write.as

kingslayer; final fight

cw // harsh words, smoking

Daniel Caesar, Brandy – LOVE AGAIN: https://open.spotify.com/track/2fhePAlCSsJplwkjqMYpVm?si=JbABBgRGRuaHQN4A0USujA

“Sini.”

Komori melirik ragu, sebelum akhirnya menyodorkan rokok di bibirnya ke arah Suna – yang baru saja menghembuskan asap pertamanya. Suara jentikan korek api kini ikut mengisi hening yang daritadi menyelimuti Suna dan Komori – diiringi suara debur ombak di hadapan kedua pria yang kini sedang duduk di tengah pantai hotel yang kosong.

Kedua ujung rokok kini sama-sama terbakar seiring keduanya sama-sama menghisap; kertas dan daun tembakau perlahan habis dibakar bara, bak sumbu emosi di dalam hati kedua pria yang kini rasanya sudah di ujung nyawa – yang kini sudah tak bisa lagi sembunyi.

“Maaf.”

Komori langsung menoleh, begitu mendengar ucapan dari Suna dari antara bibirnya yang masih menjepit rokok – mata hijaunya menatap kosong ke laut, dengan alis bertaut.

“Maaf buat kelakuan gue barusan. Dan... maaf, bikin lo nangis.”

Komori bisa merasakan pedih di matanya lagi, seiring tangan kosongnya mulai mengusap mata yang masih kering.

“Bukan salah lo, kok.” Jawab Komori sambil perlahan menoleh kembali ke laut, “Lo nggak salah apa-apa.”

“Terus, kenapa lo nangis?”

“...Nggak tau.”

Hening dingin kembali mengisi pantai – seiring Suna dan Komori memilih menghisap rokok masing-masing dalam diam lagi; sambil sama-sama berusaha menelan rasa mengganjal dari hati yang mulai naik ke tenggorokan.

“Mori, tau nggak sih?” Ucap Suna memecah keheningan, “...kalau nangis itu pertanda ada yang lo pendam di dalam, yang sebenernya pengen banget lo keluarin; tapi entah kenapa nggak bisa? Akhirnya jadi air mata, deh.”

“Oh iya, ya?”

“Iya. Bisa jadi marah, sedih, kebelet boker..”

“Tai lo.”

“Yaampun, kasarnya. Beneran kebelet boker? Kok ngomongnya tai?” Tanya Suna dengan bibir manyun, sambil menatap Komori dengan jahil – yang dibalas dengan lirikan kesal Komori.

“Bacot banget sih mulut lo. Pengen gue sumpel.”

“Yaudah sini, sumpel. Pake bibir tapi.”

Derai tawa Suna kini mengisi pantai seiring butiran pasir melayang ke wajahnya – sebelum tak lama, rokok di tangan mereka berdua kini berganti menjadi pasir; saling digenggam dan dilempar seiring keduanya mendadak memulai perang lempar pasir otodidak.

“Suna!” Omel Komori sambil tertawa, “Perih anjing, udah!”

“Ya lo berhenti ngelempar lah!”

“Ya lo jug-“

Keduanya jatuh terdiam saat sadar akan tangan Suna yang sudah mencengkram pergelangan tangan Komori – menariknya dekat, hingga kini bahu mereka bersentuhan; uap nafas dari hidung dan mulut mereka menyelimuti satu sama lain seiring sepasang mata hijau dan biru saling menatap.

“Ya tapi beneran, maaf.” Ucap Suna perlahan, masih sambil menggenggam pergelangan tangan Komori,

“Maaf karena gue milih libido dan gengsi daripada urusan band dan workshop. Maaf karena udah bikin lo harus nyamperin gue ke sini, buat urusan kerjaan – dan melihat pemandangan... kurang senonoh.”

Komori mengerjap pelan sebelum menunduk, berusaha menyembunyikan semburat merah musa di pipi yang mulai muncul – entah karena dingin, entah karena malu, Komori sudah tak tahu.

“Maaf karena gue bikin lo nangis. Maaf kalo gue kurang, kalau gue ngga cukup worthy buat lo – sampai lo harus langsung hook up sama Sugawara siangnya abis sama gue.” Lanjut Suna, masih sambil menatap Komori,

“Maaf karena gue nosy dan ngechat lo ngegas soal lo hook up sama Sugawara, padahal ya bener – itu hak lo, sih.

“Walaupun pas abis gue tau, rasanya gue pengen mukulin Sugawara dan bakar villa – ya itu hak lo, sih. Gue nggak berhak marah.”

Komori langsung mengangkat kepalanya – untuk beradu pandang dengan Suna yang kini membuang muka; meski Komori masih bisa melihat semburat merah muda serupa di pipi Suna, seperti di pipinya.

“Kenapa gitu lo mau mukulin Sugawara?” Tanya Komori pelan.

“Gue nggak suka.”

“Kenapa lo nggak suka?”

Ya karena gue sukanya sama lo, lah!

Seisi pantai kembali jatuh hening – seiring Komori menatap Suna dengan mata terbelalak yang tak lagi bisa berkedip; suara debar jantung serta derasnya aliran darah dirinya sendiri membuat telinganya mendadak terasa pekak, membuat otaknya seakan sudah tak bisa berpikir.

“Gue nggak suka, karena yang Sugawara ambil dari gue pagi itu adalah orang yang berharga buat gue – worthed more than anything.” lanjut Suna, sebelum perlahan melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Komori – untuk memegang jemarinya sendiri sambil menatap laut, “Orang yang.. setelah sekian lama gue hidup berantakan gini, akhirnya gue nemu orang yang cocok. Yang ngerti masalah gue, yang ngerti cara pikir gue, yang akhirnya bisa gue percaya....

“....orang yang bikin gue akhirnya berani buat mulai. Orang yang mau gue jaga di hidup gue, yang nggak mau gue lepasin.”

Seakan membeku, Komori biarkan lidahnya jatuh kelu – seiring matanya terpaku menatap Suna yang nafasnya semakin berderu.

Someone that makes me feels like.... anything is worth doing if it’s for him. That my reputation, throne, whatever it is that got stuck on my name is now worthless – compared to him.

“Tapi ya mungkin, buat orang itu.. I’m not that worthy of him yet. And that makes sense, I can totally understand.

Komori tak menyangkal – rasanya seakan seluruh organ dalamnya sedang memberontak, berdebar dan berkedut begitu kencang, seakan ingin keluar dari cangkang tulang. Seakan ada rombongan kupu-kupu yang memenuhi seisi dalam tubuhnya sampai organnya sulit bernafas. Seakan tubuh ringannya sedang berusaha dibawa terbang oleh buncahan kembang api di balik mata, hati, dan otaknya seiring Suna selesai bicara.

Lucunya, walau seisi otaknya dipenuhi teriakan bahagia dari berbagai bahasa, Komori masih tak bisa bicara. Entah kenapa, otaknya mendadak berputar sangat lambat – seakan ia lupa semua kosakata, hingga menyusun satu kalimat pun rasanya sungguh sulit.

“....Sorry Suna, but... no.

Komori bisa melihat Suna menegang.

“Hahaha, iya, tau kok.” Jawab Suna dengan tawa yang terdengar pahit – mendadak membuat Komori sadar akan salahnya pilihan katanya, “Makanya-“

“Bukan, bukan!” Potong Komori panik – tanpa sadar, jemarinya meraih ke tangan Suna yang mengepal, membuat Suna tersentak kaget, “Maksud gue... no,

you’re wrong. It’s not me – it’s you who worthed more than anything, than anyone else, Suna.

Hening kembali mengisi pantai – namun bedanya, kali ini hangat.

“Saking berharganya – saking sukanya gue sama lo – gue sampai takut. Gue takut gue nggak layak dapet lo. Gue takut gue akan lepas kendali, gue jadi clingy, gue jadi berharap banyak sama lo – saat itu bukan yang lo mau.” Tutur Komori sambil menunduk, mata terpaku ke jemari Suna yang ada di tangannya, “Dan nanti gue bakal jatuh sendiri lagi – sakit sendiri, karena harapan gue sendiri lagi. ..So I tried to ‘neutralize’ it with Sugawara.

It didn’t work. I already fell too deep for you, I guess.

Suara debur ombak – kali ini lebih keras – menghantam pinggiran pantai kembali; seakan ingin bersaing dengan kerasnya suara deburan kenyataan di otak Suna dan Komori, setelah memahami kata hati sendiri-sendiri.

“Sama, dong. I tried to neutralize the anger from knowing about you and Sugawara too.” jawab Suna pelan, seiring ibu jarinya mulai mengelus permukaan telapak tangan Komori, “Makanya...gue di kamar anak-anak PRETTYMETAL malam ini.”

Ew. Greedy, insecure ass.

“Ngaca.”

Tawa hangat kini mengisi udara pantai – yang mendadak terasa tak sedingin saat pertama mereka berdua melangkah ke sana.

“Tapi serius, Komori.” Ucap Suna sambil berputar badan – kini ia sepenuhnya menghadap Komori, lutut bertemu lutut, kaki bertemu kaki, tangan kini perlahan beranjak menyentuh pipi Komori yang kini tak lagi sedingin udara malam hari,

“Serius – silahkan lepas kendali. Silahkan clingy, silahkan taruh harapan apapun yang ada di hati lo sama gue. Karena gue mau tau itu. Karena gue mau bisa menuhin semua harapan lo. Karena itu yang gue mau.

Melihat wajah Komori yang semakin memerah, Suna tersenyum – sebelum jemarinya bergerak ke dagu Komori, untuk mengangkat wajahnya; agar dirinya bisa menatap wajah manis Komori di bawah temaram cahaya lampu pantai dan cahaya bulan,

Agar dirinya bisa menatap pemandangan paling berharga yang membuatnya merasa jadi pria paling untung sedunia.

“Gue tau sih, kita baru kenal sekian hari.” Ucap Suna perlahan, “gue belum tahu dan kenal banyak soal lo – berhubung kita lebih banyak orgasme bareng ya daripada ngobrol bareng-“

Fuck you-

But I know a person worth fighting and sacrificing for when I see one, Komori.” potong Suna seiring wajahnya bergerak mendekat ke Komori, yang kini mulai tersenyum lebar – senyum terlebar Komori yang Suna pernah lihat sejak pertama mereka bertemu.

and I don’t mind falling – even to the deepest pit of hell, if it’s with you. Because you’re worth more than anything to me.

Di bawah sinar bulan Okinawa yang temaram, dua pria yang akhirnya sama-sama sepenuhnya paham kini sama-sama menatap satu sama lain dengan senyum puas,

seakan tak butuh apapun lagi di dunia.

Do you really think I’m worthed it?” bisik Komori, memastikan untuk yang terakhir kali apakah yang di hadapannya kini bukan mimpi, “raja buaya Hyogo beneran bilang gue worthed it?

Lucunya, Suna justru tertawa saat mendengarnya.

Suna tertawa karena kini, ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri – bagaimana seorang Suna Rintarou yang tak pernah mau dikuasai orang lain, yang tak pernah mau mempertaruhkan reputasi dan harga diri – kini tak punya kuasa apapun di hadapan Komori Motoya. Bagaimana ia hanya bisa tunduk, mendengarkan ucapan tambatan hatinya dan menurut,

karena hatinya kini sungguh sudah dikuasai oleh Komori Motoya – tanpa ada wilayah kosong yang tersisa;

dan baginya, tak ada yang lebih baik dari itu.

Of course. Lo mau nyuruh gue salto keliling pantai, bersihin laut – lo mau nyuruh gue apapun demi nyium lo juga gue rela.” Jawab Suna, sedetik sebelum bibirnya sampai di bibir Komori,

I’d sacrifice anything for you.

© meanhyookie