write.as

Nakyum.

Itu nama yang terbersit di benak Daniel, hampir secara otomatis, begitu ia melihat pose terbaru Jihoon. Familiar, karena pernah ada masa di mana kerjaannya hanya mengulang membaca manhwa itu di kasur. Daniel masih ingat jelas panel tersebut, karena saking ikoniknya ia pernah berpikir untuk mencetaknya ke kertas dan memajangnya di dinding.

Ia menelan ludah.

Rasanya sedari tadi ia tidak dikasih ruang untuk bernapas.

Break yang tadi mereka lakukan setelah hampir dua jam penuh melukis itu benar-benar dibutuhkan. Karena artinya Daniel dapat benar-benar kabur ke kamar mandi dan mengatur pernapasannya, menjernihkan pikiran, dan berusaha untuk tidak meledak.

Bukan cuma soal Jihoon yang hari ini mendadak begitu proaktif dalam membuat Daniel jantungan. Bukan. Kalau hanya itu sih, mungkin dia sudah masuk rumah sakit jiwa sejak berminggu-minggu yang lalu—karena kalau ada manusia yang paling ahli dalam tampil seduktif secara tidak sadar, itu Jihoon.

Daniel cuma lelaki biasa.

Jihoon bagaikan titisan malaikat.

Atau mungkin iblis kecil. Entahlah, yang pasti dia sukses mengacak-acak setiap aspek dari kehidupan Daniel.

Mungkin karena Daniel tidak pernah menyangka ia akan bisa sampai di titik ini. Sejujurnya, dia tidak pernah berharap banyak untuk menjadikan Jihoon sebagai modelnya. Ia ingin, tentu saja ia ingin. Tapi selama ini ia sudah cukup bersyukur dengan keberadaan Jihoon di sisinya. Ia sudah merasa cukup dengan Jihoon yang mengizinkan dirinya untuk tetap menjadikannya objek utama dalam tiap lukisan yang ia hasilkan. Daniel tidak ingin memberi Jihoon pressure dengan harus berpose atau pun melakukan hal-hal yang memuaskan dirinya. Lagipula, kegiatan mentoring yang mereka lakukan itu harus fokus pada Jihoon. Bukan Daniel.

Sehingga, Daniel sebenarnya tidak menganggap serius janji yang waktu itu. Ia hanya mengetes permukaan air, mencoba-coba peruntungannya. Waktu Jihoon setuju, rasanya ia ingin menyalami semua orang yang ada di dunia ini dan memeluk mereka satu-satu. Namun lagi-lagi, ia membiarkan janji itu perlahan menghilang, bersamaan dengan Jihoon yang semakin serius mengerjakan Tugas Akhir. Sampai titik ini.

Sebentar,

—kembali ke Nakyum.

“Jihoon,” suara Daniel serak, “Jihoon.”

Anak ini malah menelengkan wajahnya, menatapnya inosen.

“Ya, kak?”

Tapi suara yang keluar terdengar seperti godaan.

Atau mungkin itu halusinasi Daniel semata. Yang pasti, darah Daniel mengalir deras. Ke ubun-ubun. Hingga ke ujung...

“Ganti pose.” perintah Daniel tiba-tiba.

Jihoon mengernyit. Ia lalu bersidekap, “Udah digambar belum yang ini?”

“Belom.”

“Ini posenya bagus kak. Saya ada referensinya.”

“Saya gak suka yang ini. Coba yang biasa-biasa aja.”

“Lah, daritadi nggak pernah protes. Kok sekarang ngatur?”

“Daritadi kamu yang eksperimen sendiri. Sekarang saya batesin. Udah cukup,” ..kamu mengobrak-abrik kewarasan saya.

Jihoon memutar bola mata, bergumam, “Gak jelas.”

Lalu ia menggembungkan pipinya, alisnya masih bertaut. Bibirnya mengerucut. Kerah kemejanya terbuka lebar.

ARE YOU KIDDING ME?! batin Daniel sedang menangis meraung-raung.

Di saat seperti ini, Daniel meratapi betapa miripnya Jihoon dengan tokoh fiksi itu. Tidak, ia koreksi. Jihoon jelas lebih indah. Lebih menawan. Lebih nyata. Tapi kemiripannya betul-betul tidak bisa dipungkiri, dan walaupun sudah lama sekali sejak kali terakhir ia membayangkan dan membaca cerita Nakyum dan si brengsek Seungho (ya, Daniel masih emosi), pose Jihoon yang tadi benar-benar seperti strike terakhir dalam kewarasannya.

(((Jauh di sudut pikirannya, ia tiba-tiba teringat nama lain. Seorang bocah yang juga pernah membuatnya gemas bukan main. Apa kabar ya, Kak Ji?)))

Dengan nada putus asa, Daniel meratap, “Jihoon, please,”

Kali ini, Jihoon benar-benar menatapnya bingung. “Please apa?”

Please stop doing those seductive poses.

Lalu, wajah Jihoon memerah.

Ini, ini yang membuat Daniel tidak habis pikir dan ingin geleng-geleng. Jihoon itu berani berbuat (entah sadar atau tidak sadar), tapi begitu perbuatannya dikatakan secara gamblang, ia akan mengerut tersipu seperti kuncup putri malu. Kemudian, ia akan meledak-ledak sendiri. Betul kan, sekarang alisnya kembali tertaut marah, dan ia berseru, “Ya trus mau pose kayak apa!”

Daniel beranjak berdiri, dan ia hampir tertawa geli karena melihat Jihoon terperanjat di tempat duduknya karena gerakan Daniel yang mendadak.

“M-mau apa,” kedua tangannya bersilang di depan dada.

“Kamu ini kenapa sih, hari ini?” Daniel berdecak, lalu berjongkok di hadapannya. Dengan hati-hati, ia menurunkan kedua tangan Jihoon dan membawanya ke pangkuan lelaki manis itu. “Rileks aja. Jadi diri kamu sendiri.”

“Dari tadi kan saya memang jadi diri saya sendiri?”

No, kamu terlalu fokus dengan referensi-referensi aneh kamu. Kamu lagi meniru gerakan orang lain dari tadi, ya kan?” lalu dengan lembut ia merapikan poni Jihoon, tersenyum ketika melihat wajah Jihoon mengendur lebih santai, bahkan sampai memejamkan mata. “Lagian sekarang saya tanya, kamu nyontoh siapa sih?”

Mata Jihoon terbuka lebar. Ia lalu menggelengkan kepala kuat-kuat, “Ada deh.”

“Kamu ya. Siapa nggak?” Daniel memicingkan mata, bercanda, “abis nonton bokep ya?”

Ia sukses mendapat pukulan.

“Ya abis, gigit-gigit bibir mulu. Trus kamu mandangin saya pake pandangan sayu-sayu. Nggak salah dong kalo saya asumsi begitu?” protes Daniel, menahan dadanya dari pukulan Jihoon yang bertubi-tubi (dan sama sekali tidak sakit).

“Kak Daniel yang mesum!”

“Aw!”

Keduanya kembali tergelak. Di keheningan yang nyaman itu, lagi-lagi Daniel tidak bisa berhenti membelai rambut Jihoon. Kini malah Jihoon sudah bersender sepenuhnya ke lengan Daniel.

“Kak,” tiba-tiba ia berbicara.

“Hm?”

“Kakak nggak tergoda?”

Diam.

“Jihoon..?” tanya Daniel hati-hati, merasa salah dengar.

Namun Jihoon sudah menegakkan tubuh, duduk di kursi dengan pose yang benar. Ia menatap serius ke arah Daniel yang masih berjongkok di hadapannya.

“Kakak nggak tergoda? Selama ini...”

Kalimatnya mengambang.

Daniel menelan ludah. Ia merasa bulu romanya berdiri.

Pandangan Jihoon berubah sayu. Tiba-tiba Daniel merasa hiper-sensitif terhadap sekelilingnya. Suara jam di dinding, kicauan burung di luar, teriakan penjual keliling yang rutin memutari kompleks jika senja tiba, aroma khas cat dan resin, hingga sentuhan halus di bahunya, dan berat tubuh seseorang di pangkuannya.

Lalu hal itu terjadi begitu saja.

Daniel cuma pernah merasakannya sekali, tapi ia masih ingat jelas bahwa ada rasa manis di bibir Jihoon. Ada juga letusan kembang api dan konfeti dan segala tetek bengek yang disebutkan di novel dan film romansa, begitupun gemuruh di dadanya dan beribu kupu-kupu yang beterbangan dengan riuh, tapi yang bisa Daniel fokuskan adalah rasa manis itu. Entah asalnya darimana, tapi yang pasti rasa itu ikut menyebar ke seluruh indra pengecapnya. Parahnya lagi, rasa manis itu makin menguat begitu bibir Jihoon terbuka dan mengizinkan lidahnya untuk masuk.

Lengan Daniel melingkari pinggul Jihoon. Ia harus mendongak karena posisi wajah Jihoon berada lebih tinggi darinya, secara anak itu dengan santai dan tanpa aba-aba mendudukkan dirinya sendiri di pangkuan Daniel. Tangan-tangan Jihoon bergerilya; yang satu hinggap di rambutnya dan secara tak sadar, meremasnya erat. Daniel melenguh ke dalam ciuman itu, kedua tangannya lantas membetulkan posisi paha Jihoon agar melekat dengan benar di pinggang Daniel. Bibir mereka tidak pernah terlepas barang sedetik pun.

Seluruh sirine di kepalanya berbunyi kencang ketika jemari Jihoon mulai menyusup ke balik kausnya.

Daniel melepas ciuman itu dengan tergesa.

“Jihoon,” engahnya, “Jihoon.”

Tapi yang dipanggil malah menundukkan kepala lagi, masih dengan mata terpejam.

Daniel membiarkan bibir Jihoon mengecupnya lagi selama beberapa saat, sebelum ia kembali tersentak saat lagi-lagi, jemari-jemari nakal itu mulai menyentuh area yang sama.

“Stop. Jihoon,” ia menangkup wajah Jihoon dengan kedua tangan agar lelaki itu tidak mendadak nyosor lagi. Masih dengan napas tidak teratur, Daniel bertanya, “Jihoon, ini artinya apa?”

Wajah Jihoon masih merah, pandangannya tidak fokus. Bibirnya merekah dan basah.

“Hei.” panggil Daniel, kali ini dengan nada yang lebih serius.

Nyatanya, justru Jihoon merenggut kaus Daniel mendekat dengan tidak sabar.

“Kak,” ucapnya, resah, “ayo.”

“Ayo apa?”

“Lagi.”

Rasanya Daniel ingin tertawa sampai pusing.

Dengan satu tangan, ia melepaskan genggaman Jihoon pada kausnya. Lalu tangan itu kembali menangkup wajah Jihoon, ibu jarinya mengusap pipinya dengan halus.

“Jihoon, saya pengen denger ini maksudnya apa.” ucapnya, sorot matanya teduh.

Tapi yang diajak bicara malah langsung menolak menatap matanya. Wajah Jihoon kini merah membara, seperti tomat. Ia membisu.

Pria itu menghela napas. Entah mengapa, ia tahu ini bakal terjadi.

“Kalau kamu belum tau intensi kamu dalam melakukan ini, then don't bother doing this with me,” ia membelai pelan pipi Jihoon. Ia tersenyum sedih melihat wajah Jihoon yang langsung berubah kecewa. Dengan penuh kasih, ia mengecup kening Jihoon. “Saya bukan orang yang tepat untuk kamu ajak main-main.”

Karena sebenarnya, Daniel juga tidak pernah berharap banyak bahwa Jihoon akan membalas perasaannya. Ia tidak pernah berharap banyak, tapi hubungan seperti ini, hubungan yang tidak jelas arahnya ke mana, hanya akan melukai dirinya lagi. Dan Daniel sudah cukup dilukai oleh orang-orang yang ia anggap penting.

Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh Jihoon—membuat laki-laki yang lebih kecil itu langsung memeluknya erat— dan meletakkannya dengan sama hati-hatinya ke bangku yang semula. Tatapan Jihoon masih kosong, seperti baru mencerna kejadian barusan.

Daniel mengusak pelan rambutnya, membuat Jihoon akhirnya mengarahkan pandangan mata ke arahnya. Butuh seluruh tenaga dan kewarasan Daniel untuk tidak meraup bibir merah itu dan memboyongnya ke kasur.

Yang ada, Daniel hanya berbalik badan dan berjalan kembali ke kanvasnya. Mencoba menarik dan mengeluarkan napas secara berkala sambil memejamkan mata. Ia tahu pasti ada bagian tubuhnya yang meminta perhatian, berkedut kencang layaknya debaran hatinya yang tidak kunjung reda.

Ia mengepalkan tangannya erat dan berusaha untuk tidak mengumpat.