write.as

Distraction


Tags: Canon SEVENTEEN, NSFW, explicit scene, oral sex, car sex, rough (but failed >,< i’m sorry to the prompter).

Author’s Note: Thank you to moderator and the prompter. i'm sorry if i didn't write it well because im still learning.


Pagi hari yang biasa dengan kesibukan yang agak tidak biasa.

Pasalnya, hari ini kami akan mulai—ehm—pindahan. Ke gedung baru perusahaan induk yang berlokasi di Yongsan, cukup dekat dengan kawasan agensi-agensi besar lainnya. Aku sudah mengintip beberapa artikel mengenai gedung tersebut, dan—wow, what a big and luxurious building! Penghuni dorm sibuk sejak kemarin: mendata barang apa saja yang akan dibawa pindah terlebih dahulu, mengambil puluhan foto di setiap sudut gedung agensi lama yang hendak dijual, bernostalgia di setiap petak ubin, dan seterusnya, dan seterusnya.

Kami berangkat pagi-pagi sekali dari dorm menuju gedung agensi yang lama. Barang-barang sudah terkepak rapi, siap diangkut ke gedung baru. Sekarang tinggal menunggu mobil agensi. Aku memperhatikan wajah-wajah anggota. Perasaan was-was, gembira, dan antusias bersatu.

Sepertinya hanya aku yang diliputi rasa takut dan gelisah.

Jujur saja, aku lebih ingin berhibernasi seperti beruang, tidur sepanjang hari tanpa memikirkan nasib dunia. Baru tiga bulan di tahun 2021, aku sudah sebegini tertekan. Jadwal kami—yang digadang-gadang sebagai satu dari tiga grup idol terbesar Korea—benar-benar melelahkan. Tentu aku tidak akan mengeluh jika hanya kesibukan yang jadi masalahanya. Toh, grup kami memang selalu sibuk. Situasi terburuknya, aku dihadapkan pada skandal yang benar-benar membuatku lelah secara fisik dan psikis. Kalian mungkin tahu tentang skandal ngawur itu.

Aku rindu berkelahi dengan para anggota. Aku rindu berinteraksi dengan penggemar. Aku rindu bercakap-cakap dengan temanku di luar grup.

“Kau melamun lagi?” Seseorang menepuk bahuku.

Aku segera menoleh, mendapati Wonwoo-hyung yang sedang menatapku kesal. “Aku tidak,” jawabku, terlalu spontan.

Wonwoo-hyung mendudukkan diri di sampingku. “Kau benar-benar butuh distraksi, ya?”

“Huh?” Aku menatapnya bingung.

“Aish, sudahlah. Kim Mingyu, berhentilah berpikir. Atau jika memang otak kecilmu itu punya waktu untuk memikirikan hal yang tidak-tidak, mengapa tidak kau pergunakan untuk hal lain saja? Merancang konsep untuk video musik, mungkin?”

Aku tersenyum tipis. Mencubit pipi tirusnya, lalu berkata, “Kau benar-benar kekasih yang pengertian. Brangkali aku memang butuh distraksi. Kau tahu, Hyung, setiap sedang tidak ada kegiatan, aku selalu berpikiran tentang banyak hal yang tidak seharusnya menggangguku. Bagaimana jika begini dan begitu. Andai saja ini dan itu.” Aku menaruh kepalaku di atas pahanya, “Aku lelah, Hyung.”

“Wonwoo, Mingyu, sedang apa?” Seungcheol-hyung menginterupsi. “Mobil 1 sudah siap. Bergegaslah,” perintahnya. Aku dan Wonwoo-hyung serentak bangkit. Berdasarkan pembagian semalam, kami akan berangkat dengan tiga mobil. Aku, Wonwoo-hyung, Jeonghan-hyung, Seokmin, Minghao, dan Chan ditempatkan di mobil 1, selebihnya di mobil 2, lalu barang-barang kami dibawa mobil 3. Karena ini masih hari pertama, tidak banyak barang yang akan kami bawa. Kegiatan kami hari ini kemungkinan akan lebih banyak berupa touring di gedung baru.

“Kau duluan saja ke mobil. Aku lupa barangku ada yang tertinggal di dalam.” Wonwoo-hyung berujar tanpa menunggu tanggapanku. Ya sudahlah.

Tidak lama, formasi kami lengkap. Mobil 1 berangkat paling awal, disusul mobil 2, lalu mobil 3. Para anggota ber-dadah-dadah dramatis ke gedung lama, dengan tatapan sendu yang dibuat-buat. Astaga, grup lawak yang kebetulan penuh talenta ini memang ada-ada saja tingkahnya.

***

Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dipikirkan Wonwoo-hyung. Ia melapor pada manajer kami bahwa kondisiku sedang tidak baik dan butuh istirahat—yang padahal aku baik-baik saja? Terlebih, istirahat yang ia maksud adalah kembali ke mobil. Huh? Kami punya ruangan di gedung baru ini, lantas kenapa harus bersusah payah menuju parkiran hanya agar aku dapat ‘beristirahat’? Aku ingin protes, tapi wajahnya sangat garang. Ingin mengadu pada Seungcheol-hyung, atau siapa saja, tapi tidak bisa. Man, ayolah, tidak ada satu orang pun yang mengetahui hubungan yang diam-diam kami jalin sejak pembagian kamar terakhir ini.

“Kenapa wajahmu tertekuk begitu? Kau seperti orang banyak utang.” Wonwoo-hyung membawaku duduk di kursi paling belakang.

Aku menghela napas lelah, benar-benar seperti orang yang banyak utang. “Hyung,” panggilku lirih. “Aku tidak mengerti. Kenapa kau bawa aku ke sini? Maaf, Hyung, tapi aku lelah. Pikiranku kosong. Aku tidak punya ide sama sekali tentang apa yang kau rencanakan.”

Wonwoo-hyung merangkak mendekatiku. Tanpa aba-aba, ia mendudukkan diri di atas pahaku. Aku refleks memeluk pinggang kecilnya. “Kau butuh distraksi bukan?” Ia tersenyum nakal. Wah. Apa-apaan ini?

“M-maksudmu?” Dan entah kenapa, aku malah tergagap melihat senyum nakalnya itu.

I want you to fuck me.

“HAH?”

“Bau ih, Mingyu. Kau tidak perlu berteriak.”

“Hyung, tapi—” aku hendak menyahut lagi, tapi Wonwoo-hyung menginterupsi lebih cepat. Ia tiba-tiba menangkup wajahku degan tangan mungilnya. Lalu mempertemukan kedua belah bibirnya dengan milikku.

Aku—melotot. Tapi bibir itu kusambut baik. Wonwoo-hyung hanya menaruh kecupan sekilas, lalu menjauhkan diri. Hanya saja ia kalah cepat dengan tangan kananku yang sudah sigap menarik tengkuknya untuk kembali mendekat. Aku memagut bibir Wonwoo-hyung. Dapat kurasakan ia tersenyum. Such a tease, huh?

Mungkin Wonwoo-hyung benar. Mungkin aku memang butuh distraksi. Mungkin aku terlalu larut dalam masalahku tanpa mau melihat bahwa masih ada—masih banyak—orang yang peduli. Mungkin aku terlalu sibuk mendramatisir segala drama awal tahun ini tanpa peduli ada seseorang yang juga harus kupedulikan. Aku memejamkan mata. Rasanya sudah lama sekali kami tidak memiliki waktu berdua. Jadwal yang sangat padat, skandal yang berlarut-larut, dan ego masing-masing yang tidak mau diajak mengalah, baru kusadari benar-benar menjauhkanku dari orang yang paling kukasihi. Kami masih berbagi kamar di dorm, tapi sudah tidak pernah ada lagi obrolan random tengah malam.

Wonwoo-hyung memutus pagutan itu terlebih dahulu. Tangannya masih tertangkup di wajahku. Ia lalu membubuhi kecupan-kecupan kecil di kening, pipi, hidung, terakhir di daguku. “I miss you,” bisiknya lirih.

Tuhan, aku ingin menangis. Aku membenamkan kepalaku di ceruk lehernya. “I miss you more, Hyung,” balasku.

Wonwoo-hyung lalu turun dari pangkuanku. Ia duduk—atau berjongkok? Entahlah—menempatkan diri di antara kedua kakiku yang terbuka. “Hyung?” Aku mengerjap bingung.

Tangannya yang satu bermain-main di sabuk pinggangku, sedangkan tangan lainnya sibuk mengelus-elus pahaku. Aku sudah tahu ke mana arah tingkahnya ini. Aku seketika blank.

Stop me, or beg me.” Wonwoo-hyung menatapku dari bawah dengan ekspresi datar. Aku kesulitan meneguk ludah.

P—please please, Hyung.” Aku memelas.

Please apa, Mingyu?”

D—Do it. Lakukan apa yang hendak kau lakukan, Hyung.”

Ia tersenyum miring lagi. Seperti sedang mencemoohku yang terlalu lemah afeksi. Sekali lagi mengusap pahaku dengan sensual, Wonwoo-hyung lalu dengan cekatan melepas ikat pinggangku. Terkesan tidak sabaran, tapi masih tetap menjaga kehati-hatiannya, ia sedikit menurunkan celana jins ketat yang sedang kukenakan. Hingga celana itu turun sampai setengah betis, Wonwoo-hyung kmbali menatapku. Kali ini dengan tatapan anak kucing kehilangan induk. “Jangan berisik,” titahnya.

Wow. Astaga. Aku baru ingat kami saat ini bukan di tempat yang tepat. Kesibukan di sekitar parkiran masih cukup terdengar jelas olehku. Beberapa mobil dari tadi sibuk berlalu lalang. Maklum, bukan hanya kami yang hari ini mulai pindahan. Aku menggigit bibir meyakinkan diri bahwa aku tidak akan bersuara. Aku bahkan bertekad untuk tidak bergerak.

Wonwoo-hyung sudah menurunkan celana dalamku hingga setengah betis juga. Kedua tangannya dibawa menangkup kejantananku. Aku terkesiap melihat pemanadangan ini. Sudah terlalu lama. Aku meraih kepala Wonwoo-hyung, “Hyung, Hyung. Sebentar, can you kiss it first?” pintaku sedikit merengek.

Lagi, ia tersenyum miring. Berikutnya segera membubuhi kecupan di kepala kejantananku. Wonwoo-hyung menahan bibirnya cukup lama di sana, dengan mata terpejam. Aku mengangguk, aku benar rindu pemandangan ini. Begitu membuka mata, ia langsung memasukkan setengah milikku ke dalam rongga mulutnya.

“O—oh, fuck.” Aku menggigit bibir. Hangat, mulut Wonwoo-hyung hangat.

Kuluman Wonwoo-hyung semakin intens. Sepenuhnya milikku sudah masuk. Aku dapat merasakan langit-langit rongga mulutnya, lidahnya, gigi-giginya, bahkan pangkal tenggorokannya. Aku memejamkan mata. Tangan kananku menjumput anak rambut Wonwoo-hyung, membantu menuntun gerakannya memaju-mundurkan kepala sesuai kecepatan yang aku mau.

Ia lalu berhenti. Mendongak dengan tatapan anak kecil menatapku. “Apa?” tanyaku setelah beberapa saat ia hanya diam dalam posisi seperti itu.

Wonwoo-hyung lalu melepas kulumannya. Ia bangkit lalu mendudukkan diri di sampingku, membiarkan kejantananku yang masih berdiri tegak melawan gravitasi begitu saja. “Celanaku basah,” adunya sambil memperlihatkan bagian selangkangannya kepadaku, mungkin itu cairan pre-cum-nya. Aku mengerjap. Ia meraih tanganku, lalu diarahkan menyentuh miliknya dari luar celana. Wonwoo-hyung menggerakkan tanganku membentuk usapan-usapan lembut di atas benda yang terasa semakin mengeras itu.

Aku yang kepalang dipuncak nafsu semakin tidak sabaran. “Apa maumu, Sayang?” bisikku menggeram seraya meremas milik Wonwoo-hyung. “Selesaikan dulu apa yang sudah kau mulai.”

“Tidak, Mingyu.” Wonwoo-hyung menggeleng, “Aku ingin lebih. I want your cock. I miss it so bad. I want yours in my body.

Fuck,” aku mengumpat lagi. Aku tidak tahu Wonwoo-hyung bisa sebegini liar dan—binal? Tanganku yang tadi masih di atas miliknya lalu dibawa ke mulutnya. Wonwoo-hyung mengulum jemariku. Sangat sensual. Seperti sedang menjilati es krim kesukaannya. Aku dapat melihat jelas untaian saliva yang menggantung dari mulutnya begitu ia melepas kuluman di jari-jariku. Jorok. Tapi karena ini Wonwoo-hyung, semua terlihat erotis dan menggemaskan. Aku mengarahkan jempolku untuk menghapus sisa saliva di area bibirnya.

Aktivitas di luar semakin sibuk. Suara tawa, teriakan-teriakan tidak jelas, klakson mobil, bahkan sepertinya aku mendengar rintik hujan.

Tidak sedikit pun peduli pada keadaan di luar mobil kami, Wonwoo-hyung melepas semua bawahannya, lalu kembali mendudukkan diri di atas pangkuanku. Ia seperti dengan sengaja menggesek-gesekkan bokongnya di atas kejantananku yang masih sempurna menegang. Mengalungkan kedua tangan ke leherku, Wonwoo-hyung lalu menaruh dagunya di atas bahuku. “Do it,” bisiknya lirih, “Do it rough.

Rough? Aku sedikit membelalakkan mata. Selama ini aku selalu bermain lembut—vanilla sex, kata orang-orang. Selain karena Wonwoo-hyung menyukainya, juga karena aku yang tidak sanggup memperlakukannya kasar. “Kau serius, Hyung?” tanyaku hati-hati. “Just do it,” balasnya acuh sambil mengencangkan rengkuhan di leherku.

Okay.” Pada akhirnya aku tetap menyanggupi. “Turun sebentar, Hyung,” titahku dengan suara yang kubuat rendah beberapa oktaf. Wonwoo-hyung menurut tanpa ada tanya. Ia kembali duduk di sampingku.

“Persiapkan dirimu, Hyung.”

“Maksudmu—aku yang harus mempersiapkannya sendiri? Foreplay?” Wonwoo-hyung bertanya ragu, tapi tetap membuka kedua kakinya.

“Iya.”

Menatapku sekali lagi, berkedip dua kali, Wonwoo-hyung kemudian memasukkan dua jari ke mulutnya, hendak melumuri kedua jari tersebut dengan salivanya. Terlihat amat dipenuhi nafsu ia mengulum jari-jari tersebut. Aku di sebelahnya sibuk dengan milikku sendiri, mengocok dengan sedikit tergesa. Pemandangan panas dari kekasihku tentu saja semakin memicu libidoku.

Sebelah tangan Wonwoo-hyung kini mendarat di bahuku. Ia memejamkan mata dengan tangan yang satunya sudah diarahkan ke lubang analnya. Aku membiarkan Wonwoo-hyung memcengkeram bahuku. “Pelan-pelan, Sayang. Masukkan satu jari dulu.”

“Mingyu, Mingyu—” Wonwoo-hyung mulai terengah. Ia masih memejamkan mata. Ia terlihat kesakitan, tapi di saat yang sama juga tengah menikmati.

Sudah pernahkah kalian kuceritakan tentang pemandangan yang sangat indah? Ini dia. Pemandangan ketika Wonwoo-hyung, kekasihku, rapper dari salah satu grup idol terbesar di Korea, si putra mahkota dalam silsilah keluarga jadi-jadian grup kami, tengah berada di puncak birahinya yang tak seorang pun dari kalian akan mungkin berkesempatan untuk menikmatinya. Pemandangan ini mutlak milik Kim Mingyu seorang. Wonwoo-hyung milikku sepenuhnya, seutuhnya.

“Masukkan satu lagi, Sayang.”

Cengkeraman Wonwoo-hyung di bahuku semakin kencang. Ia menambah jarinya. Pejaman matanya juga semakin kuat. Wonwoo-hyung menggigit bibir bawahnya menahan agar erangan kesakitannya tidak keluar. Aku semakin bergairah. Gerakan Wonwoo-hyung memasuk-keluarkan jarinya terlihat kacau dan berantakan.

“Mingyu, Mingyu—hhh.” Ia merengek lagi memanggilku.

“Iya, aku di sini.”

“Tolong—hhh, jariku, jariku tidak sampai.” Ia akhirnya membuka mata. Cairan bening mulai menggenang di sana. Aih, cantiknya.

“Ke mari, Hyung.” Aku bergerak mengubah posisi. Dengan pelan membantu Wonwoo-hyung melepas kedua jarinya dari dalam sana. “Sudah begini kau tetap ingin kuperlakukan kasar, huh?”

“Berisik, Mingyu.” Ia mendesis.

Aku tergelak cukup kencang. “Baiklah, baiklah,” sahutku, lalu bangkit dari duduk. Mobil ini cukup luas untuk ukuran orang yang hendak melakukan sex car. Aku memindahkan posisi Wonwoo-hyung hingga kini ia bersandar pasrah pada pojokan mobil. Kuraih kedua kakinya, lalu aku membukanya lebih lebar. Wonwoo-hyung frustrasi memijit kemaluannya yang benar-benar mengenaskan.

“Kulum lagi, Hyung.” Aku mengarahkan kembali jari-jariku untuk dikulumnya.

“Buruan, Brengsek.”

“Oh, wow?” aku menarik tanganku kembali. “Terburu-buru sekali, Sayang?” bisikku tepat di telinga Wonwoo-hyung. Ia tidak menjawab, hanya desisan tidak sabar yang kudengar sebagai respon. Baiklah, barangkali hyungku ini benar-benar ingin aku berlaku kasar.

Aku bangkit dari dudukku, mengungkung Wonwoo-hyung, tidak lupa meremas kembali kejantanannya. Sesekali juga kupertemukan miliknya dengan milikku. Di atas, aku sibuk menjilati daun telinganya. Sensual, aditif, dan mematikan. Air mata Wonwoo-hyung semakin berlinangan. Desahannya terdengar pelan dan putus-putus.

Selesai dengan telinga yang satu, aku berpindah ke telinga lainnya. Meniup, menjilati, dan menggigitnya.

“Sayang, Mingyu … hhh, aku—aku ingin cum.” Wonwoo-hyung menahan kepalaku yang baru saja hendak berpindah menuju lehernya.

Really, Hyung? Secepat ini? You will come untouched?

You TOUCHED me, Mingyu.” Ia mendesis lagi. Aih, garangnya.

“Kalau begitu tunggu aku,” kataku, lalu kembali duduk. “Kau bawa kondom, Sayang?”

“Ada.” Wonwoo-hyung terlihat berpikir sebentar, “Aku membawanya di dalam saku cardigan-ku, tapi sepertinya tertinggal di dalam gedung,” lanjutnya polos. “Tidak apa-apa, Mingyu. Teruskan saja. Kau tidak akan menghentikan ini hanya karena tidak ada pengaman, 'kan?”

Benar-benar lucu. Gemas. Kegemasan di atas dunia ini cuma milik Jeon Wonwoo. yang lain hanya dapat sisanya. Ia menatapku dengan mata rubahnya, dengan tatapan memelas menuntut 'hak'nya, seolah aku baru saja merebut mainannya. “Iya, Sayang. Naik ke sini,” aku menepuk-nepuk pahaku, isyarat perintah agar ia kembali lagi pada singgasananya.

Wonwoo-hyung menurut. Ia kembali memposisikan diri duduk di atas pangkuanku. Seperti tadi, kedua tangannya secara otomatis mengalungi leherku. “Do me now, Sayang. Berhentilah membuang-buang waktu—ARGH!” Ia berteriak tertahan begitu tanpa aba-aba aku memasukkan telunjukku ke lubangnya. “Kim Mingyu kurang aj—AH!” lagi, aku menambah satu jari di dalam sana.

Pelukan Wonwoo-hyung di leherku semakin mengencang. Dua jariku di bawah sibuk membuat pola. Menggunting, melingkar, keluar dan masuk. “Mingyu, Mingyu—” Wonwoo-hyung meracau, ia semakin merapatkan tubuhnya denganku. Selagi tanganku melakukan pekerjaannya, aku sibuk membaui aroma maskulin dan segar dari hyungku. Aku mencecap lehernya, menghirup dalam-dalam wangi sang sedatif.

Aku menambah satu jari lagi. Total tiga jariku berada di dalam tubuh Wonwoo-hyung. Setiap kali desahan frustrasinya keluar meski secara tertahan, aku akan menggeram tidak sabaran. Tanganku yang bebas kubiarkan bekerja atas milik Wonwoo-hyung; meremas, mengocoknya pelan, juga menutup jalur keluarnya cairan miliknya. Ia mungkin sangat kewalahan sekarang sebab aku ‘menyerangnya’ dari depan dan belakang sekaligus. Racauannya semakin tidak jelas. Tapi aku masih cukup dapat mengerti apa yang digumamkannya.

“Sabar, Sayang. Kau dengar apa yang kukatakan tadi? Kita keluar bersama. Tunggu aku.”

Aku mengeluarkan ketiga jariku. Tangisan dan ringisan Wonwoo-hyung sedikit melemah. “Aku akan masuk, Hyung. Kau benar tidak apa-apa kalau aku tidak memakai pengaman?” memastikan sebelum bertindak.

Tidak ada tanggapan gamblang darinya. Ia hanya meraup rakus bibirku—yang kuanggap sebagai sebuah ‘ya’ untuk melanjutkan tindakanku.

Maka, aku mengangkat pinggulnya dengan kondisi bibir kami yang masih tertaut.

Entah sudah berapa menit berlalu sejak aku dilaporkan kurang sehat dan butuh istirahat. Entah apa yang sedang dilakukan para anggota di dalam gedung sana saat ini. Entah apa kejutan yang bakal mungkin menantiku. Yang jelas, aku kini hanya dapat membenarkan pernyataan Wonwoo-hyung. Bahwa aku butuh distraksi. Bahwa aku butuh mengalihkan pikiran. Bahwa aku butuh mengistirahatkan otakku sejenak dari hal-hal negatif yang selalu membuatku overthinking. Dan, Wonwoo-hyung adalah salah satunya. Atau mungkin satu-satunya. Sedatifku, canduku, distraksiku. Aku harus meminta maaf padanya nanti, atas sikapku hari-hari belakangan yang seakan tidak mempedulikan eksistensinya.

Ketika akhirnya milikku masuk seutuhnya ke dalam lubangnya, Wonwoo-hyung refleks menggigit belah bibirku. Tautan bibir kami dilepas, untaian saliva terbentang seolah tidak rela memisahkan bibirnya dengan bibirku. Wonwoo-hyung mendongak seperti tengah sangat kesakitan. Aku mengulurkan tanganku, mengelap peluh yang deras membasahi dahinya. “Rileks, Sayang.”

“Sayang, aku bergerak, ya?” Aduh, manisnya. Bahkan ia meminta izinku terlebih dahulu setelah tadi sok keras sekali minta diperlakukan kasar. Aku mengangguk sebagai jawaban. Dan Wonwoo-hyung pun mulai bergerak naik turun di atasku. Aku tidak bisa meminta lagi lebih dari ini. ini puncak bahagiaku. Sesekali aku menampar pipi pantat Wonwoo-hyung. Tidak keras, tapi cukup untuk memerintah Wonwoo-hyung agar memacu gerakannya menjadi lebih cepat.

Desahan-desahan pelan, ringisan, dan geraman bersahut-sahutan. Kondisi kemaluan Wonwoo-hyung benar-benar mengenaskan dengan cairan pre-cum di mana-mana, bahkan mengotori bajuku. Sekujur leher, bahu, dan selangka Wonwoo-hyung penuh oleh ‘tanda’ dariku.

Aku masih belum menjemput kepuasanku ketika Wonwoo-hyung bahkan telah menyemburkan spermanya. Aku masih belum berada pada puncak nikmatku ketika hyungku sudah kelelahan bergerak. Aku bahkan masih belum merasa ‘dekat’ sama sekali ketika jendela di sampingku diketuk dari luar.

Kami berdua terlonjak kaget, mendapati manajer kami berdiri di sana, sedikit membungkukkan badan untuk mengintip ke dalam mobil, dengan cardigan Wonwoo-hyung berada dalam tentengannya.

Ya Tuhan, hari ini aku benar-benar akan tamat.

***

Pada akhirnya aku tetap tidak berkesampaian menjemput nikmatku. Begitu kami ketahuan, manajer langsung menghubungi Seungcheol-hyung, mengatakan satu-dua hal tentang kepulangan kami yang harus dipercepat. Tidak perlu menunggu lama, para anggota sudah berkumpul di parkiran.

Manajer memberi arahan agar penumpang mobil 1 tadi pagi berpindah ke mobil 3, mobil 2 tetap, sedangkan aku dan Wonwoo-hyung di mobil 1. Tidak perlu dijelaskan kalian pasti mengerti bukan, manajer kami tidak ingin anggota lain berada di dalam mobil yang penuh bau sperma. Beruntunglah mereka menurut, tidak ada pertanyaan tentang mengapa Mingyu dan Wonwoo—, atau ada apa dengan mobil 1—, atau pertanyaan tidak penting lainnya.

Sepanjang perjalanan pulang aku membiarkan Wonwoo-hyung melayaniku, memberikan seks oral untukku. Kami tidak banyak bicara, hanya Wonwoo-hyung yang berjongkok di hadapanku dengan mulut yang sibuk bergerak, dan aku yang fokus menyetir sambil sesekali mengelus puncak kepala hyungku.

Kami akhirnya sampai di dorm dengn penampilan yang amat kacau. Skenario terburuknya, begitu aku dan Wonwoo-hyung melangkah melewati pintu masuk asrama, ternyata manajer kami telah duduk di ruang utama, berikut dengan kesebelas anggota tersisa. Aku susah payah meneguk ludah.

Tidak sempat berganti pakaian, tidak sempat sedikit saja memperbaiki penampilan, bahkan kancing teratas kemeja Wonwoo-hyung masih terbuka—menampilkan sisa-sisa kegiatan kami tadi, aku dan Wonwoo-hyung disidang.

Manajer kami tidak marah, mungkin lebih tepat jika kukatakan, beliau kecewa. Ia hanya berkali-kali menghela napas, lalu membiarkan sidang dipimpin sepenuhnya oleh Seungcheol-hyung. Tidak ada banyak pertanyaan, Seungcheol-hyung lebih banyak membiarkanku memberi eksplanasi. Terakhir, sidang ditutup dengan manajer yang menepuk bahuku dan bahu Wonwoo-hyung bergantian, “Tidak apa-apa. Aku akan mencoba mengerti kalian, mungkin aku hanya akan mengusulkan agar perombakan kamar dilakukan lagi. Lain kali, kumohon, Wonwoo, Mingyu, cobalah untuk tahu tempat. Dan, Mingyu, kau tahu ‘kan, skandalmu masih belum selesai? Tolong jangan lagi menambah sakit kepalaku. Aku bisa mati muda.” Dan beliau pun berlalu.

Di kamar, aku memeluk erat hyungku. Kami sudah mandi dan berganti pakaian. Hari masih sore, tapi kami sudah benar-benar kehilangan tenaga. Wonwoo-hyung mengjakku tidur lebih awal hari ini. sambil menepuk-nepuk punggungku dengan halus, ia berbisik lirih, “Mingyu, Sayangku, mulai besok berhentilah membiarkan dirimu stress karena terlalu banyak berpikir. Kau bisa datang kepadaku, mintalah sesuatu sebagaimana kau seharusnya meminta pada kekasihmu. Aku harap kau tidak menyesali apa yang terjadi hari ini.”

Aku tersenyum, lalu mengecup halus kening Wonwoo-hyung. “Aku tidak menyesal, Hyung, sama sekali tidak. Aku berterima kasih kau masih di sini, bahkan setelah sikap cuekku padamu belakangan ini. terima kasih, Hyung. Sekarang, besok, dan seterusnya aku akan selalu mendatangimu karena aku tidak akan pernah bisa sendiri.”

“Ayo nanti minta maaf pada para anggota. Kita benar-benar telah mengacacukan agenda hari ini.”

“Iya, nanti kita minta maaf.”

Lalu hari pun berakhir, lebih cepat dari biasanya. Aku hampir terlelap dengan senyum yang masih terukir di wajahku. Meyakinkan diri bahwa aku tidak perlu lagi merasa takut. Bahkan jika mereka yang mengaku penggemar itu nantinya akan meninggalkanku, setidaknya aku masih punya Wonwoo-hyung dan semua anggota SEVENTEEN.

Selesai