write.as

Adisa

Menikah dengan Rasyid berarti siap dengan segala kejutan dan hal-hal spontan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Ruang kepalanya punya banyak ide yang bisa membuat sesuatu seharusnya biasa saja menjadi luar biasa.

Seperti hari ini, aku sedang minum teh di meja makan sambil menonton ulang episode series favoritku saat tahu-tahu tangan Rasyid mendorong beberapa lembar kertas ditumpuk di atas meja, tepat di bawah wajahku.

Waktu aku mendongak, aku menghadapi senyuman kotak dengan binar yang khas terpantul menandakan ia punya satu keinginan.

Aku mengerutkan kening sejenak saat membaca tulisan yang diketik rapi sebagai judul di halaman depan:

'Proposal Pengajuan Anak Ketiga' 'Disusun oleh: Rasyid Ananta'

Dilengkapi logo Keluarga Rasyid Ananta yang ia buat sendiri.

Aku balas menatap Rasyid dengan sorot mata: 'Really, Rasyid?'

Ia tersenyum sambil menggeser kursinya mendekat dan bersikap seperti seseorang yang hendak memenangkan tender.

“Dibaca duluuu, nih halaman pertamanya aku bukain ya.” “Kapan kamu ngetiknya sih ini?” tanyaku sedikit gemas. “Aku ngeprintnya di kantor malah, Ca. Terima risiko diliat Adul atau ketuker sama proposal proyek. Hehe.”

Di halaman pertama, diisi pendahuluan, latar belakang tentang apa yang mendasari keinginannya punya anak ketiga.

Pada bagian di Bab 2, dijelaskan secara lebih spesifik mengapa gagasan ini perlu dipertimbangkan. Mulai dari Ica yang memasuki usia satu tahun, siap dan perlu untuk punya adik, Rasyid yang ingin punya satu lagi anak laki-laki dan ia yakin, aku juga, lalu berlanjut pada program anak ketiga yang ia rumuskan sendiri.

Pengaturan jadwal liburan berdua pada tanggal-tanggal yang ia sudah hafal yaitu tanggal-tanggal ovulasiku sampai pengaturan pola makan dan makanan yang aku dan dia harus konsumsi.

“Gimana?” tanyanya pada kami sampai ke kesimpulan di halaman terakhir yang diisi dengan huruf-huruf besar: 'Mau ya ya ya ya? Love you, Ca.'

Dan lembar persetujuan yang sudah ia tanda tangani selaku pemohon, dan aku di sebelahnya.

Sambil menahan senyum aku berkata, “Waktu dulu kamu pernah ngajak aku ngedate, pake surat pemberitahuan. Sekarang ngajuin program anak pake proposal, kenapa kamu bikin hubungan kita jadi kayak bisnis gini sih, Mas?”

“No, no, no, bukan bisnis Caaa, ini justru ngebuktiin kalo aku persiapin semua, detail, dan,” ia menyempatkan mengedipkan sebelah matanya, “beda dari yang lain. This is how I called special and grand gesture. Rasyid's way.”

Lucu sekali sih suamiku. Apalagi matanya semakin penuh harap.

“Nanti aku pikirin dulu ya.” “Ok!” balasnya dengan sinar pengharapan yang lebih kuat terpancar.

*

Rupanya sebelum sampai ke rencana liburan berdua dengan menitipkan Aldin Ica, aku lebih dulu dilanda kangen karena Rasyid sibuk di kantornya. Proyek baru mengharuskan ia sering pulang lebih lama dari jam pulangnya yang biasa.

Dan akhirnya, pada suatu malam ia menggendongku yang ketiduran menunggunya di sofa ruang tengah dan menidurkanku hati-hati di tempat tidur, tanpa ia duga, aku bangun dan menarik tangannya sebelum ia ke kamar mandi.

“Bentar Ca, aku mandi dulu.” “Gak boleh, sini aja.” “Hm?” Rasyid kelihatan mengingat-ingat apakah sudah masuk tanggal aku PMS yang biasa membuatku jadi lebih manja. “Aku lagi nyetujuin proposal kamu.”

Rasyid megerjap-ngerjap mendengarnya.

“Proposal kamu... Aku acc. Approved. Jadi...” Hangat yang nyaman merambati wajahku, menciptakan merah tersipu. “ayo... anak ketiga.”

Yang aku ingat berikutnya adalah binar mata bahagia dan menggebu milik Rasyid yang kemudian kupejamkan lewat ciuman dalam-dalam.

Dan kami memulai usaha kami yang pertama.

*

“Kayaknya kalo jadi, anak ketiga bakalan kamu banget.” gumamku sambil menelusuri lengan Rasyid yang tidur sambil memelukku. Aku bisa merasakan senyumnya. “Kenapa gitu, Ca?” “Soalnya....” Aku mendongak dan menggeser sedikit untuk mengecup dagunya. “kalo ini jadi, berarti dia dibikin pas aku lagi kangen-kangennya sama kamu.” “Aku gak ke mana-mana.” bisiknya sambil mengusap punggungku. “tapi kalo beneran aku banget... hehehe.”

“Kenapa?” “Gapapa, lucu aja. Siap-siap kamu ngadepin Rasyid gede sama Rasyid kecil ya.”

Jarak antara usaha pertama kami dengan masa liburan program terbilang tidak cukup jauh sehingga aku tidak bisa memastikan pada saat yang mana.

Itu yang kupikirkan di tengah euforia ketika aku menatap dua garis merah di testpack saat aku mengecek di kamar mandi.

Usaha kami... berhasil. Dan mungkin benar, akan ada Rasyid kecil.

Dengan langkah setengah melayang karena senang, aku keluar kamar mandi, bertekad menyiapkan pemberitahuan kejutan untuk Rasyid yang masih di kantor.

Aku juga punya cara untuk membuat ini jadi sama uniknya dengan proposal 'Rasyid's way'.

Sambil tersenyum-senyum kuketik email yang ditujukan untuk Rasyid di kantornya.

*

Sehari setelahnya, aku mendapati bahwa Rasyid sepertinya tidak mengecek email di kantornya secara berkala. Mungkin notifnya tidak dinyalakan, atau ia luput melihat email dari istrinya. Padahal aku sudah tidak sabar mengetahui reaksi dia.

Dengan berat kuakui, Adisa's way untuk saat ini gagal.

“Mas,” panggilku saat kami sedang makan pasta di restoran favorit akhir pekan itu. Sengaja kuajak dia makan di luar untuk membicarakan soal keberhasilan program kami.

“Hm? Mau nyobain yang punya aku gak?” tanyanya dengan mulut penuh.

Kuulurkan tangan untuk menyeka saus pasta di bawah bibirnya, mukanya lucu sekali seperti bocah tupai sedang mengunyah.

“Kamu gak ngecek-ngecek email ya?” “Email?” Keningnya berkerut meski masih mode tupai mengunyah. “Email yang mana?”

Aku menarik napas, “Email yang kamu pake di kantor, yang pake domain perusahaan.”

“Kenapa emangnya, Ca?” matanya membulat, “Kamu kirim email ke situ?”

“Iya...”

“Kayaknya kelewat deh atau dibaca sama orang kantor.”

Aku hampir tersedak, “Kok dibaca sama orang kantor????”

“Kan... Emang... Email kantor... Orang-orang di divisi aku punya akses satu sama lain ke situ.” Rasyid ikut membelalak, “Kamu ngirim apa emang?”

Aku terlalu shock untuk bicara dan rasanya ingin mengetuk-ngetuk jidatku pakai sendok.

“Gimana dong, Maaas. Berarti udah dibaca orang kantor kamu dooong.”

“Bentar, emang kamu ngirim apa?” Rasyid menelan pastanya dengan susah payah sebelum terburu-buru mengecek hpnya, dan membuka satu persatu email masuk ke alamat email kantor.

Saat matanya mengerjap-ngerjap dan mulutnya ternganga, aku tahu ia sudah menemukan emailku, dan rasanya aku mau berubah jadi daun basil di atas pasta.

'Subject: Congratulations.

Selamat Sdr. Rasyid Ananta. atas keberhasilan program dalam proposal Anak Ketiga yang anda ajukan bulan lalu.

Adek says hi from Mommy's tummy.

Tertanda: Istrimu.

Attachment: Foto dua garis merah.'

“Ca???” Dia masih membelalak lalu menggenggam tanganku kuat-kuat, “Caaaaaa??”

“Iya Mas, ada adek di perut aku.”

Seperti mau menangis, Rasyid menutup mulutnya yang ternganga.

“Gak ada tanda-tandanya kayak pas Aldin Ica ya? Kamu gak mual-mual? Sekarang mual gak? Pusing?”

“Aku gapapa kok.” Aku menenangkan sementara Rasyid mengusap-usap lembut perutku.

“Tapi berarti...” tanpa perlu meneruskan ucapannya, aku sudah tahu dan aku semakin ingin bersembunyi di kolong meja karena malu. “...orang kantor aku tau duluan daripada aku???”

Untuk anak ketiga ini ternyata banyak elemen komedi.

Hari Seninnya Rasyid bercerita kalau ia dihujani ucapan selamat sampai Adul mencetak print screen emailku dan dipajang di mejanya.

Sepertinya aku tidak ingin ketemu teman kerja Rasyid dulu dalam waktu dekat. *

“Hai Adek, gimana tadi di kantor ayah? Seneng?” Aku menyapa Arsyal yang baru pulang, hari ini ia ikut ke kantor ayahnya karena aku pulang telat dan membagi tugas dengan Rasyid. Aku yang menjemput Aldin Ica sementara ia mengasuh Arsyal di sela kerja.

Rasyid mengecup pipiku seperti biasa kalau baru pulang sambil melonggarkan dasinya. “Gak di rumah, gak di kantor, tetep Baby Boss.” katanya melaporkan.

Aku tersenyum membayangkan anak itu duduk di kursi ayahnya dengan gaya bos cilik dan mengomentari rekan-rekan kerja ayahnya.

“Bun,” Arsyal menghampiriku di dapur saat Rasyid mandi. “Iya sayang.” “Kok Om Adul manggil aku si Email sih, kenapa?” “Itu... Nggg...”

Pantas sekarang dia jadi baby boss. Waktu awal merencanakan kehadirannya pakai proposal, waktu sudah hadir, diberitahukan lewat email kantor.

Arsyal, Arsyal...

*

Behind the scene pengetikan dan print proposal.

Adul: Astagaaaa, kantor kita sekarang buka jasa pengajuan anak ketiga neh??? Kagak sekalian lo bikin slidenya?

Rasyid: Kalo perlu gue bikin juga.

Adul: Tiati ketuker proposal proyek.

*

Adul: “Dek, tau gak? Kamu lahirnya didownload tau. Kalo kata D'Masiv, tak ada manusia, yang terlahirrr didownlooaaad. Tapi kamu awalnya didownload dulu!”

Arsyal: “....Ayah! Aku gak mau didownload!!! Emangnya aku game!!!”

Rasyid: “Oi jangan ngomong cemacem ama anak gue.”