write.as

Suara kikikan feminim menggema di telinga Daniel.

Daniel memejamkan mata erat, bertumpu pada dinding. Ia tidak ingat bagaimana mereka bisa berakhir di lorong apartemennya, karena sejujurnya waktu lewat begitu cepat dan ia yakin ia setengah sadar dari awal mereka keluar klub dan diantar oleh Seungyoun— yang hari itu bertugas sebagai designated driver mereka. Kepalanya berputar dan ia merasakan rasa pahit yang familiar sedang naik ke kerongkongannya. Mengumpat dalam hati, benaknya mencoba menggali kapan terakhir kali ia semabuk ini.

Dulu.

Ingatannya samar-samar melepas memori masa lalu dan mempertontonkannya secara gamblang di benak Daniel. Tentang dua orang yang bersahabat. Tentang sebuah ide ambisius yang seharusnya melambungkan nama keduanya di kancah internasional. Tentang serba serbi tahun akhir, hebohnya mempersiapkan eksibisi, dan pembicaraan tentang masa depan. Tentang Daniel, yang mempunyai mimpi-mimpi setinggi langit dan tangan yang selalu gatal untuk menciptakan karya demi karya. Juga tentang dia, orang yang ia anggap sahabat, orang yang katanya akan selalu mendukungnya, orang yang tidak ia sangka-sangka malah...

“Nieeel,”

Lamunannya buyar tatkala sebuah tubuh langsing merangkul lengannya. Dia dapat mencium wangi parfum mahal dan bau rokok yang malah membuatnya semakin ingin muntah. Daniel menahan diri untuk tidak segera menghempaskan lengan itu, karena astaga, kepalanya betul-betul berputar, dan dia tahu ekspektasi wanita itu tidak akan terpenuhi dengan keadaan seperti ini.

“Gue panggilin taksi, ya,” ucapnya serak, berusaha merogoh hpnya.

Wait, whaaat? No! Kan kamu udah janji tadi,” wanita itu merajuk, setengah mendorongnya ke dinding. Tiba-tiba ia merasa tangan-tangan lentik itu meraba tubuhnya, “Sini, mana kunci kamu? Imma make this worthwile...

Aslinya, Daniel benar-benar tidak ada tenaga untuk melepaskan diri dari wanita itu. Tapi dia juga tidak ada energi untuk melakukan apapun yang diinginkan si wanita ketika nantinya mereka masuk ke apartemen.

Ah, rasa pahit itu kembali lagi ke mulutnya.

Daniel ingin segera menyentuh kasur.

Daniel ingin meneguk air putih secepatnya.

Daniel ingin...

“Jihoon siapa?” wanita itu berhenti berusaha merogoh kantung celana jeans Daniel.

Mata Daniel membayang.

“Tadi kamu nyebut namanya.” wanita itu memicingkan mata. Ia tidak terlihat semabuk sebelumnya.

“Siapa?” Daniel merasa dirinya bertanya balik. Lalu dia terkekeh, “Jihoon itu...”

Wanita itu kemudian mendekatkan wajah, dan tanpa aba-aba, dia menempelkan bibirnya ke bibir Daniel, memotong perkataannya.

Daniel refleks memegang lengan wanita itu yang kini memeluknya mendekat. Ia mendengar lawannya mengeluarkan desahan senang, tapi yang ada di pikiran Daniel hanya bayangan seorang laki-laki dengan paras manis yang wajahnya bersemu semerah tomat ketika ia selesai mengecup bibirnya.

“Kak Daniel..?”

Suara itu familiar. Suara itu juga yang membuat Daniel lantas menjauhkan wajah dari wanita itu dan menatap ke sosok yang kini berdiri terpaku.

“Jihoon,” gumamnya, bagai bisikan.

Cahaya temaram dari lampu koridor menyelimuti figur Jihoon. Wajahnya menatap Daniel dengan ekspresi yang begitu asing. Daniel yakin ia sudah berhasil membekukan hampir semua bentuk raut wajah Jihoon ke dalam lukisan-lukisannya— marah, malu, senang, kaget, muram, lelah—

Namun yang kini balas menatapnya adalah sepasang mata indah yang berkaca-kaca, bibir yang dipaksa mengatup, dan alis yang bertaut seperti menahan sesak.

“Maaf, kak. Saya, aduh, saya balik deh,” Jihoon berkata dengan suara yang juga sedemikian asing— lagi-lagi seperti ada sesuatu yang tertahan. Ia mencoba berbalik badan dan malah tersandung kakinya sendiri, hampir terjatuh.

“Sebentar—“ tangan Daniel menggapai, ingin meraihnya. Sebelah tangannya lagi menahan wanita yang sedang asik menciumi lehernya seperti tidak peduli, atau memang tidak sadar akan keberadaan baru di lorong tersebut. Ia memalingkan wajah, lalu dengan hati-hati berusaha melepaskan wanita itu, suaranya rendah ketika ia berkata, “I’m sorry, but can you just— go home?

Terganggu, wanita itu mengeluh, “Ada apa lagi sih? Dua kali kamu nyuruh aku pulang. I thought you wanted this..” lalu dia menoleh.

Jihoon masih menatap mereka, kali ini dengan pandangan kosong.

“Siapa?” gema suara wanita itu sampai ke ujung lorong.

Yang tak disangka-sangka, Jihoon berjalan maju.

Napas Daniel tertahan melihat sosoknya yang kini begitu dekat, menatap marah ke arah keduanya.

“Maaf kak, tapi kayaknya kakak harus pulang.” tegas lelaki mungil itu. Tatapannya tajam menatap si wanita yang hanya bisa balas melongo.

“Dek, kamu tuh siapa? Nongol tiba-tiba dan gangguin orang.” wanita itu membalas sambil mendelik.

“Saya dipanggil sama Kak Daniel ke sini. Gak tau buat apa. Waktu saya sampe dan lihat kalian, saya kira ini ajang bales dendam karena saya ngilang selama seminggu. Tapi ternyata karena kakak gak ngerti yang namanya consent.” Jihoon berkata panjang lebar, masih dengan tatapan berapi-api.

Daniel menatapnya penuh kekaguman.

Consent..? Ngelawak ya bocah? Daritadi juga dia gak nolak!” sergah wanita itu, tersinggung berat. Kini dia sudah melepaskan diri dari Daniel, dan menatap sengit ke arah Jihoon.

“Kak Daniel gak keliatan mau! Dia tuh pasrah karena kakak agresif! Kakak sendiri yang bilang udah dua kali disuruh pulang. Masa harus dibilangin sampe tiga kali baru bisa ngerti?”

Daniel sampai harus mengucek matanya karena masih tidak percaya.

Wanita itu kelihatan ingin menerkam Jihoon. Ia sudah hampir mengayunkan tasnya ketika Daniel menghadangnya, alhasil tas itu sukses menggebuk dagu Daniel.

Fucking hell,” Daniel mengerang. Dia menatap si wanita yang kini balas memandangnya takut-takut. Daniel merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas, lalu menyodorkannya pada wanita itu.

Here you go. Pesen taksi dan pulanglah.”

“Anjing ya lo!”

Daniel otomatis menarik Jihoon ke belakangnya ketika wanita itu menggebuk lengannya dengan tas yang sama. Untungnya, wanita itu langsung menghentakkan kaki dan pergi.

Bunyi sepatu haknya masih terdengar samar ketika akhirnya Daniel merasakan sebuah tubuh hangat memeluknya. Wangi familiar sampo buah dan sabun bayi yang selalu menjadi bahan godaan favoritnya kepada Jihoon memenuhi penciumannya.

“Kak,” suaranya lembut, manis, “bisa jalan nggak?”

Daniel mengeratkan pelukannya.

“Kamu ke mana aja?” bisiknya pelan, matanya terpejam. Rasanya nyaman, seperti pulang ke rumah. “Saya kangen sama kamu, tau nggak?”

Selanjutnya, memori Daniel terasa dikacaukan. Mungkin ini pengaruh berbelas botol alkohol yang ditenggaknya tadi malam, tapi yang ada di potongan-potongan ingatan Daniel setelah kejadian itu adalah tubuh kecil yang memapahnya masuk ke kamar, air dingin yang perlahan memasuki kerongkongannya, tangan-tangan yang membantunya mengenakan pakaian tidur, ucapan-ucapan samar yang bunyinya seperti permintaan maaf, dan hangatnya selimut tebal yang menutupi tubuhnya.

Malam itu terasa seperti mimpi, dan mungkin esok paginya dia tidak bisa membedakan mana yang hanya bunga tidur dan mana yang benar terjadi. Tetapi ketika ia berada di ambang-ambang kesadaran dan pendengarannya menangkap ucapan sayup-sayup yang berbunyi ”saya juga kangen kakak..” dan sebuah kecupan halus di keningnya, seluruh diri Daniel berharap hal itu bukan sekedar angan-angan alam bawah sadarnya saja.