write.as

Jihoon keluar kelas dengan wajah tertekuk.

Ada beberapa alasan mengapa hari ini begitu menyebalkan. Pertama, weekend-nya hancur karena ia terbayang-bayang oleh Tugas Akhir (tidak terima kasih kepada Kak Minhyun yang sangat setia mengingatkannya akan hal itu). Kedua, Niel menghilang lagi dari twitter, padahal Jihoon menunggu-nunggu dia online seperti orang bodoh. Ketiga—

Alasan ketiganya sedang bersender di depan ruang kelasnya, memakai topi hitam dan kaus abu-abu, dimasukkan ke celana jeans.

Jihoon refleks mencibir.

Sementara itu, objek kekesalannya justru tersenyum. Dia menghampiri Jihoon, satu tangan di saku, satu tangannya lagi terulur padanya.

“Halo,” sapa pria itu, “Jihoon kan?”

Jihoon mengangguk. Ia menjabat tangannya dengan setengah hati.

“Yuk, ngobrol deket taman aja.”

Mereka berjalan hampir beriringan menyusuri lorong. Jihoon sengaja berjalan di depan, seolah ingin menempatkan dirinya sebagai figur yang lebih dominan. Ia berhenti ketika menemukan sebuah meja kosong beserta kursi yang terletak di lobi Fakultas Seni.

Jihoon duduk tanpa bicara, menolak menatap pria yang sedari tadi tidak berkedip melihatnya.

Ia menahan diri untuk tidak merengut, tapi bibirnya malah setengah mengerucut. Dari sudut matanya, ia melihat Daniel menggigit bibirnya, menahan senyum.

“Mau ngobrol apa?” Jihoon bertanya, nadanya keluar sedikit lebih tajam dari yang ia inginkan. Ia berdeham.

Daniel mengangkat alis, “Lho. Kan kamu yang membutuhkan saya.”

Mata Jihoon hampir loncat.

Butuh? Siapa yang bilang gitu?”

“Saya kira kamu yang minta untuk dimentorin saya, sampe kampus ini ngehubungin saya terus,” matanya mengerling jenaka, “bukan ya?”

“Ya bukan lah!” Gila aja. “Kalo bukan Kak Minhyun yang getol banget maksa saya untuk ketemuan sama Bapak, mana mau saya.”

Wajah ceria Daniel terlihat mengeruh. Namun, sedetik kemudian, ekspresi tersebut menghilang.

“Saya masih muda, jangan dipanggil bapak dong.”

Jihoon memutar bola mata, “Terus?”

“Panggil kak aja,” sebuah senyuman terus menari-nari di bibir Daniel, “jadi, kamu mau bikin TA kayak apa?”

Rasanya pria ini tidak seceria itu terakhir dia ke sini. Jihoon menatapnya aneh, sebelum menjawab, “Belum tau.”

“Maksudnya?”

“Ya belum tau, kak.” Ia menambah penekanan di kata terakhir.

Daniel mengerutkan kening.

“Dosen-dosen kamu percaya sekali sama kamu ya, sampe yakin banget kamu bakal pameran di luar padahal belum tau mau bikin apa.”

Menghela napas, Jihoon berkata, “Saya aja gak ada niatan untuk pameran di luar kak.”

Kali ini, Daniel benar-benar bingung.

Melihat ekspresi tersebut, Jihoon mengulangi lagi, “Saya belum ada ide dan sebenarnya nggak berniat pameran di luar kak. Saya juga nggak butuh bantuan kakak.”

So... why am I here, then?

Jihoon mengedikkan bahu, “Saya juga nggak tahu.”

Hening. Jihoon memainkan tali ranselnya, memfokuskan pendengaran pada suara obrolan dan derap langkah kaki di sekitaran kampus.

Beberapa menit berlalu, sebelum pria di depannya angkat bicara.

“Jadi, coba saya luruskan. Kamu nggak ada keinginan untuk pameran di luar, nggak ada niat untuk riset dan membuat karya yang memungkinkan untuk kamu bisa dikirim ke luar—“

“—saya bukannya nggak ada niat. Saya cuma belom bikin. Belom ada ide dan gambaran mau bikin apa.”

“Oke. Tapi kamu sudah riset dan cari bahan? Atau apapun?”

“Belum—“

“Hmm, padahal tadi selewat saya denger beberapa temen kamu udah mulai bikin proyek mereka,”

“Itu kan mereka. Bukan saya.”

This just tells me that you lack ambition, which explains why you don’t have the urge to—

“Sebentar, saya juga kepengen ngehasilin karya bagus kok. Tapi kan nggak harus sampe ke luar-luar sana? Di Indo juga cukup,”

Why settle for less? Kalau bisa, kenapa enggak?”

“Ya karena... karena enggak mau aja. Saya kepengen yang biasa-biasa aja.”

Daniel mendengus, seolah itu lucu. “Saya nggak paham sama jalan pikiran kamu.”

“Sama dong, kalau gitu.”

Jihoon melotot kepada pria itu. Daniel menggelengkan kepala sebelum menghela napas.

“Oke, kalau gitu nggak ada yang bisa saya bantu.” ia berkata, berat.

Jihoon ingin bersorak. Melihat perubahan ekspresinya yang begitu tampak, Daniel kembali tak bisa menahan senyum.

“Segitunya nggak ingin dimentorin sama saya ya?”

Merasa menang, Jihoon mengangkat bahu.

“Saya lebih suka kerja sendiri. Lagipula, saya nggak suka sama kakak.”

Perkataan blak-blakan itu membuat Daniel melongo. Sedetik kemudian, ia terbahak.

“Kenapa sih? Saya orangnya baik, loh.”

Jihoon menatapnya datar.

“Kakak amnesia? Nggak inget waktu saya presentasi kakak bilang apa?”

Daniel mengetukkan jemari ke dagunya. Tatapannya jenaka.

“Nggak tuh.”

Jengkel, Jihoon berdiri dari kursinya.

“Terserah deh.”

Tertawa, Daniel berkata, “Iya, inget kok. Kamu tersinggung ya?”

Kali ini, kepala Jihoon serasa berkedut. Kok bisa ada orang sesantai dan se-tidak sadar ini?

Melihat wajah kesal Jihoon, Daniel buru-buru berkata, “Gimana kalau gini. Kamu dateng ke studio saya, saya kasih tau feedback saya ke kamu. Saya utang itu kan?”

Melipat tangannya, Jihoon menyipitkan mata, “Kenapa nggak di sini aja?”

“Karena saya nggak bisa sekedar bilang. Mesti ditunjukkan,” Daniel tersenyum lagi. “Tapi, terserah kamu sih. Kamu juga nggak ada ambisi dan keinginan gitu kan? Ya sudah—“

“Ayo.” Sebelum Jihoon memikirkan apapun lagi, kata itu sudah keluar dari bibirnya. Ia ingin mengumpat, dirinya tidak terima dipanggil seperti itu. Mungkin ia memang sudah tidak ingin bergelut di bidang seni murni, tapi bukan berarti orang bisa seenaknya melabelkannya sebagai tidak ambisius dan tidak berniat! Jihoon masih ingin mempersembahkan yang terbaik, dan ia yakin ia bisa.

Daniel beranjak dari tempat duduknya. Bibirnya tidak berhenti tersenyum. Entah mengapa, Jihoon merasa ini semua bagian dari rencana pria itu.

“Yuk. Bawaan kamu nggak banyak kan? Saya hari ini cuma bawa motor soalnya.”