write.as

kingslayer; first fight

cw // light / implied nsfw, harsh words tw // alcohol, smoking, gaslighting


Entah apa karena pengaruh sake yang ia tenggak terlalu banyak bersama tim A&R Ariake Records, apa karena pengaruh kolestrol tinggi akibat daging sapi yang terlalu banyak ia telan — tapi sungguh, kali ini Suna sudah tak jernih. Pandangannya, pikirannya, semuanya tak jernih – apalagi bila matanya hinggap di Komori, yang kini duduk persis di hadapannya.

Padahal, insting Suna sudah berteriak penuh caci maki sejak Komori meninggalkannya di smoking area HokkaidoGyu – meneriakinya agar sadar, yang ini beda, yang ini lebih bahaya dari yang biasa Suna goda dan taklukkan tiap malam. Tapi entah kenapa, kali ini, Suna – untuk pertama kalinya dalam sekian tahun hidupnya – memilih mengabaikan instingnya, mengabaikan kalkulasinya, mengabaikan perhitungannya; dan memilih mengejar satu orang yang padahal baru melontarkan satu kalimat godaan soal rokok padanya.

Otaknya sudah tak bisa merajut pikiran lain selain satu benang tujuan – sekujur tubuhnya sudah tak bisa berfokus pada yang lain selain mengejar satu tujuan: Komori harus tunduk, dan ikut pulang ke rumahnya malam ini.

Apa karena pengaruh sentuhan jemari Komori, yang tadi jelas-jelas sengaja hinggap lebih lama di dada Suna? Apa karena pengaruh tatapan sayu mata Komori setiap mereka tanpa sengaja beradu pandang? Apa karena pengaruh suara tenor Komori yang terus merasuk telinganya, mengajaknya bicara setiap kali matanya tanpa sengaja jatuh ke Iizuna? Apa karena pengaruh senggolan kaki Komori beberapa kali di tumitnya, yang entah sengaja atau tak sengaja?

Entahlah, Suna sudah tak bisa berpikir jernih. Ia bahkan sudah tak peduli apakah Komori sadar bahwa mata Suna terpaku padanya dari tadi. Lagipula, justru bagus kalau ia sadar. Suna bisa mencapai untungnya malam ini lebih cepat dari yang ia kira.

Lagipula, mana mungkin Komori, yang dari tadi terus tersenyum manis ke arah Suna – senyum tanpa dosa, seakan ia sadar kalau ia sudah membuat Suna gelisah dari ujung kulit kepala sampai jempol kaki – belum sadar akan betapa inginnya Suna?

Guys, kalian duluan aja. Gue mau ke toilet dulu!” ucap Komori lantang saat mereka sampai di depan pintu masuk SuaveHouse, bar di lantai 10 ruko mewah sebelah HokkaidoGyu untuk after party mereka di trap night mingguan bar ternama itu. Begitu lantang, hingga memecah deburan ombak libido yang daritadi menghantam pikiran Suna – dan justru menghujaninya dengan fantasi liar dan baru.

Perlahan Suna berkedip, berusaha menarik warasnya pulang agar fantasinya bisa terlaksana – matanya kini kembali menoleh ke pria berambut coklat yang berdiri di depannya; yang kini tersenyum manis sambil menatapnya penuh arti. Mata coklatnya berkilat terang – seakan menunggu respon dari Suna.

Seakan sudah tahu Suna sedang berpikir soal apa.

Suna kembali berkedip.

Gue juga mau ke toilet dulu ya, guys.


BANG!

Fuck!” gerutu Komori – umpatan akibat kepalanya yang menghantam pintu besi emergency exit tak jadi terlempar, karena bibirnya sudah dibungkam bibir Suna. Dengan tenaga yang jauh lebih besar, Suna mendorong Komori kasar ke pintu emergency exit di tangga darurat lantai 10, hingga pintu itu tertutup.

“Minta ganjalan, biar kita nggak kekunci.” gerutu Komori di tengah ciuman panasnya dengan Suna – yang langsung dibalas Suna dengan mendorong kotak rokok dan pemantik yang baru ia beli ke dada Komori. Dengan cekatan, Komori langsung menjepit kotak rokok berisi pemantik itu di antara pintu dan tembok tangga darurat – sebelum kembali membiarkan dirinya dilumat Suna tanpa basa-basi.

Keluhan dan umpatan Komori berubah menjadi desahan, seiring jemari Suna mulai menarik lepas ujung kaos Komori dari celana, agar tangan dinginnya bisa menyentuh perut Komori; sebelum bergerak naik, menelusuri garis-garis otot Komori. Komori, tak mau kalah, dengan tangkas menarik lepas restleting dan kancing celana jeans Suna; sebelum menariknya turun ke bawah hingga jatuh ke lutut Suna. Dengan rakus, ditariknya Suna mendekat – kini sama sekali tak ada jarak di antara mereka berdua selain lapisan kain; seiring Komori bergerak maju untuk mengadu yang mulai bangun di antara kaki keduanya.

Fuck, don't do that.” desis Suna di bibir Komori – jemari yang tadi mencengkram pipi Komori sekarang sudah naik ke rambut; menjambak rambut coklat Komori hingga garis rahang dan lehernya terekspos, untuk bibir Suna mulai lumat dan hiasi dengan bekas berwarna, “kalo ada yang liat gimana?”

It's safe here, tenang. Ga ada CCTV-nya, kan? Gue pernah – ahh, fuck, yes, there- blowjob dan penetrasi di sini, kok.” desah Komori seiring bibir Suna menghisap titik manis favoritnya di dekat telinga. Jemarinya kini bergerak turun, menggenggam dan memijat kejantanan Suna yang mulai bangun – memancing gigitan dari Suna di kulit leher Komori untuk menahan erangan.

You're so hard.” bisik Komori, membuat kejantanan Suna berdenyut di genggamannya; sebelum jemarinya mulai merengkuh dan memompa dari balik celana boxer Suna, “I wonder if it's addicting too?

“Cobain dong.” gumam Suna, jemarinya yang tak mencengkram surai coklat Komori kini memijat gundukan kecil manis di dada kiri Komori – seiring lututnya menekan kejantanan Komori dengan gerakan memutar, “Kalo belom coba, mana tahu?”

You sure you want to fuck me?” tanya Komori di sela-sela engahannya, “Gue tahu reputasi lo. The king – sang raja yang selalu dipuja-puja pria dan wanita, yang selalu bertindak seenaknya sama para cinta satu malamnya, yang punya standar tinggi, yang cuma mau kalau lawannya worthed it.

Do you think I'm worthed it?

Suna terdiam sejenak – Komori bisa merasakan genggaman Suna di rambutnya mengendur, seiring Suna menarik wajahnya dari leher Komori. Mata hijaunya kini menatap tajam mata Komori – datar, namun entah kenapa, penuh rasa – sebeum wajahnya bergerak maju; bibirnya kini tak sampai tiga senti dari bibir Komori.

Let's see.” bisik Suna, sebelum mengecup bibir Komori pelan,

“Buktiin dulu kalo lo emang worthed it buat gue.”

Yang dibisiki kini tersenyum manis.

Fine. Sandaran, gih.”

Suna belum sempat bereaksi, saat tiba-tiba Komori mendorong Suna mundur; hingga tubuhnya terantuk dan bersandar di teralis tangga. Kesepuluh jemari Suna tanpa sadar menggenggam teralis dengan begitu kuat – seiring ia beradu tatap dengan Komori; yang kini menatapnya berbeda.

Tak lagi manis, tak lagi ramah. Kali ini, Komori seperti singa, yang sedang mengukur mangsa.

Lucunya, entah kenapa, debar jantung Suna justru jadi lebih cepat dari biasanya.

Suna tak ingat kapan terakhir ia sebegini berdebar-debarnya, hanya karena akan dimangsa; orang terakhir yang membuatnya sungguh tak sabar hingga buku-buku jemarinya memutih adalah Akaashi Keiji – yang lalu mendominasinya sepenuhnya di ranjang Osamu tahun lalu.

Apa? Ada apa dengan Komori Motoya – sampai Suna sebegini tak sabarnya?

Suna masih tak tahu – tapi kini ia tak peduli; karena sudah ada yang siap menjadi memori barunya.

“Nunggu apa lagi, Komori?” tanya Suna, sebelum perlahan bergerak maju, “come he-

Dan dalam sekejap, Komori menarik pintu emergency exit hingga terbuka – dan dengan cekatan berlari keluar; dan membantingnya tertutup sambil memasang kunci,

Meninggalkan Suna Rintarou – dengan wajah memerah, nafas menderu, celana jeans di tumit, dan ereksi tingkat atas yang hanya dibalut boxer tipis – di tangga darurat lantai 10.

“Komori?” tanya Suna perlahan, masih tak percaya sebelum tangannya mulai menggedor pintu besi emergency exit yang kini sudah tertutup rapat – pemantiknya sudah tak lagi mengganjal di sana, “Komori! Fuck, Komori, gue kekunci. Lo ngapain?”

You're a good kisser, I gotta admit that! “ sahut Komori dari balik pintu,nadanya ceria, “and your fingers are godsent. Pantesan kak Iizuna sampai segitu nempelnya sama lo.”

“Bukain, bangsat!” teriak Suna di balik pintu besi emergency exit yang sudah terkunci; gedoran tanpa henti dari tangga darurat kini ikut mengiringi tawa Komori di koridor yang sepi.

“Beresin dulu kali tuh adek lo yang udah bangun. Yakin mau balik ke bar dengan bulge segede itu di celana?” Tanya Komori sambil tertawa, jemari sibuk memainkan pemantik Suna yang kini ada di tangannya.

“Komori. Lo disuruh Iizuna?” tanya Suna, sekuat tenaga berusaha meredam amarah sambil terus menggedor pintu, “Lo ada masalah apa sama gue-”

Buktiin kalo gue worthed it?” tanya Komori lagi dari balik pintu – kini tak ada tawa di nada bicaranya,

“Lo, yang masih sama-sama manusia juga kayak gue – berani-beraninya lo ngomong gitu ke gue, ke kak Iizuna, dan ke puluhan orang lain di luar sana yang udah lo coba, Suna? Berani-beraninya lo nge-judge orang berdasarkan nilai, untung, rugi?

“Lo pikir lo siapa sampe bisa nentuin worth orang di depan mukanya? Lo kira lo beneran raja? Dari kerajaan mana emang, hah?”

Gedoran Suna mendadak berhenti.

“Kak Iizuna itu teman baik gue sejak lama, lo tau?” ucap Komori – kali ini suaranya tak lagi ceria,

“dia udah gue anggap kakak kandung gue sendiri. Gue sayang banget sama dia. Terus gue liat dia nangis nggak berhenti tiga hari – nggak mau makan, nggak mau minum – karena satu pria yang lupa diri.

“Satu pria yang lupa diri; yang berlagak seakan dia raja, seakan kastanya di dunia ini paling tinggi sampai dia bisa punya kuasa buat nentuin harga orang lain. Sampai dia bisa berani bilang kalau kak Iizuna nggak layak buat jadi teman hidupnya, dan nggak ada untungnya di hidup dia. Sampai dia bisa berani bilang kalau kak Iizuna nggak ada harganya – dan nggak mau peduli dengan usaha kak Iizuna untuk bisa memenuhi ekspektasi dia.”

Suna terdiam lagi.

“Lo tanya, gue ada masalah apa sama lo?” ucap Komori lagi, “yang ada, lo yang harusnya tanya sama diri lo sendiri, Suna.

“Lo punya masalah apa sampe memperlakukan orang kayak benda jual beli, macam benda mati yang nggak bisa kompromi, yang nggak bisa mikir, yang nggak bisa diajak diskusi?”

Suna masih terdiam. Kali ini, semuanya sudah jernih. Ia bisa berpikir jernih,

..namun entah kenapa, ia tak tahu harus bicara apa.

So yeah, I seduced you so that I can do this. Biar lo tahu rasa dari cara pandang lo yang super egois, nggak jelas, dan nggak sehat itu.” ucap Komori dengan nada yang kembali ceria, punggungnya menempel di pintu,

“Sejak gue denger cerita kak Iizuna, jujur, gue benci banget sama lo. Gue tahu kita bakal kerja bareng – dan gue nggak mau kerja sama orang sambil mendam benci. So that's why I did this. Gue nggak bakal bukain pintu sampai lo minta maaf ke kak Iizuna. That's the least that he deserves from investing his heart for a snob prick like you.

Buku-buku jemari Suna kini lagi-lagi memutih – seiring tinjunya di pintu makin mengeras. Namun kali ini bukan karena tak sabar.

Kali ini karena satu perasaan yang nyaris tak pernah hadir di hidupnya – sesal.

Okay.” ucap Suna, “okay, gue minta maaf.”

“Ngapain minta maaf ke gue?” tanya Komori lagi, “bilang ke kak Iizuna, lah.”

“Gimana gue mau bilang kalo nomor gue diblok, terus lo ngunci gue di dalem sini?”

“Gimana gue mau bukain pintu kalo lo masih ngaceng?”

Suna menggedor pintu dengan marah, diiringi tawa Komori.

“Tapi.” tanya Komori lagi,

Really? Lo janji, lo bakal minta maaf sama kak Iizuna?”

Suna menghela nafas.

Entahlah. Entah ada apa dengan Komori Motoya, hingga Suna bisa dibuat sebegini tak paham dan kalutnya.

Entah ada apa dengan Komori Motoya; hingga kali ini, Suna – untuk kedua kalinya dalam sekian tahun hidupnya – memilih mengabaikan instingnya, mengabaikan kalkulasinya, mengabaikan perhitungannya,

Dan memilih untuk tunduk pada satu orang.

“Iya, janji.”

“Janji bakal berhenti memperlakukan orang macam komoditi juga, nggak?” lanjut Komori.

Suna menghela nafas lagi.

Entahlah.

“Gue coba. Gue.. janji akan coba.” jawab Suna.

“Okay. I'll hold you to that.” ucap Komori, “gue bukain nih, pintunya. Terus gue pantengin lo sampai ketemu kak Iizun-”

“Tapi gue masih naik, Komori. Banget.”

Well, happy jerking off, Suna! Aman kok, di situ nggak ada CCTV. Makanya gue berani lepas celana lo di situ. Kabarin gue kalo udah beres, biar pintunya gue bukain.” lanjut Komori ceria – seakan tak peduli Suna yang nelangsa, “tadi awalnya mau gue blowjob dulu – tapi ternyata dari awal, omongan lo udah keburu bikin gue naik pitam dan nggak mood.”

“Sekarang udah mendingan kan moodnya? Nggak mau lanjutin aja?” pinta Suna – walau ia tahu harapannya tak sampai 10 persen.

“Ngapain? Kan gue nggak ngebuktiin worth gue buat lo?” jawab Komori.

Sambil mengerang kesal, Suna jatuh terduduk – punggung bersandar di pintu, kepala tenggelam di lutut.

Tak pernah terbayangkan olehnya – bahwa ia, Suna Rintarou, bassist band metalcore ternama INARIZAKI yang tak pernah pusing masalah perasaan puluhan orang yang pernah ia tiduri, bisa sakit kepala sebegini parahnya karena satu orang yang nyaris ia bawa tidur. Bahwa ia hanya butuh satu tamparan – berupa bantingan pintu besi di depan wajah, untuk membuatnya mempertanyakan seluruh cara pandang hidupnya selama ini.

Semua karena Komori Motoya.

“Coba coli sambil bayangin worth dan untung yang udah lo kumpulin dari body count lo selama ini aja, since you love it so much.” Lanjut Komori,

Dan lucunya, Suna tertawa saat mendengarnya.

Suna tertawa, karena akhirnya Suna tahu – ada apa dengan Komori Motoya, yang membuatnya sebegini berantakannya.

Karena tak seperti siapapun yang pernah ia temui sebelumnya, Komori Motoya tak tunduk – tak menyembah dan memperlakukan Suna bagai raja.

Karena tak seperti siapapun yang pernah ia temui sebelumnya, Komori Motoya tak butuh pengakuan dari Suna, tak butuh penghargaan dari Suna. Komori datang dengan tujuannya sendiri – tanpa peduli apa yang Suna miliki.

Justru, Komori Motoya datang untuk menghabisinya tanpa pikir panjang, tanpa pandang bulu. Ia datang untuk menghujam Suna dengan kata-katanya sendiri, mendorongnya terguling jatuh dari takhta, membawa kepalanya turun kembali mencium tanah,

menyadarkan Suna kalau ia masih manusia.

fuck you, Komori Motoya.” lanjut Suna dari balik pintu – satu-satunya kalimat yang bisa ia lemparkan malam itu.

Komori tertawa lagi – sebelum menyalakan rokoknya dengan pemantik Suna.

Mmm, you wish.