write.as

EXTRA IV

Marcel mendekatkan kepalanya ke arah perpotongan leher Atra saat laki-laki itu masuk ke mobil dan memposisikan duduknya; ia menghirup wangi baru dari tubuh itu. — Jangan tanya respon Atra, ia membeku atas perlakuan Marcel, karena kepalanya masih dipenuhi oleh ucapan Harvi pada percakapan singkat mereka.

“Parfume lu baru ya?” Atra mengangguk sebagai jawab, “pantes wanginya beda dari yang biasa.”

“Gak enak ya wanginya?” duh, Atra tidak tahu kenapa dirinya jadi merasa canggung. Sialan, Harvi anak babi!

“Enak, gua suka wangi yang ini, manis.” diam, selanjutnya Atra hanya bergelut dengan pikirannya sampai mobil hitam meninggalkan pekarangan parkir fakultas.

“Tadi kurirnya bawain bunga sama makanannya lama gak?” pertanyaan itu adalah salah satu bentuk distraksi dan berhasil karena selanjutnya obrolan mereka berlanjut seputar rumah Marcel yang akan mereka kunjungi sampai alasan mengapa bunga yang dipilih Atra untuk Nyokap jauh pada Bunga Peony.

Tentang Bunga Peony — Atra sudah memikirkannya dalam-dalam selama dua hari, ia ingin pemberiannya bermakna, dan hasil pencairan di Google, Bunga Peony lah yang sesuai dengan apa yang Arta ingin sampaikan, sebuah harapan, kebahagiaan, kesehatan dan kehormatan.


Cel, Nyokap tau gua ikut? Serius gapapa? Anjing! Cel kalo gua diusir gimana? Lu jangan ngadu ya kalo pernah gua pukulin, janji?

Ucapan itu tak henti terulang saat mobil Marcel memasuki area perumahan elit di Jakarta Selatan, ocehan Atra membuat Marcel mati-matian menahan senyum, gemas — demi Tuhan ia ingin memberi cubitan pada pipi laki-laki manis di sampingnya.

“Ayo turun.” Marcel tahu Atra sedikit gusar, jadi ia hanya tersenyum memberi tepukan lembut pada surai kecokelat si manis.

“Gak akan diusir, Tra. Kalo lu diusir gua juga pergi.” final, Atra turun bersama Marcel dengan membawa hadiah yang ia beli untuk di berikan pada ‘Nyokap Marcel’.

Rumah Maksiat begitu Marcel menyebutnya, kata Marcel diperjalanan tadi, rumah ini adalah tempat maksiat Nyokap dan selingkuhannya — sesekali dipakai sebagai medan perang untuk orangtuanya beradu argumen atau saling melempar barang, jadi Marcel mewanti-wanti kalau (mungkin saja) kondisi rumah yang akan mereka kunjungi tidak layak untuk menerima tamu. — tetapi ucapan Marcel berbanding terbalik dengan kenyataan.

Rumah yang Atra pijak jauh dari kata tidak layak, rumah berukuran berkali-kali lipat lebih besar dari Apartemen Dharmawangsa mirip seperti rumah mewah yang ada di drama korea, tidak seperti tempat maksiat atau medan perang, rumah itu benar-benar seperti Rumah; hanya saja sedikit terasa — dingin?

“Bunda dimana, Pak?”

“Eh Mas Acel, Ibu ada di dapur, Mas.” Mas Acel panggilan itu menggelitik telinga Atra, ia tidak tahu kalau laki-laki disampingnya memiliki semacam panggilan masa kecil?

“Mas Acel.” bisik Atra menyamai langkah dengan Marcel lalu terkekeh menampilkan deret giginya, yang merasa dipanggil tentu saja menoleh.

“Apa?” jujur semakin dewasa Marcel tidak suka dengan panggilan itu tapi saat Atra yang mengucapkannya ia berubah pikiran — Mas Acel, manis ya kalau Atra yang mengucapkannya.

“Astaga anak Bunda sudah datang.” suara wanita paruh baya menggema dipenjuru ruangan membuat Atra menoleh.

Wanita yang menyebut dirinya Bunda sudah dipastikan adalah sosok yang Marcel ingin temui, wanita yang ada dihadapan Atra jauh lebih cantik dari yang pernah ia lihat di foto, sangat periang, bahkan terlihat hangat rasanya tidak seperti cerita Marcel, sampai mata Atra jatuh pada beberapa bekas luka di tangan (yang sudah berusaha ditutupi tapi masih terlihat). Mungkin luka itu di dapat saat bertengkar dengan suaminya — entahlah.

“Halo, siapa ini? Kawan Marcel yaa.” sebuah sapaan hangat diterima Atra, awal yang baik, ia tidak diusir. “Siapa namanya?”

“Atra, Tante.” Atra hanya berharap senyumnya tidak creepy karena gugup, padahal tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Jangan panggil tante, Bunda aja.” selanjutnya pandangan Bunda jatuh pada buket bunga yang Atra bawa, “Oh, Peoni.”

“Marcel cerita bunda suka bunga.” ia memberikan bunga yang semula berada digenggamannya, Bunda tentu saja menyambut dengan senang.

“Marcel cerita Bunda suka bunga?” Atra melihat binar di mata sang wanita paruh baya, tidak tahu sudah berapa lama hubungan Ibu dan Anak ini tidak berjalan mulus.

“Iya, Marcel cerita Bunda suka tanaman, suka bunga, sama suka pasta.” ada kilat gembira di mata Bunda saat mendengar ucapan Atra, fakta kecil bahwa sang anak masih menyertakannya dalam obrolan membuat ia ingin mendengar lebih.

“Itu Marcel bawain Bunda pasta.” bohong demi kebaikan itu diperbolehkan, Atra melirik Marcel yang masih diam di sampingnya — enggan untuk menyatu dalam obrolan.

“Cel, pastanya.”

“Ini untuk Bunda?” Marcel mengangguk saat Bunda melirik sebuah kotak berisi makanan. “Terima kasih ya, Nak.”

“Ayo, kita makan, Bunda udah masak banyak banget.”


“Cel, gapapa?” sejak tadi Marcel hanya diam, sesekali bicara saat dipancing Bunda atau Atra.

Yang ditanya mengangguk, Marcel baik-baik saja — hanya merasa — haru. Perasaannya campur aduk. Melihat Bunda satu minggu yang lalu dan yang sekarang sungguh berbeda, yang hari ini Marcel temui adalah Bundanya yang bertahun-tahun telah hilang.

Tidak dipungkiri hadirnya Atra sangat membantu Marcel, kalau saja laki-laki itu tidak ikut andil, pasti acara makan malam mereka akan berlangsung sepi, celotehan Atra membuat suasana hidup, sebagai gambaran singkat, — padahal sejak kedatangan Atra bilang pada Marcel untuk jangan memberi tahu Bunda kalau ia pernah menghajar Marcel (takut diusir) — nyatanya, Atra sendiri yang mengakui perbuatannya di depan Bunda, dan mengejutkannya lagi respon Bunda diluar dugaan, wanita itu benar-benar senang mengetahui anaknya dihajar karena bersikap brengsek — walaupun Atra tidak menceritakan secara spesifik sebrengsek apa Marcel.

“Makasih ya, Tra.” berbatas meja makan, kedua tangan mereka saling bertaut — tidak jauh darisana, ada mata memandang haru; melihat anak remajanya tumbuh dewasa.