write.as

Rumah Keluarga Bae. "Kak Wen akhirnya berangkat ke Kanada, kan?" Tanya Karina. "Iya, kakak yang suruh." "Loh? Aku pikir Kakak ga mau ditinggal." "Memang ga mau, tapi masa kakak harus egois? Itu cita-cita Wen dari awal kuliah, kakak sudah konfirmasi ke maminya." "Tapi kan jadinya LDR, Kak. Kok bisa diijinin pergi?" Irene pun menjawab dengan tenang, "Kakak memang ijinin pergi, tapi sebelumnya, kakak minta dia berjanji, begitu balik dari Kanada, dia harus ngelamar kakak." "Wow, seriously?" "Iya, kakak juga bilang kalau sampai dia berani selingkuh di sana, kakak bakalan nyusul ke Kanada dan bakar asrama dia!" " ... Err, bakar asrama?" "Sampai 7 turunan ga bakal kakak maafin! Jangan pernah berpikir bisa balik lagi ke Indo!" "Horor bgt." Karina bergidik ngeri. "Terus, Kak?" "Ya gitu, setelah melewati 2 tahun LDR yang penuh liku-liku, dia akhirnya balik dan nepatin janjinya," ucap Irene sembari tersenyum. "Kakak selalu percaya sama kak Wen, yang kakak ga percaya ya orang-orang yang bukan dari circle dia, makanya setiap liburan semester kakak susulin ke sana, Dek." Irene pun menepuk pundak Karina. "Intinya, kalau kamu mau membanding-bandingkan lebih ngenes mana antara kamu dan kakak, ngga ada yang lebih ngenes. Cinta itu butuh perjuangan, Rin. Kalau kamu memang beneran suka sama Winter, kamu pasti bisa ngelewatin setahun kedepan, tapi ... " "Tapi apa, Kak?" "Tapi kamu harus aware sama orang-orang yang kelihatannya suka sama dia, terus kamu juga harus berusaha nunjukkin kalau kamu memang serius sama dia! Tunjukkin cuma kamu yang terbaik buat dia! Jangan biarkan ada seekor anak nyamuk berkeliaran di sekitar dia!" "Hmm." Karina mengangguk. "Yang paling penting, selalu ingat moto keluarga kita, 'Kejar terus sampai dapat, sampai jadi, seorang Bae pantang menyerah sebelum janur kuning melengkung!'" "Memang keluarga kita ada moto begitu? Baru denger." "Ada! Kakak yang bikin barusan. Nanti moto ini kakak turunkan ke Jihan & Jiwoo." "Oh." Karina mengangguk lagi. "Siap! Aku bakal kejar Winter sampai dapat!" "Nah gitu, harus tetap semangat ya, Dek." Irene tersenyum puas, tak lama kemudian ponselnya pun bergetar. ... ... "Oh! Kakak ipar kamu sudah di bawah." Irene tersenyum lebar. "Kakak pulang dulu ya, mau 'quality time' hihi." ** Tak lama kemudian. "Wen!!" Irene berlari-lari manja dan langsung menubruk tubuh Wendy sehingga wanita itu hampir terjengkal. "Hey, hati-hati!" "Kangen!" Irene membenamkan wajahnya di hoodie istrinya. Wendy pun tidak jadi marah. "Ya, ya." "Anak-anak ikut?" "Tidur di dalam mobil," jawab Wendy. "Sudah siap? Mau balik sekarang?" "Yuk, ga usah lama-lama di sini." "Ini kan rumah keluarga kamu," balas Wendy dengan heran. "So?" "Nothing. Ya sudah kita pulang sekarang." Wendy hendak membuka pintu mobil, tapi Irene justru menarik lengannya. "Masa langsung pergi gitu aja?" "Lah, tadi kan kamu yang ngajakin buru-buru pergi." "Maksudnya, kiss dulu bisa kan?" Wendy melirik jalanan sekitar rumah Irene. Hmm sepi. Lalu dia melihat ke dalam mobil, Jihan dan Jiwoo tampak terlelap di kursi belakang. Tanpa banyak bicara (apalagi protes), dia langsung menarik dagu Irene dan mencium bibir istrinya itu. Namun, baru beberapa detik, Wendy menarik bibirnya. "Gitu doang?" Irene tampak kecewa dan segera melingkarkan tangannya di pinggang Wendy, tidak ingin menyudahi momen mereka. "Aku digigitin nyamuk nih," gerutu Wendy. "Fine. Kita lanjutin di dalam mobil!" "Hah? Eh!" Wendy tidak sempat berkata-kata lebih lanjut saat Irene mendorong tubuhnya ke dalam mobil dan membuatnya duduk di kursi kemudi, lalu Irene langsung duduk di atas pangkuannya. "Bebas nyamuk kan di sini?" "Iya sih, tapi ada anak-anak ... mmm!" Wendy yang awalnya akan protes langsung teralihkan oleh Irene yang sangat menggebu-gebu menciumnya. Mulai dari bibir, leher, hingga tak terasa hoodie yang dia kenakan sudah dilemparkan ke kursi penumpang. Mereka saling menatap diiringi napas yang memburu. Keduanya mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika Wendy menangkup kedua pipi Irene dan hendak menciumnya lagi, suara tangisan terdengar dari kursi belakang. "Maaaa!!" Jiwoo tiba-tiba terbangun dari tidurnya, dan tangisannya membuat Jihan pun terjaga. Jihan mengerjapkan mata mungilnya dan kemudian melihat mama dan mommy-nya duduk berpangkuan. "Mama ngapain? Mama kan udah gede, kok minta dipangku sih? Kasihan Mommy Wen!" Protes Jihan. "Jadi, mama ga boleh minta dipangku?" "Ngga! Cuma aku & Jiwoo yang boleh dipangku." "Tapi kan mama-" "Mama pindah sekarang!" Wendy terkekeh, sementara Irene memukul pundaknya pelan. "Iya Jiji, mama pindah sekarang," keluh Irene yang segera turun dari pangkuan Wendy lalu mengecek Jiwoo dari pintu belakang. Setelah menenangkan Jiwoo selama beberapa menit dan menidurkannya kembali di baby seat, Irene pun berpindah ke kursi penumpang di samping Wendy. Tidak lama setelah dia memasang seatbealt, Jihan justru naik ke pangkuannya dan melingkarkan tangan kecilnya di pinggang Irene. "Hari ini, aku mau dipangku sama Mama." Irene tertawa kecil sembari mendekap tubuh Jihan. "Ya sudah, Jiji duduk di sini sama mama." Irene mengusap kepala Jihan sehingga membuat gadis kecil itu tertidur dalam pelukannya. Putrinya yang mungil terlihat begitu tenang dalam tidurnya. Wendy yang melihat istri dan anaknya dari samping pun ikut tersenyum sebelum menarik sebuah selimut dan membalutkannya ke punggung Jihan. "Makasi Mommy Wen," ucap Irene dengan manis. "Sama-sama, Mama Ren." Wendy sedikit mengangkat tubuhnya untuk mencium kening istrinya lalu mencium pipi Jihan dengan lembut. "Kamu tidur aja, Ren" "Aku belum ngantuk. Aku temenin kamu nyetir." "Hmm." Tak lama kemudian, mobil pun melaju di kegelapan malam. Sesekali terdengar canda tawa kecil dan suara berbisik dari dalam mobil. Jiwoo tertidur pulas di kursi belakang, sementara Jihan terlelap di pangkuan Irene yang menepuk punggung Jihan dengan lembut sembari mendengarkan pendapat Wendy tentang daftar SD untuk Jihan. Meskipun Wendy terlihat pasif, tapi Irene tahu bahwa istrinya itu sangat memikirkan keluarga kecil mereka, mulai dari kebutuhan pokok, pendidikan, dan tabungan masa depan. Di sisi lain, Wendy merasa bahwa Irene adalah sosok ibu yang baik dan istri yang tepat untuknya, meskipun dia terkadang lebay dan over dramatic, tetapi kasih sayangnya untuk Wendy dan anak-anak mereka sangatlah besar. "Tadi aku cerita tentang date ke-20 kita ke Karin." "Oh, date yang penuh drama itu." "Iya, kan gara-gara kamu jadi penuh drama." Wendy terkekeh. "Iya, aku akui dulu aku memang keterlaluan." "Sekarang juga masih keterlaluan, kadang sih, tapi masih bisa aku tolerir," balas Irene. "Makasi ya udah sabar menghadapi aku. Aku tahu aku bukan istri yang sempurna." "Kamu sempurna buat aku." Irene mengedikkan bahunya. "Ga peduli apa kata orang lain, tapi di mata aku, kamu segalanya." "Hmm." Wendy mengangguk terharu. "Selain itu, aku juga pernah janji, kan? Aku ga akan pernah melepas tangan kamu sampai maut memisahkan kita." "Iya aku inget, di kebun teh dan di altar." Irene mengangguk puas sembari meletakkan tangannya di lengan istrinya. "Dari 8 tahun yang lalu, cuma kamu yang aku mau. Body & soul. Jadi, sebaiknya kamu pilih jalur tercepat, supaya kita bisa segera sampai di apartemen. Aku butuh 'quality time' sama kamu secepatnya." Dia pun meremas lengan Wendy penuh makna. "O-oh ok, ok." Wendy menelan ludah dan segera memikirkan jalur alternatif tercepat menuju apartemen mereka. Semangat ya Mommy & Mama, secepatnya anak ketiga! :) ***