a little flashback


bukannya bergegas pulang setelah memutus pesannya dengan dion, adnan memilih melanjutkan tujuannya. kini lelaki itu telah duduk rapi di salah satu sisi sebuah restoran yang cukup besar.

seperti yang ia katakan pada karin tentang ia yang berkeliling untuk melepas penat, itu benar. namun berkeliling yang dimaksud adalah menemukan lokasi restoran yang memiliki kenangan kurang baik untuknya ini.

tempat ini merupakan saksi kandasnya hubungan antara ia dan karin, tepat sebulan lalu. ia masih ingat dengan jelas meja di bagian pojok dekat pintu keluar yang keduanya tempati, sekitar sepuluh langkah dari mejanya kali ini.

bukan tanpa alasan ia kembali ke restoran ini. ia merasa, bahwa dari sinilah awal mula ia bertemu dengan seorang lelaki manis bernama ken itu.

walau sudah diberi pesan dion untuk melupakannya, begitupun karin, namun pikirannya memaksa untuk kembali mencari tau perihal ini. jujur saja, kali terakhir saat ken mengantarnya pulang, ia dalam kondisi setengah sadar. tubuhnya tiba-tiba saja terbawa menghampiri seorang lelaki manis yang sedang asik memakan pesanannya, dan seketika saja ia menyadari dirinya telah bergelung nyaman dalam pelukan lelaki itu.

begitupun dengan kemarin malam di rumah pram, ia yakin sekali sempat bertemu dengan lelaki yang sebelumnya telah ia kirimkan motor ninja pengganti motornya yang hilang.

adnan pikir, pasti ada alasan dibalik pertemuan mereka, dan kali ini ia bertekad kembali mengingat kepingan kejadian yang menjadi awal semua ini.

***

“haishh sebenernya apa yang udah gue lupain sih?!”

adnan mengaduk pastanya tak berselera, niat awalnya mencari kepingan kejadian awal itu belum membuahkan hasil.

ia malah mendapati dirinya menangis, akibat mengingat kembali saat karin memutuskan hubungan mereka yang telah terjalin 2 tahun lamanya.

***

“ayo putus.”

perempuan itu berucap pelan, namun kata-kata itu mampu merubuhkan sisa pertahanan yang ia bangun. tepat sekitar dua minggu lalu, ia mendapati fakta bahwa ayahnya akan menikahi seorang perempuan, yang sialnya adalah ibu dari kekasihnya.

“apa gaada cara lain? kita masih bisa perjuangin hubungan kita, rin, aku yakin kalo kita ngomong baik-baik sama papa dan mama kita pasti dapet jalan lain..”

dengan menahan tangisnya, adnan berupaya memberi saran lain. ia tak sudi melepaskan karin begitu saja, apalagi setelah ia berencana membawa hubungan keduanya ke jenjang lebih lanjut.

tapi apa daya, kenyataan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya datang telak menghancurkan segala rencana yang telah ia bangun.

“aku sayang banget sama mama, nan. aku gak mungkin ngehancurin kebahagiaan mama, kamu ngerti itu kan?”

ia mengerti, amat sangat mengerti. namun egonya masih mencoba mempertahankan karin agar tidak menyerah pada hubungan keduanya itu.

“tapi kamu relain kebahagiaan kamu? relain kebahagiaan aku juga?”

“kalo itu demi mama, aku gak apa. please nan, jangan buat ini makin sulit.”

ah, bahkan baginya melepas karin memang amat sangat sulit. membayangkan nanti mereka akan tinggal dalam rumah yang sama, namun dengan status sebagai kakak adik itu benar-benar menyesakkan dadanya.

“kalau kamu gamau nyoba, biar aku sendiri yang jelasin ke papa soal hubungan kita. papa pasti ngerti dan bakal pertimbangin pernika—”

“mamaku bahagia ketemu sama papa kamu nan, kamu tega ngerusak kebahagiaan mamaku?? aku bakal benci kamu kalo sampai mama nangis-nangis lagi kayak dulu, aku gak suka!”

ini rumit. ia sadar kalau karin memang mencintainya, namun karin juga menyayangi mamanya lebih dari apapun. dan mengambil risiko dibenci oleh perempuan itu menjadi pilihan terakhir adnan karena ia bahkan tak sanggup untuk membayangkannya.

“kita harus berdamai sama kenyataan nan, mungkin emang takdir kita gak bisa bareng-bareng. aku yakin kita bakal nemu kebahagiaan masing-masing nanti, kamu harus yakin kalau kita pasti dapet jalan yang terbaik untuk lewatin cobaan ini.”

adnan menggeleng kecil, kristal bening telah berkumpul di pelupuk matanya, bersiap untuk terjun membasahi pipi tegas milik lelaki itu.

“tapi aku gak bisa tanpa kamu, rin, gabisa..”

biarlah ia dikata cengeng, namun ia memang tak sanggup lagi untuk berpura-pura kuat, matanya kini telah memerah, dengan kedua pipi basah dan tatapan sendunya pada perempuan yang masih duduk dihadapannya itu.

keadaan karin tidak jauh berbeda, ia juga menangis. keduanya sama-sama tak rela untuk memutuskan hubungan, namun mereka harus. setelah ini mereka masih bisa bertemu lagi, walaupun dengan status yang berbeda, namun karin yakin inilah yang terbaik.

“aku pulang bareng dion, dia udah jemput di depan. kamu jangan kelamaan disini, nanti pulang minta jemput pak sopir aja ya, jangan maksain.”

melihat karin berdiri dan bersiap untuk pergi, adnan menggenggam tangan kirinya mencoba menghentikan pergerakan perempuan itu, “rin..”

karin memaksakan senyumnya, membawa satu tangannya mengelus perlahan rambut adnan yang terakhir kali ia mainkan kemarin sore. ia mencoba menenangkan mantan kekasihnya itu, ia tak boleh goyah karena keputusan ini bahkan telah ia pikirkan matang-matang jauh hari.

jika biasanya adnan akan memejam menikmati elusan itu, kini air matanya malah turun semakin deras, menyadari bahwa elusan ini akan menjadi terakhir yang ia dapatkan dari kekasih yang beberapa hari lagi akan berganti status menjadi adiknya itu.

karin menurunkan tangannya, perlaha melepaskan genggaman adnan yang menahannya sedari tadi. ia melempar senyum terakhir, kemudian berbalik menuju pintu keluar sesegera mungkin. ia tak tega melihat tatapan sendu adnan, ia tak menyukai tatapan putus asa itu.

sepuluh menit lelaki itu melamun, berpikir ini semua hanya mimpi buruk yang mencoba mengganggu tidur malamnya. namun kemudian ia menyadari ini semua nyata, hubungan dua tahunnya baru saja berakhir, menyisakan banyak luka di hatinya.

dalam suasana hati yang buruk, dengan gusar ia memesan minuman beralkohol yang dipikirnya mampu mengurangi sesak di dada.

hampir habis empat gelas tinggi, kesadarannya pun mulai menipis. biasanya ia tak akan ambruk secepat ini, ia sudah terbiasa dengan cairan yang diminumnya. namun kondisi kali ini masuk pengecualian, tubuhnya tak mampu menahan kesadaran yang hilang sedikit demi sedikit.

ia bahkan tak menyadari saat seseorang menduduki kursi di hadapannya, memandangnya dengan raut wajah bertanya,

“hei, lo baik-baik aja?”

suara lembut itu mampu membuat matanya mengerjap, mirip suara karin saat bertanya padanya ingin dimasakkan apa. kenangan tiba-tiba itu membuat kristal bening kembali jatuh, adnan kembali menangis tersedu-sedu.

hal itu membuat lelaki di hadapannya kaget dan panik, seketika berganti tempat menjadi tepat di sampingnya.

lelaki itu menepuk punggung adnan pelan, mencoba menenangkannya yang kini masih sesenggukan. tangannya beralih membawa kepala adnan untuk bersandar pada bahunya, sedikit merangkul untuk mencoba meredakan tangis yang terdengar memilukan itu.

“lo ada masalah apa? mau cerita?”

adnan menggeleng kecil, namun bibirnya terbuka untuk menjawab walau tersendat, “g-gue ab-bis p-putus..”

lelaki yang merangkulnya itu mengangguk mengerti.

“apa sesakit itu?”

adnan tak menjawab namun mengangguk dengan rusuh, ini memang sakit sekali.

lelaki itu tersenyum miris, tak terlihat oleh adnan namun ucapannya terdengar pelan, “gue barusan abis bertengkar sama pacar aja udah sedih, mungkin nanti kalo putus bakal kayak lo juga deh.”

adnan masih mendengarkan lelaki itu yang nampak masih ingin berbicara.

“tapi lo gak boleh berlarut-larut, lo bisa sedih dan nangis sekarang, sepuasnya. tapi besok, lo harus coba bangkit. pasti dibalik ini semua, ada rencana tuhan yang terbaik buat lo.”

adnan mencoba meresapi nasehat lelaki asing yang menemaninya ini, namun sebelumnya ia mendongak, bertanya kembali dengan wajah sembabnya dan tatapan bak anak kecil yang ingin meminta permen,

“sekarang boleh nangis sepuasnya?”

lelaki disampingnya mengangguk, “huumm. gue temenin.”

mendengarnya membuat adnan menyamankan diri dalam rangkulan lelaki asing itu, melingkarkan kedua lengannya pada pinggang kecil lelaki disampingnya, hingga kini ia tampak memeluk lelaki itu dari samping dengan wajah yang terbenam pada bahu si lelaki asing.

lelaki itu tak melarang, bahkan ikut menyamankan posisi adnan dalam pelukannya. mengelus belakang kepalanya pelan, bergantian mengelus punggungnya hingga tangisnya mereda.

masih dengan posisi itu, adnan berucap lirih, “makasih.”

lelaki yang mendekapnya itu mengangguk, bahkan sempat terkekeh pelan saat terasa kecupan kecil mendarat di bahunya yang tertutup kain sweater.

keduanya kembali diam, adnan memperhatikan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, pukul 11.11, baru menyadari ia telah menangis selama itu. sebelum memutuskan menghubungi supirnya, ia memilih kembali mengajak berbicara si lelaki asing,

“nama lo siapa?”

lelaki itu terdiam sejenak, kemudian sedikit menunduk, hingga bibirnya tepat berada di samping telinga adnan sambil berbisik kecil,

“ken, panggil gue ken.”

***

adnan menggelengkan kepalanya pelan, tak menyangka setelah hampir dua jam ia melamun akhirnya ia mengingat kejadian malam itu.

ia ingat nama lelaki itu, nama itu bahkan sama manisnya dengan wajah pemilik namanya. sayang memang, beberapa kali bertemu ia tak bisa mengingat lelaki itu dengan baik.

kejadian malam itu kemungkinan menjadi alasan mengapa ia kembali bertemu ken di malam-malam berikutnya dalam kondisi yang sama.

semakin ia pikirkan, rasa penasarannya membumbung makin tinggi. ia ingin mencari tau tentang ken lebih jauh, ingin berbincang lagi dengan lelaki itu dalam keadaan lebih baik.

saat ia memikirkan alasan dari rasa penasarannya itu, ia pikir ini bukan perasaan suka ataupun cinta, tidak secepat itu perasaannya pada karin dapat memudar. mungkin saja rasa penasaran ini timbul karena ia ingin berterimakasih padanya, yang telah mendengarkan dan menemaninya di malamnya yang buruk itu.

iya, pasti itu alasannya.

ken, gue pastiin kita bakal ketemu lagi nanti.