write.as

“Kecapekan, keseringan begadang,” jelas Minhyun, melipat tangan. “Been going on for quite a while too. Cuma baru sekarang aja, tubuhnya minta berhenti. Sepertinya karena mengejar revisian terus menerus.”

Daniel tidak menatapnya. Ia duduk di samping tempat tidur tempat Jihoon terbaring, mengelus rambut pemuda yang masih tertidur karena kelelahan.

“Padahal ngakunya nggak ambis..” gumamnya, nadanya mengambang.

“Dia mau memberikan yang terbaik.” jawab Minhyun, lalu terdiam.

Ruang emergency rumah sakit tidak pernah tidak ramai, dan hari itu pun banyak pasien yang lalu lalang. Para suster mondar mandir dengan papan jalan di tangan mereka, menderek tiang infus atau rak beroda dengan alat-alat macam tensi darah dan sebagainya. Bilik yang ditempati Jihoon juga hanya dibatasi oleh gorden hijau tipis, sama sekali tidak meredam suara di baliknya. Tapi kecanggungan dan keheningan yang ada di dalamnya seolah mengedapkan suara keramaian itu.

“Sepertinya terbawa stress juga,” Minhyun membuka mulut lagi, setelah merasa kalau keheningan di antara mereka terlalu lama. Ia menggosokkan tangannya tanpa alasan. “Karena... masalah beberapa hari lalu. Sedikit banyak pasti memberi efek pada mentalnya. Walaupun dari luar ia tampak baik-baik saja.”

He’s good at that, isn’t he,” Daniel mendengus, jemarinya tidak berhenti mengelus rambut Jihoon. Yang dielus malah mendekatkan wajahnya ke tangan Daniel, bergumam nyaman. Pandangan pria itu melembut.

“Selalu tampil kuat, kayak nggak butuh siapapun,” Daniel terkekeh, “a stubborn little fighter, this one,” ia menjawil pipi Jihoon dengan halus.

Minhyun kembali terdiam. Ia bersender pada dinding, merasa tidak pada tempatnya. Rasanya ia daritadi hanya seperti narator atau figuran yang menarasikan kejadian beberapa jam lalu— dan sekarang tengah terjebak melihat adegan yang entah bagaimana, terasa privat dan intim.

Makanya ketika ia mendengar datangnya suara seruan dan derap langkah yang familiar; Minhyun merasa seolah ada rongga di pernapasannya yang diangkat, kembali membuatnya bisa bernapas lega.

“Di mana— AHA!” Ong Seongwoo menyibak gorden pemisah itu dengan heboh.

Daniel mendelik.

“Jangan berisik,” ia mendesis, menutupi telinga Jihoon. Jihoon malah balas memeluk lengan Daniel, mendengkur nyenyak.

“Maap,” Seongwoo nyengir, lalu ia berjalan ke samping tempat tidur Jihoon sambil berdecak.

“Ini bocah kenapa suka bikin orang panik, sih,” tukasnya, menggelengkan kepala.

“Baru sekali,” Daniel mendengus.

Seongwoo mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, “Mon maap nih. Tapi kalo gue backtrack, lumayan banyak ya hal-hal yang bikin sport jantung dari si Jihoon.”

Sedari tadi, Minhyun tidak bisa menahan senyum melihat kelakuan konyol Seongwoo. Ia tidak tahan untuk menyeletuk, “Memang apa saja?”

Seongwoo ganti mengacungkan tangan padanya, matanya membulat, “Ini ngacak ya karena ingatan gue gak seberapa bagus. Yang paling terakhir ya pas kejadian di twitter noh. Trus sempet pas dulu banget, si Jihoon ngilang semingguan dan bikin Daniel galau,”

“Oh. Pas dia rutin asis proposal,” nada Daniel datar.

“Sama siapa?” tanya Minhyun heran.

Untuk pertama kalinya, Daniel memandangnya. Tatapannya bercampur antara bingung dan seperti Minhyun baru saja mengucapkan hal yang tidak masuk akal.

“Ya sama lo lah.” balas Daniel lagi.

Huh.

“Gue tidak ingat pernah asistensi rutin selama seminggu dengan—“

Seongwoo menendang tulang keringnya.

“—ah,” Minhyun mengerjapkan mata, sementara Seongwoo yang membelakangi Daniel kini sibuk memberikannya isyarat mata untuk tidak mengatakan apapun lagi. Dengan ragu, dan menahan diri untuk tidak mengaduh, Minhyun berkata, “Nevermind. Sepertinya gue ingat.”

Daniel masih menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa dideskripsikan, lalu ia memalingkan wajah tanpa bicara.

Diam-diam, Seongwoo menghela napas lega.

Sementara itu, Minhyun melayangkan pandangan bingung kepada Seongwoo, yang malah balas melotot ke arahnya. Seperti ingin menambah kesulitan Minhyun dalam memecahkan arti dari tendangan Seongwoo tadi, sekarang Seongwoo malah berusaha mengajaknya berbicara bahasa kalbu. Ia sama sekali tidak paham.

Pada akhirnya, keheningan kembali dipecahkan oleh suara Daniel yang beranjak berdiri, melepaskan genggaman Jihoon pada lengannya dengan hati-hati.

“Tadi Jihoon dikasih obat nggak?” tanyanya, tak jelas pada siapa.

“Ada, cuma vitamin sama obat penambah darah,” jawab Minhyun.

“Gue bayar dulu kalo gitu,”

“Semuanya sudah gue bayar,” potong Minhyun, menghentikan langkah Daniel. Minhyun berusaha tersenyum, “It’s all good. You don’t have to worry.”

Tatapan Daniel dingin.

Why? You don’t think I can afford it?”

Nadanya datar.

Di samping, Seongwoo sudah gelagapan, buru-buru menyusun rencana baru di kepala.

Namun Minhyun keburu memicingkan mata, “I didn’t say that.”

Might as well just say it,” lalu ia merogoh sakunya, mengeluarkan dompet, “berapa? Gue ganti.”

“Tidak usah,” tolak Minhyun langsung, “it’s fine, really.

Menggelengkan kepala, Daniel memaksa, “Berapa? Sebut aja nominalnya.”

Menghela napas, setengah lelah dan menahan kesabaran, Minhyun berkata lagi, “Jihoon juga murid gue, Daniel. Dia tanggung jawab gue. Jadi sudahlah, anggep aja—“

“Apa? Another one of your charity case?” potong Daniel, nadanya mulai meninggi. Ia memejamkan mata sesaat, lalu berkata dengan lebih tenang, “Look. Just tell me how much is it, I’ll pay you back, and then we can go.”

Di sini, Minhyun sama sekali tidak mengerti mengapa Daniel terus menolak usahanya untuk melakukan sesuatu yang baik. Ia tahu raut wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan, karena Seongwoo sedari tadi sibuk menggelengkan kepalanya panik.

“Seperti yang gue bilang, Jihoon adalah murid gue. Dia pingsan di saat ia sedang bersama gue. Jadi, natural saja kalau gue merasa bertanggung jawab untuk kejadian ini. Tidak perlu berpikir macam-macam, Daniel. Hanya sebatas itu saja—“

That’s nice of you. Tapi karena sekarang gue udah di sini, gue yang ambil alih. Berapa?” lalu beberapa detik Minhyun menolak untuk menjawab, dan Daniel menghela napas keras. Ia mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan dan meletakkannya di meja.

Melihatnya, Minhyun menahan diri untuk tidak memutar bola mata.

“Gue tidak akan ambil.” tegasnya.

Rahang pria di hadapannya mengeras. “Jangan bikin semuanya jadi susah.”

Minhyun balas mengerjapkan mata terkejut. Ia menyahut, “Apa susahnya menerima kebaikan gue—“

Just take the damn thing, will you?” Daniel menyalak tajam, “lo nggak pernah ada problem ngambil punya orang lain, kenapa sekarang dikasih secara sukarela aja sok gak mau terima?”

Hening.

Saking heningnya, Seongwoo bisa mendengar suara bulu kuduknya sendiri berdiri.

Ketika Minhyun akhirnya membalas setelah jeda yang cukup lama, suaranya beberapa oktaf lebih rendah. Ekspresinya tidak terbaca.

So, it’s about this.” katanya, pelan.

When is it not?” Daniel mendecih pahit.

“Gue paham sekali kalau lo ingin melampiaskan amarah. Gue malah mendukungnya, karena gue sendiri yang mengajak lo bertemu. Tapi, tahu tempat sedikit, Niel,” ujar Minhyun dengan tenang. Ia berdiri tegak, “If you want to talk about this, let’s talk. But not here. Not now.

Seongwoo buru-buru nimbrung, “Iya, ntar aja. Abis Jihoon pameran. Kalian nih keknya butuh waktu sendiri dulu biar tenang,”

Senyuman Minhyun tipis, “Empat tahun sepertinya sudah cukup sebagai ‘waktu sendiri’,”

Seongwoo mendelik, “Lu tau lah maksud gue.”

Tetapi Daniel justru menatap mereka dengan tatapan aneh.

“Kalian kenal?”

Jantung Seongwoo mencelos. Ia berusaha tidak melirik Minhyun, dan langsung sigap berseru,

“Nggak lah!”

“Kenal.”

Si goblok.

Tatapan Daniel semakin curiga, dan dia baru saja akan membuka mulut lagi ketika ada tangan kecil yang menarik lengannya.

“Kakak,” suara lemah itu terdengar bagai musik di telinga Seongwoo.

“Jihoon, hei,” pria itu lantas membantu Jihoon yang tiba-tiba beranjak ke posisi duduk. Jihoon terbatuk, memegangi lengan Daniel.

“Nih, nih. Minum.” Seongwoo memberikan segelas air putih padanya, merasa prihatin.

Setelah Jihoon selesai meneguk habis air putih itu, ia berpaling pada Daniel.

“Kak Daniel ngapain di sini?” suaranya masih sedikit serak. Lalu pandangan Jihoon berubah horor, “Kakak nggak dateng ke kampus kan, tadi?”

“Enggak,” Daniel menatapnya heran, “emang kenapa?”

“Oh, oke,” Jihoon lalu berpaling pada Minhyun, “saya mau ngomong sama Kak Minhyun sebentar,”

Daniel tidak bergeming. Ia mengangkat alis ketika melihat Jihoon melotot padanya.

“Ya ngomong aja? Saya ikut dengerin.” katanya.

“Berdua, kak,” Jihoon mengerang. Lalu ia mengeluarkan tatapan memelas, “Please? Sebentar aja,”

“Emangnya apa yang segitu rahasianya sampe gak bisa diomongin di depan saya?”

“Kaaak,” tapi kali ini Jihoon memasang tampang memelas itu ke arah Seongwoo, “kak, tolong,”

“Urusan asis kali, Niel,” Seongwoo akhirnya turun tangan, kasihan juga melihat wajah Jihoon yang putus asa. “Ke depan aja lah yuk, nyebat,”

Tapi pria itu masih keras kepala, “Kalo urusan asis doang kenapa mesti dirahasiain kayak rahasia negara?”

Not everything concerns you, Daniel,” potong Minhyun, bergerak ke sisi Jihoon. Ia meletakkan tangan di pundak Jihoon, “Kalau memang ada persoalan TA, atau persoalan apapun, sebenarnya— yang Jihoon ingin lo tidak tahu, harusnya lo bisa menghargai privasi pacar lo, bukan?”

Daniel tidak luput memperhatikan saat pundak Jihoon berjengit saat mendengar kata pacar. Rasanya tangannya mendingin.

“Jihoon?” tanyanya sekali lagi, berusaha menghiraukan rasa aneh di dadanya.

“Sebentar aja,” jawab pemuda itu lirih, dan Daniel menyerah. Ia keluar dari bilik itu bersamaan dengan Seongwoo, yang lantas menepuk-nepuk punggungnya.

“Jangan mikir aneh-aneh dah lo,” ujar Seongwoo.

“Dulu, Sejeong juga begini,” Daniel mengusap wajah, bersender pada dinding.

“Begini gimana?”

Having lots of secret,” ujarnya, terdengar sangat lelah, “gatau gue, Ong. Akhir-akhir ini gue ngerasa restless aja. Jaehwan tau.”

“Karena Jihoon?”

“Semacam. Udah agak lama, dari pas gue ngajak dia ketemuan sama anak-anak di Beer Garden,” Daniel menggelengkan kepala, “kejadian yang kemaren juga... yang tentang TA Jihoon. Ngingetin gue banget soal kejadian yang dulu,”

“Terus?”

“Ya wajar kan kalo gue takut hal yang sama bakal kejadian lagi?”

“Maksud lo antara Sejeong ama Jihoon?”

Daniel mengangguk.

Kini Seongwoo tertawa keras, “Nggak lah. Nggak mungkin,” ia mengibas-ngibaskan tangan.

“Tau darimana?”

“Ya tau aja.”

“Sangat meyakinkan.” Daniel mendengus.

Baru saja Seongwoo mau membuka mulut lagi, Minhyun dan Jihoon keburu keluar dari bilik itu. Jihoon sudah memakai sepatu dan membawa barang-barangnya, wajahnya masih terlihat pucat.

Panik, Daniel langsung menghampirinya, “Sayang, kok udah berdiri aja? Kamu mau ke mana?”

“Kami akan balik ke kampus untuk menyelesaikan urusan dekor,” Minhyun mengumumkan. Daniel balas menatapnya seolah Minhyun baru saja tumbuh kepala ketiga.

“Lo bercanda? Jihoon abis pingsan karena kecapekan dan sekarang kalian mau balik nerusin TA-nya?”

“Tinggal sedikit lagi kok. Lagipula saya akan mengawasi dan membantunya juga. Lo tidak perlu khawatir,” jawab Minhyun tenang.

No fucking way. Jihoon, kamu hari ini pulang dulu aja sama saya. Besok kan masih ada waktu,” Daniel berusaha meraih tangan Jihoon. Tapi pemuda itu malah mundur, membuat tangannya hanya menggapai udara.

Jihoon terlihat bersalah. Ia menggigit bibirnya, dan menggelengkan kepala. “Dikit lagi kok kak, biar besok bisa fokus nyiapin presentasinya. Lagian saya udah mendingan,” kemudian ia maju dan menggoyangkan lengan Daniel, “ya? Ya?”

“Sayang—”

Jihoon berjinjit dan mengecup cepat pipi Daniel. “Besok saya pulang kok,” bisiknya dengan wajah bersemu merah, lalu ia berlari kecil ke sisi Minhyun dan mendorongnya untuk segera keluar. Yang didorong hanya terkekeh.

He's going to be fine,” Minhyun melambaikan tangan, membagi senyuman penuh arti pada Jihoon yang masih terlihat salah tingkah. Ia lalu berpaling dan menganggukkan kepala pada Seongwoo, yang hanya melongo menatap kejadian itu.

“Kak Daniel jangan nyusulin saya! Pokoknya jangan, ya!” seru Jihoon dari kejauhan, sebelum akhirnya menghilang disusul Minhyun.

Yang tersisa hanya Daniel dan Seongwoo.

“What the fuck,” gumam Daniel, memijat keningnya.

“Pusing juga gue,” Seongwoo menyahut.

“Mereka sedeket itu? How come...” lalu Daniel berhenti, ia mendongak. Seolah menyadari sesuatu.

“Ong, lo kenapa bisa nongol di sini? Gue kan nggak ngabarin lo?”

Ah.

Terperanjat, Seongwoo lantas berseru, “Gue tau lo gak seneng kan, mereka berduaan? Oke, gue cabut aja dan ngikutin mereka dari belakang. Gue pastiin mereka gak macem-macem. Lo tenang aja.”

Dan tanpa menunggu jawaban, ia ikutan menghilang.

Tersisa Daniel sendiri, merasa seperti orang paling bodoh yang tidak tahu apa-apa.