenuhi hati ken meredup, ia terpikirkan sebuah perkiraan, dimana semua perhatian dan kasih sayang yang ia rasakan dari adnan selama ini hanya sebuah bentuk tanggung jawab atas berita palsu yang lelaki itu dapatkan.

terpikirkan pula olehnya bahwa selama ini ia telah terbawa perasaan atas perlakuan manis yang adnan berikan padanya, perasaan berdebar yang timbul di hatinya itu sesungguhnya sia-sia, karena bahkan adnan melakukan semua itu bukan didasarkan oleh perasaan suka, namun hanya sebuah bentuk tanggung jawab atas kesalahannya.

dan bila adnan mengetahui kenyataan yang sesungguhnya, apa semua perlakuan lelaki padanya itu masih akan sama seperti sebelumnya?

setelah lama terdiam, ken yang awalnya menunduk memberanikan diri menatap adnan yang sejak tadi masih fokus menatap dirinya.

“lo deketin gue karena ngira gue hamil anak lo kan?”

adnan mengerjap, kemudian mengerutkan dahinya bingung mendengar jawaban ken yang sejujurnya mengagetkan dirinya.

“gue gak hamil, kalo itu yang lo maksud mau tanggung jawab. gue gak hamil, kak, lo gak perlu tanggung jawab dan bawa gue ke depan papa lo.”

adnan menggeleng, meskipun sejujurnya dalam hati ia merasa sedikit lega mendengar jawaban ken tadi, namun ada sepersekian bagian dalam hatinya yang tidak rela, yang ia juga tak mengerti alasannya.

ken mencoba tersenyum sembari melanjutkan apa yang ingin ia katakan, “awalnya gue bingung kenapa lo tiba-tiba aja deketin gue lagi, gue pikir lo punya rasa ke gue, dan sampai tadi gue ngira lo emang ada rasa, tapi kayaknya gue kepedean ya? lo kayak gini karena lo ngerasa punya tanggung jawab ke gue, gak seharusnya gue baper sama perlakuan lo.”

meskipun ken mengatakannya dengan senyum, namun adnan merasakan nada kekecewaan yang kental dalam suaranya, senyum itu juga terlalu dipaksakan, ken nampak tak baik-baik saja dan adnan membenci pemandangan di hadapannya itu.

“ken bukan gitu—”

“mulai sekarang lo bebas kak, lo gak perlu terbebani sama rasa tanggung jawab lo itu. lo gak perlu baik-baik ke gue lagi, kita balik kayak sebelumnya, lo dosen dan gue mahasiswa lo, k-kita berlaku kayak y-yang s-seharusnya aja..”

meski sekuat tenaga ken berusaha menahan air matanya, namun nyatanya pipinya kini telah basah dengan bibirnya yang bergetar menahan isak tangisnya.

ia menunduk, mencoba menyembunyikan sisi rapuhnya yang sayangnya harus muncul dihadapan lelaki yang ia akui telah mencuri hatinya itu. ia sempat memberontak saat merasakan dekapan hangat yang berasal dari lelaki di hadapannya.

dalam posisi ini, ken menyadari degupan jantung adnan yang menyerupai miliknya, berdegup tak santai bak mengimbangi satu sama lain. ken menyerah untuk memberontak, bahkan kekuatan mereka tak sebanding. tangan adnan kini terus mengelus punggungnya, sembari berbisik kata-kata penenang berharap tangis ken dapat sedikit mereda.

“awalnya gue emang mau tanggung jawab sama lo, gue deketin lo karena alasan itu. tapi lama-lama gue ngerasa nyaman, gue gak suka liat lo kayak gini, gue gak suka liat lo nangis dan gue penyebabnya. gue yang awalnya cuek, berubah semenjak gue deket sama lo. gara-gara lo gue berubah ken..”

masih dengan kedua tangannya yang menggenggam ujung pakaian adnan, ken menggeleng kecil dalam dekapan itu, “itu pasti cuma perasaan sementara, lo masih suka sama karin kan? lo belum move on dari dia, don't say all those sweet words unless you mean it, kak. jangan buat gue jatuh sama lo lagi.”

tangan adnan yang semula mengelus punggung ken kini beralih menguraikan pelukan keduanya, menangkup wajah ken yang tampak lebih sembab dari sebelumnya.

ibu jarinya bergerak menghapus air mata yang membasahi pipi gembil itu, pun merapikan surai depan ken yang tampak berantakan akibat pelukan tiba-tibanya tadi.

“lo bisa denger gimana ributnya detak jantung gue kalo lagi sama lo kan? ada satu hal yang baru gue sadarin hari ini, hal yang bisa gue pastiin ke lo kebenarannya. ken, i already in love with you, and my feelings are bigger than you think. lo sama karin itu beda, she was my past, and you're my present and will be my future, mau kan?

ken tak menjawab melainkan menghambur dalam pelukan adnan yang senantiasa menyambutnya dengan senang hati. benar, ia dapat mendengar jelas degupan ribut itu, adnan tak berbohong padanya. isakannya masih terdengar jelas sehingga adnan memilih menyamankan dekapannya, menarik ken yang kini bergelung nyaman duduk di atas pangkuannya.

keduanya tenggelam dalam keheningan yang tercipta tak pasti lamanya, tak menyadari isakan lain yang samar terdengar berasal dari seorang perempuan di sebuah kamar di lantai dua, yang sejak awal tadi mendengar semua pembicaraan keduanya, yang sedang mati-matian menutup mulutnya agar tak menimbulkan suara sekecil apapun,

“mungkin ini emang jalan yang terbaik buat kita semua, nan.”