write.as

JUMP THEN FALL

Sudah satu jam sejak kepulangan Atra dari kampus ia memilih untuk mengurung diri di kamar sambil berguling-guling di atas kasur, sesekali maniknya menatap layar pada benda pipih yang sejak tadi tidak lepas dari genggamannya, disana ada berpuluh pesan singkat masuk, tapi enggan menggerakan hatinya untuk mengintip barang sedikit, pasalnya pesan dari sosok yang ia tunggu belum juga tampil di layar.

Sudah genap delapan hari tidak ada kabar dari Marcel, setelah pertemuan terakhirnya, laki-laki itu menghilang bagaikan ditelan bumi, Theodore pun tidak memberi tahu kemana perginya, jawabnya hanya 'coba tanya langsung ke Marcel' atau 'gua kurang tau dia kemana' padahal Atra yakin betul kalau Theodore pasti yang paling tahu kemana perginya Marcel selama delapan hari.

Pencarian Atra pada sosok Marcel bukan karena rindu, percayalah hidupnya sudah cukup tenang tanpa Marcel, tolong catat kembali TIDAK ADA RINDU! Ia hanya kesal, pasalnya Marcel mengilang dengan meninggalkan banyak tugas untuk Festival Musik tahunan, dan jadi Atra yang terkena sial, mulai dari presentasi di depan angkatan, mengurus survey sound system dan panggung, dealing harga dan banyak hal lain yang berpindah tangan. Harusnya sebagai Wakil Ketua Pelaksana Atra tidak harus sesibuk itu, kan?

AAANJIIIING!

Tubuh Atra terlonjak saat mendengar bunyi yang terus mengusik dari arah luar balkon kamarnya, suara dari luar mirip seperti sebuah kerikil yang di lempar dengan sengaja ke arah kaca kamar secara berulang. Aduh, anak kampung mana lagi. pikir Atra, karena ini bukan pertama kali, posisi balkon kamarnya yang menghadap ke arah jalan selalu menjadi sasaran empuk akamsi.

Atra tidak bisa menahan rasa terkejutnya saat melihat sosok yang berdiri di bawah balkon kamarnya tepat di dalam halaman rumah. Di bawah sana ada Marcel yang sudah hilang tanpa kabar selama delapan hari, samar (tapi bisa diartikan jelas oleh Atra) laki-laki di bawah sana memberi gestur ‘angkat telfon’ membuat Atra dengan cepat kembali masuk ke kamar dan mengambil ponsel yang ia tinggal di atas kasur.

Calling from juan marcel playboy

“Halo? / LU KEMANA AJA?!” tanya mereka bersamaan saat panggilan tersambung. Marcel dengan suara yang begitu tenang, sementara Atra yang tidak bisa menahan emosinya.

“Gua boleh naik gak?” alih-alih menjawab pertanyaan untuknya, Marcel malah melakukan aksi di luar pikiran.

Belum sempat Atra menyetujui, ia sudah melihat Marcel merambat memanjat pohon mangga yang kebetulan berada di samping kamarnya hingga beberapa tangkai besar terhubung ke balkon setinggi kurang lebih lima belas meter.

Aksi yang dilakukan Marcel benar-benar mengingatkan Atra pada salah satu adegan di film High School Musical yang ia tonton bersama Sena beberapa tahun silam, pada film tersebut terdapat adegan dimana Troy Bolton si pria memanjat balkon kamar sang kekasih Gabriella Montez untuk bertemu melepas rindu. Sekarang siapa sangka kalau adegan yang hanya ada di film benar-benar berlaku di dunia nyata.

“Balkon kamar lu tinggi juga ya.” ujar Marcel dengan suara dan nafas yang saling beriringan karena energi yang ia keluarkan untuk memanjat pohon.

“Gila. Padahal bisa masuk lewat pintu depan, kenapa ngide pake manjat sih?” gerutu Atra, kekhawatirannya kalau Marcel jatuh dari pohon tidak bisa ia sembunyikan.

“Nanti ketauan Sena?”

Atra menggeleng, “Sena, Ibu sama Ayah pergi, gua cuma sendiri.” Marcel melongo, anjir?

“Kenapa gak bilang?”

“Gimana mau bilang, lu aja langsung matiin telfonnya terus manjat kaya tupai.” yang lebih besar menggaruk tengkuknya kikuk, benar juga sih, dia memang salah.

Rasa kesal yang menumpuk di hati Atra perlahan berganti dengan rasa khawatir, tercetak jelas dari air mukanya yang berubah.

“Cel, lu berantem lagi?”

“Hah? Enggak. Ini luka yang bekas minggu lalu, yang lu obatin.” gelagat Marcel bertolak belakang dengan jawabannya.

“Bohong. Gak mungkin, ini lukanya masih baru. Gua juga pernah berantem, Cel.” tangan Atra terulur menyentuh pipi Marcel, menekan pelan luka yang berada pada sudut bibir laki-laki di hadapannya membuat yang disentuh mengaduh kesakitan.

“Kan bener, ini luka baru.”

Marcel bungkam, sementara Atra masih setia dengan geraknya menelisik satu persatu bekas luka di wajah Marcel. Sekitar satu minggu lalu Atra mengobati luka memar di wajah itu, jadi ia hapal dimana letak luka yang harusnya sudah memudar, tapi hari ini malah mendapati bekas luka baru.

Pikirannya mulai berkecamuk, rasa penasarannya sudah mulai meletup-letup tentang ada apa dengan Marcel? kalau memang hanya berkelahi, Marcel tidak perlu berbohong, Atra mengerti kok kalau laki-laki di hadapannya memang begajulan. Apa yang disembunyikan? Kenapa harus disembunyikan?

“Tra.” entah sejak kapan tangan Marcel sudah melingkar pada pinggang Atra, tidak bisa dipungkiri kalau Marcel merindukan laki-laki dihadapannya, dunianya sepi juga kalau tidak mendengar omelan Atra yang sebenarnya banyak tersirat kepedulian disana.

Dan tunggu, berapa lama Marcel pergi? Tolong ingatkan? Karena ia baru menyadari kalau rambut Atra sudah lebih panjang dari terakhir kali mereka bertemu, laki-laki dipeluknya benar-benar seribu kali lipat lebih cantik dan manis dengan surai yang lebih panjang dan anak rambut yang hampir menutupi mata.

“Uh? Ken-” yang lebih kecil dibuat bungkam saat bibir Marcel menyapu miliknya.

Mulanya ciuman itu hanya menempel karena Marcel mengantisipasi penolakan yang mungkin di terima Atra karena hasratnya yang tidak terbendung menahan rindu, alih-alih penolakan, Atra bergerak lebih dulu menyesap bibirnya untuk bergerak, menekan tengkuk untuk memperdalam ciuman.

Marcel menghisap bibir Atra seperti permen jelly, ia benar-benar merindukan laki-lakinya, bahkan rasa sakit pada sudut bibir akibat luka sobek tidak lagi dipikirkan karena isi kepala Marcel saat ini hanya Atra, Atra, Atra, tidak pernah dalam hidupnya Marcel begitu mendaba – ia benar-benar menginginkan Atra untuknya, secara nyata, tidak ada lagi pencarian yang lain, ia berhenti.

Bibir ranum yang sedikit membengkak milik Atra, membuat Marcel berkali-kali mengucap syukur karena semua itu akibat perbuatannya.

“Cel,”

“Iya?”

“Pasti lukanya sakit banget ya?” Atra enggan memutus pandangan dari manik Marcel; tatapannya kali ini begitu sendu dan nanar.

“Sakit, sakit banget.”

“Boleh gue bantu obatin?”

Marcel mengangguk, “Tolong gua, Tra.”

Anggukan Atra membuat hati Marcel menghangat, sudah saatnya Marcel merima uluran tangan orang lain untuk membantunya, karena disana, ada Luka yang lebih menyakitkan dari sebuah bekas pukul.