write.as

Late Night Drive

Malam ini suhu lebih rendah dari biasanya, pesan konyol yang biasa bersahutan di layar ponsel tiba-tiba sunyi senyap. Terakhir kali adalah minggu kemarin, tepat ketika yang dirindukan berulang tahun.

Pukul sepuluh lebih empat belas menit, laki-laki jangkung itu keluar rumah dengan ponsel di tangan kirinya dan kunci mobil di tangan kanan. Pergerakannya terlampau halus untuk dicerna otak, bak robot dengan pengaturan tetap, dia berjalan ke arah mobil yang terparkir di pekarangan rumah tanpa atap. Merasa persetan dengan rintik hujan yang membabi-buta turun dari awan di atas kepala.

Mesin menyala, membelah sunyi di sekitar dan bersautan dengan suara air yang mengetuk-ngetuk kaca mobil. Nanon, dengan pandangan kosong yang menerawang jauh kedepan, menusuk tiap-tiap bayangan malam yang bertemu tatap dengannya, menjalankan mobilnya entah kemana.

Pikirannya melanglang buana, kesana kemari, tanpa kehendaknya memainkan seni peran tentang apa yang sudah dan belum terjadi di hidupnya, soal apa yang mungkin dan bahkan tidak mungkin dilaluinya. Gelap. Satu kata yang bisa menggambarkan isi kepalanya saat ini.

Potongan lagu tentang jok kiri mobil yang kosong tak berpenumpang serta rute perjalanan harian yang tiba-tiba terlihat memuakkan seolah menyindirnya. Masih ada di memori Nanon, potongan kejadian tentang Chimon yang dengan ledekannya menyombongkan SIM barunya.

“Non, aku udah ada SIM, kamu kapan bikin? Ya kali ga buat SIM mobil?”

“Lah kenapa emang, anehh”

Ujung-ujung bibirnya sedikit terangkat ketika mengingat rasa di telapak tangannya kala mengusak surai hitam itu, dan dibalas dengusan setalahnya.

Nanon terus menginjak pedal gas mobilnya, setirnya di putar ke kanan dan ke kiri mengikuti arah jalan, berputar-putar di sepinya malam, di pinggir kota. Entah akan berujung kemana ia pergi.

“Tujuan pertama abis kamu dapet SIM, harus rumahku”

“Dih, pengen banget?”

“Ga juga, tapi sebagai bukti aja SIMnya bukan hasil nembak jalur ordal” kalimat dari yang lebih tua sukses membuat perutnya tergelitik kala itu. Padahal jika disuruh memilih, dirinya lebih memilih makan tiga paket ayam goreng ketimbang membayar mahal untuk satu lempeng plastik.

“Aku ke rumah kamu, trus kita jalan?”

“Jalan kemana?”

“Ke... Keliling kota?”

Anggukan kecil di dalam kepalanya melunturkan senyum yang sedari tadi terpatri. Memori berganti pada hari ketika dirinya mendengar kalimat yang selalu berusaha ia tepis dari benaknya.

“Kita... Udahan, ya?”

Terlalu banyak “Karena” di pundaknya, membuat “Kenapa?” di bibirnya tertahan. Asumsi tentang diri yang “Ah... Dia menemukan yang lebih baik” membawanya pada anggukan setuju.

Nanon tau Chimon sedang dekat dengan teman perempuan di kampusnya. Perempuan dengan senyum manis, rambut panjang, karakter supel dan sifat humorisnya membuat Nanon merasa kecil. Jangan lupakan bakatnya yang segudang itu.

Dunia yang paling mengerikan sejatinya ada di dalam kepala tiap-tiap orang. Menyusun skenario pahit setiap jam dua malam membentuk mimpi buruk tersendiri bagi mereka. Over thinking katanya, hanya ada di pikiran katanya, cuma ketakutan biasa katanya.

Tapi kenapa semua jadi kenyataan untuk Nanon? Kenyataan tentang Chimon yang memilih pergi darinya. Baru tahun ini Nanon tidak merayakan ulang tahun Chimon. Ah... Kemungkinan besar Chimon sedang bersama perempuan itu saat ulang tahunnya. Tak apa, lagi pula sekarang ini.. Nanon siapa?

Pedal gasnya dilepas. Tuas rem tangan di tarik seolah menempatkan mobilnya di tengah jalan. Hujan yang semakin deras beradu suara dengan lagu di radio mobil.

Nanon berhenti tepat di lampu merah, rintik hujan yang tidak disapu dari kaca depan membuat pandangannya kabur.

Karena air di kaca, atau di matanya?

Lampu merah berubah menjadi kuning. Tidak lama berganti hijau, namun Nanon tetap tidak bergeming. Cahanya di sudut kanan matanya kembali pada warna merah, tapi siapa peduli? Tidak ada satu pun kendaraan di sana selain miliknya. Ini hampir jam tiga pagi, jalanan dan hawa sendu seakan miliknya.

“Mon, inget waktu kamu bilang mau di jemput? Tadi aku lewat rumah kamu, tapi kenapa sakit ya Mon?”

Nanon memejamkan matanya, membanting kepalanya ke belakang untuk bersandar. Masih di lampu merah, mobil putihnya terparkir.

“Minggu lalu aku dapet SIMku, Mon. Aku mau pamer, ajak kamu jalan-jalan keliling kota waktu kamu ulang tahun. Tapi tiba-tiba kamu bilang mau nyanyiin lagu kita ke pacar baru”

Tawanya keluar dari mulut. Terlalu hambar untuk dirasakan lucunya, terlalu perih untuk dilihat bahagianya.

“Bukannya kamu bilang itu lagu untuk aku ya Mon? Yang katanya bakal selamanya? Oh... Waktu itu cuma guyon? Hahahah... Hahah............”

“aAGHHH!!!-

Tangannya dengan brutal memukul-mukul setir mobil, gerakannya seolah menutup isakkan yang keluar dari mulutnya.

-Brengsek!!!!!” Nanon menangis.

“Mon... Aku masih sayang..”

Matahari tersenyum atas kemenangannya, berhasil menetap lebih lama. Ada rangkuman tentang aku dalam rangkulmu. Semua buku cerita tentang kita terbakar hangus oleh entah salah siapa. Denganmu, kekal bahagiaku. Maaf aku bukan alasan bahagiamu.

“Mon, aku lagi di pinggir kota. Jalan-jalan setelah dapet SIM. Tapi lucu, karna biasanya tiap menit punya warna masing-masing. Kenapa sekarang cuma abu-abu ya Mon?”

Saat itu, terlukis jelas bagi nanon tentang kesamaan malam dengan jok kiri mobil.

“Aku ganti mobil Mon, soalnya kamu bilang lebih suka mobil putih. Bekas sih, tapi masih bagus” matanya masih terpejam dengan kepala menunduk, tangannya masih memeluk setir setelah tanpa perasaan memukulnya berulang.

“Aku bisa baca kamu kayak buku yang kebuka Mon, tapi temen-temenku ga kenal kamu”

Persamaan itu terasa jelas. Malam dingin, juga jok kulit yang sama dinginnya karna tidak diduduki penumpang.

Persamaan itu terlihat jelas. Jalanan yang kosong, juga isi mobilnya.

Persamaan itu tampak jelas. Air yang jatuh dari langit, juga dari pelupuk matanya. Sama derasnya.


@missinjojinhour