write.as

kingslayer; fourth fight

cw // harsh words

Jay Som – For Light: https://open.spotify.com/track/4pEZikSpjsv2TDz4Q24P2k?si=8e44c19baab545b3


Thanks, bro! Keep up the good work, ya!”

Suna mengangguk sambil melambaikan tangan ke arah rombongan pria bersepeda yang baru saja meninggalkannya – senyum lebar yang terpasang di wajahnya langsung memudar begitu gerombolan pesepeda itu hilang. Mata hijaunya langsung melirik ke sana kemari – memastikan tak ada lagi gerombolan pria yang akan mengganggunya jam sembilan pagi di tengah taman kota untuk minta foto karena “wah, lo personil band metal INARIZAKI kan?!”, dan langsung mengajaknya bicara panjang soal diskografi INARIZAKI dengan sok kritis bak ahli musik; lagi, di jam sembilan pagi.

Sambil menghela nafas, Suna mulai kembali menenggak kopi hitamnya yang daritadi ia abaikan di tangan – yang langsung ia muntahkan lagi ke sedotan karena sudah tak lagi dingin.

“Ah, tai. Ngapain sih gue kayak gini? Macem si Komori cakep banget aja.” gerutu Suna sambil berjalan ke tempat sampah, untuk membuang cup kopi yang masih tiga per empat – matanya kini teralih ke ponsel di tangan kirinya, yang sedang menampilkan chatroomnya dengan Akaashi dan Osamu. Jemari tangan kanan Suna perlahan melepas cup di atas tempat sampah – sebelum mendadak cup di tangannya direbut dengan cepat.

Mubazir banget, anjir.

Suna berkedip sebelum menoleh ke sumber suara,

sebelum ia jatuh terpana.

Sang pria yang langsung membuat Suna terpana, Komori Motoya, kini sedang menatap Suna dengan alis terangkat. Beda dengan dandanannya saat ke kantor dan saat makan dengan rekan kerja, Komori kali ini terlihat jauh lebih santai – hanya mengenakan celana jeans sepergelangan kaki, dan kaus slimfit putih polos yang tak begitu ketat, namun bisa membingkai garis-garis otot samar di perut, dada, dan bahunya. Suna bahkan bisa melihat sekilas kulit di balik kaus Komori berkat dua kancing di kerah yang dibuka.

Pemandangan sosok sang perebut kopi yang kini berdiri di samping Suna itu seakan langsung menyahut ucapan terakhir Suna,

Ya emang Komori cakep banget, bego. Makanya lo sampe begini.

Woof!

Gonggongan nyaring dari arah Komori langsung memecahkan kontak mata keduanya, membuat keduanya menoleh ke anjing shiba inu yang kini duduk manis di samping Komori – dengan kalung bertuliskan 'Tsumo' yang terikat ke tali di tangan Komori. Bulu tebalnya yang langsung membuat Suna ingin mengelus berwarna coklat karamel – serupa dengan warna rambut Komori. Mata coklat terangnya kini menatap Suna – lidah terjulur dari mulutnya yang terbuka bak sedang tersenyum; terlihat senang dan ceria.

“Anjing lo?” tanya Suna spontan, yang dibalas dengan gerakan mengangkat bahu dan anggukan dari Komori,

“Pantes, mirip lo soalnya.”

“Hah?” jawab Komori sambil menyipit kesal – kontras dengan Tsumo yang kini menggonggong senang, seakan bangga dibilang mirip Komori, “lo maksudnya mau muji apa ngatain?”

“Nggak sih, komen doang.” ucap Suna sebelum merebut kopinya lagi dari tangan Komori dan membuangnya ke tempat sampah, mengabaikan pelototan Komori,

“Kopinya udah nggak enak. Temenin beli kopi baru sama jajanan buat Tsumo, yuk?”


“Bener ternyata kata Iizuna – lo anak paling rajin di INARIZAKI.”

Suna mengangkat bahunya dengan bangga, diiringi dengusan Komori. Keduanya kini duduk di taplak alas rumput di tengah Yoyogi Park, sambil mulai menyesap kopi masing-masing – sementara Tsumo mulai mengunyah tulang yang dibelikan Suna dengan tenang di sampingnya.

“Emang dari kecil gue udah biasa bangun pagi, kok. Body clock gue emang udah kebiasa.”

“Terus emang udah biasa ke Yoyogi Park jam sembilan pagi juga?”

“Ngga sih, baru kali ini.” jawab Suna sambil menyesap kopinya lagi, “tadi pagi tiba-tiba dapet pesan dari surga, katanya bakal ada orang cakep di sini, gitu.”

“Ew. Tsumo, attack.

“Anjing-” gerutu Suna sebelum menangkap Tsumo yang langsung menerjang hingga Suna jatuh terbaring, “ Tsumo, no! Stay, Tsumo!

“Tsumo, come.” ucap Komori seusai tertawa, yang langsung ditaati Tsumo. Seakan tak habis membuat rambut Suna berantakan dan kaus Suna dipenuhi noda telapak kaki anjing, Tsumo duduk berbaring di samping Komori dan menatap Suna dengan mata berbinar-binar – kontras dengan Suna yang menatapnya datar penuh dendam.

“Kenapa namanya Tsumo, deh? Biar gendut kayak pemain sumo, gitu?” tanya Suna masih sambil menatap Tsumo. Dirinya sekuat tenaga menahan tawa saat telinga Tsumo turun mendengar kata 'gendut'.

“Yang ngasih nama Tsumo bukan gue.”

“Terus siapa?”

“Iizuna.”

Tawa Suna langsung memudar, seiring otaknya kembali berputar dan mengingatkannya akan situasi.

“Oh.” jawab Suna perlahan, “Tsumo. Tsukasa, Motoya.”

“Yep.” jawab Komori sebelum menyesap kopinya cepat, “Tsumo bukan peliharaan gue sebenarnya. Lebih tepatnya, sekarang udah bukan. Gue cuma orang tua asuh buat Tsumo – dia sebenernya tinggal di shelter anjing deket sini.”

“Oh. Gue pernah denger, tuh.” jawab Suna sambil menggigit sedotan, “Lo jadi kayak yang transfer uang ke shelter per bulan buat biaya hidup si binatang, kan? Yang rawat tetep orang shelter?”

“Tsumo.. waktu itu gue sama Iizuna temuin di got deket Pitchspoon. Masih bayi. Dibuang kayaknya sama yang punya induknya.” lanjut Komori sambil mengelus sang anjing yang perlahan memejamkan mata, “Tapi gue sama Iizuna sama-sama nggak mau bawa pulang – kita takut repot waktu itu. Akhirnya kita bawa ke shelter, dan ditawarin program orang tua asuh. And there we go.

“Berarti... udah dari dua, tiga tahun lalu?”

“Iya. Tapi sejak tahun lalu, OTA-nya Tsumo jadi cuma gue. Kayaknya sih sejak Iizuna ketemu lo, deh.”

”....Sorry.”

“Bukan salah lo, kali. Lagian gapapa, emang Tsumo lebih sayang ke gue anyways.”

“Tapi tadi lo bilang, sekarang Tsumo udah bukan peliharaan lo?” tanya Suna lagi, kini sambil ikut mengelus Tsumo yang mulai terlelap.

”...Iya. Ada yang mau adopsi dia. Besok Tsumo udah pergi dari shelter.”

“Lho? Emang bisa?”

“Bisa, lah.” jawab Komori sambil menatap kosong lapangan rumput di hadapannya, ke arah anjing-anjing yang sibuk berlari sambil dijaga pemiliknya, “Walaupun dapet duit terus, shelter tetep paling butuh space untuk bisa nyelamatin binatang lain lagi. Tujuan semua shelter itu ya ngerawat binatang sampai ada yang mau adopsi mereka.

Because no matter what, those who are willing to commit will be the ones who will get more. Who will get it all.

Those who are willing to take full responsibility, and to give it all – will get it all. And those with lesser efforts will lose.

Keduanya kini terdiam – sahutan anak kecil dan gonggongan anjing mengisi udara, namun diam tetap menusuk perih keduanya.

“Bakal kangen sih sama Tsumo. Dia udah kayak anak sendiri. Jujur, agak nggak ikhlas.” lanjut Komori, sambil perlahan menatap Suna – yang kini menatapnya tajam.

“Terus? Kalo udah tau lo sayang dan nggak ikhlas, kenapa lo nggak commit?” tanya Suna tanpa basa-basi, sambil membaringkan diri di atas kain – menatap ke langit,

Why don't you give it your all saat udah tahu kalau dengan lo takut gini, lo cuma bakal dapet seadanya – lo bakal harus ngelepasin Tsumo, dan nyesel kayak gini?”

Diam perih kembali menusuk keduanya. Komori berdeham dan menjawab, sebelum menyesap kopinya lagi.

“Ya.. karena gue tahu, gue nggak cukup buat Tsumo. Gue nggak bisa nampung dia, gue nggak bisa kasih dia kasih sayang yang cukup juga.”

“Emang apartemen lo nggak ngebolehin pelihara anjing?”

”..Boleh, sih.”

“Emang lo harus ngantor mulu? Kan A&R bisa kerja remote?”

“Iya, sih.”

“Terus lo itu nge-judge lo nggak cukup darimana? Lo nanya si Tsumo? Tsumo yang ngomong sendiri?” tanya Suna lagi.

“Udah? Lo ngajak gue ngopi cuma buat ngatain gue doang? Nggak komentar apa kek gitu? Kasian kek, 'turut bersedih' apa kek?” tanya Komori sambil ikut memalingkan wajah. Kini keduanya saling bertatapan – hanya terpisah jarak sekian senti dan ekor Tsumo yang terbaring tenang.

“Nggak juga, sih. More like – kalau pun lo mau gue ngasih komentar lagi soal suramnya hidup lo – dari persoalan peliharaan sampai percintaan lo yang akarnya sama: trust & commitment issues,” lanjut Suna – masih sambil menatap langit,

“isinya juga sama aja kayak yang lo bilang ke gue di toilet SuaveHouse dan di rumah gue, kan? Ngapain gue ngulang hal yang sama?

“Ngapain gue ngulang hal yang lo udah tahu?”

Nada datar Suna yang tak berubah sejak ia melontarkan pertanyaan pertamanya mulai membuat Komori tersulut. Komori baru mau membuka mulutnya, sebelum Suna kembali berucap,

“Ternyata, nggak sama Tsumo, nggak sama Iizuna – emang gitu ya lo ternyata? Selalu takut duluan sebelum nyoba. Ujungnya antara lo kabur, atau bikin kebodohan sendiri – yang akhirnya bikin lo beneran ditinggal. Terus nyesel sampe sekian tahun.”

Suna memang sering dianggap tak punya urat malu – tapi ia tidak buta dan tidak sebebal itu untuk tak tahu kalau ucapannya telah menyalakan saklar di balik Komori; di balik mata birunya yang mendadak berkilat, dan rahangnya yang mendadak mengeras.

“Nggak usah sok tau.” jawab Komori dingin, “You knew nothing.

“Nah, yaudah. Bantu gue dong, biar gue tau.”

“Buat apa? Ngapain lo perlu tau soal hidup gue?”

“Lah, kata lo kan kalo mau investasi yang bener tuh harus memahami produk, riset dan analisis, dan juga put effort?” ucap Suna sambil berputar badan, untuk sepenuhnya menghadap Komori – sambil kembali mengelus dua alis Tsumo yang serupa dengan alis Komori,

“Nih. I'm doing it right now.

Seakan terlempar ke kemarin jam lima pagi – kini keduanya kembali menatap dalam diam; Komori yang membeku di posisi duduknya, dan Suna yang berbaring sambil masih terus mengelus Tsumo yang tidur nyenyak tanpa tahu apa-apa.

Diam yang kali ini tak menusuk, namun justru membuat sesak – seakan mengisi ruang kosong di dua hati, dengan harapan asing yang sebelumnya tak pernah ada.

“Kenapa?” tanya Komori lagi,

Kenapa gue?

“Kenapa gue – saat lo tau, gue sama aja fucked upnya kayak lo? Saat lo udah tau kalau gue sama-sama susah commit dan percaya sama orang?”

Pantulan cahaya matahari pagi menyinari wajah tirus Suna yang kini sepenuhnya menghadap Komori – membuat seluruh fitur wajahnya terbingkai jelas; tak lagi remang-remang seperti kemarin saat di toilet SuaveHouse, ataupun di meja makan. Mata hijau Suna berkedip pelan – dan kali ini, warnanya tak berkabut dirundung nafsu seperti kemarin, ataupun buram diselimuti mabuk seperti kemarin.

Kali ini, mata hijaunya berkilau jernih;

Seakan sedang jujur, tanpa ada yang disembunyikan lagi.

“Ya justru karena itu. Karena kita sama-sama takut komitmen, dengan alasan yang sama – takut nggak cukup. Padahal sebenarnya bukannya kita nggak cukup – kita dan mereka nggak cocok. Gitu, kan?”

Komori masih terdiam.

“Justru karena lo tahu dan paham jalan pikir gue, dan gue juga tahu dan paham soal jalan pikir lo,” lanjut Suna – mata hijaunya masih tak lepas dari Komori,

“Justru karena gue dan lo udah sama-sama tahu ketakutan satu sama lain – dan sama-sama udah tahu gimana cara yang benar biar kita nggak takut lagi.

“Justru karena, Komori... gue dan lo ya, sama.

Ekor Tsumo mulai bergoyang – berkibas mengikuti tempo degup jantung dua pria yang kini menatap mata masing-masing dengan dalam.

“Justru, gue yang tanya sama lo, Komori – Kenapa bukan lo?

Seakan terlempar lagi ke kemarin jam lima pagi – kini keduanya kembali menatap dalam diam. Diam yang kali ini tak menusuk, tapi mengusap lembut. Diam yang kali ini tak membuat sesak, namun membuat tenang; membalut mereka dengan paham yang sama.

Can I trust you?” bisik Komori perlahan,

”..and can you trust me?

Suna berkedip, sebelum perlahan bangun – untuk menyamakan level matanya dengan Komori.

Of course – why can't I?

Diam kali ini tak menahan mereka diam di tempat, namun justru mendorong mereka untuk maju – seiring Suna mulai mencondongkan wajahnya ke Komori, dan Komori beranjak turun. Seiring wajah mereka mulai mendekat,

Seiring mereka mulai berani mengambil langkah, karena mereka sudah paham sendiri-sendiri; tanpa harus bicara lagi.

Di bawah sinar matahari Tokyo jam sepuluh pagi, dua bibir yang kemarin takut akhirnya bertemu dengan berani,

sebelum Tsumo mendadak berdiri bangun, dan menghantam dagu keduanya dengan bokongnya.

FUCK- TSUMOOOOOOOOOOOO!!!!!!

BAD DOG!

Woof!