write.as

this guy's in love with you

“Kalo dikagetin terbang!”

“Ya tapi kan dasarnya nggak bisa,” Wonwoo menggertakkan giginya.

Jisoo mendengarkan dengan geli percakapan bodoh antara Wonwoo dan Mingyu, sebuah perdebatan tentang kemampuan ayam untuk terbang. Semuanya dimulai saat ia beranjak untuk mengambil minum di meja makan, ketika tiba-tiba Wonwoo menodongnya dengan sebuah pertanyaan dengan sebuah pertanyaan.

“Kak Jisoo! Ayam bisa terbang nggak?” Sebuah pertanyaan yang random, namun anehnya Jisoo juga jadi tertarik dengan jawabannya. Alih-alih mempertanyakan alasan Wonwoo bertanya seperti itu, Jisoo terpaku di tempat, memikiran jawabannya dengan serius.

“Setau gue nggak bisa deh,” jawab Jisoo, masih berdiri dengan gelas plastik berisi soda di tangan. Wonwoo menoleh ke arah Mingyu dengan ekspresi penuh kemenangan.

“Tuh kan! Gue bilang juga apa.”

Kening Mingyu berkerut. “Masa sih?? Bisa woy, sumpah,” ia bersikeras, dilanjutkan dengan pernyataan ayam kaget itu.

Sebelum Wonwoo menyambar sebotol air mineral dan menyiram Mingyu dengannya (karena tangan Wonwoo bergerak mendekati botol itu dengan galak, dan Jisoo sudah diceritakan Seokmin yang diberitahu Minghao kejadian ketika Wonwoo hampir mencekik Mingyu di mobil saat location scouting), Jisoo mengambil botol tersebut diam-diam.

“Okay...” Jisoo perlahan menjauh dari medan perang dan menuju sofa. “Have fun you guys...

Ia yakin kedua sejoli itu tidak ada yang menggubris kepergiannya, tapi tetap saja. Di sofa tidak ada orang, tapi Seungcheol duduk di karpet, punggungnya bersandar. Jisoo mendudukkan diri pada sofa dan menawarkan sebotol air mineral tadi kepada Seungcheol, yang menolaknya.

“Ga balik joget lo?” tanya Seungcheol pada Jisoo.

“Nggak ah, capek,” jawab Jisoo. Ia menghabiskan minumnya dan menaruh gelas yang sudah kosong di lantai. Ia dan Seungcheol memperhatikan kegiatan di sekitar mereka, yang masih berlangsung riuh.

“Jujur, gue kaget sama kru Artfest tahun ini,” celetuk Jisoo setelah beberapa saat.

“Kenapa tuh?”

“Ya, lo inget kan Artfest tahun lalu sama dua tahun lalu, tegang banget. Jadi kaget pas tahun ini krunya deket banget.”

Seungcheol mengangguk mengiyakan. “Lo tau sendiri biasanya cuma deket gara-gara kerjaan aja. Ya bikin film buat Artfest, terus kalo Artfest-nya udah kelar, krunya juga udahan kaya orang gak kenal,” jawabnya, “kecuali kalo lo emang anak organisasi ini, atau maba mau daftar jadi staff.”

“Bener, vibes-nya beda banget sama kru tahun lalu.”

“Asli,” kata Seungcheol menyetujui perkataan Jisoo. “Coba kalo kaya taun lalu-lalu, mana ada cinlok-cinlokan.”

Jisoo tertawa kecil. Betul apa kata Seungcheol: hampir semua kru film tahun ini mengalami cinta lokasi.

“Tapi gue beneran pengen nanya nih,” Seungcheol bersuara. Jisoo menoleh, menatapnya penuh tanya. “Lo sendiri ngerasa gimana sama kru taun ini?”

Tahun lalu, Jisoo pun menjadi kru Artfest, karena dua tahun lalu ia sempat menjadi staff bidang film lalu dimintai tolong untuk membantu di tahun berikutnya. Namun, atmosfernya sangat berbeda: tahun lalu, semuanya serius dan menegangkan, amat lain dari kru tahun ini yang kekeluargaan dan menyenangkan.

Jadi tentu saja kalau ditanya seperti itu, jawabannya adalah, “Bikin nyaman sih, kaya yang waktu itu gue bilang, udah bukan sekedar asik karena kerja bareng, tapi asiknya karena kita udah jadi temen.”

Seungcheol mengangguk-angguk. “Aslinya farewell cuma buat staff, BPH, sama PI bidang doang. Tapi abis diskusi sama yang lain, pada sepakat buat ngundang kru Artfest juga, biarpun bukan anak organisasi kita.”

“Kenapa tuh?”

“Soalnya udah terlanjur deket, sekalian aja.”

Seungcheol terlihat akan melanjutkan kata-katanya ketika sebuah sosok berjalan sempoyongan menuju ke arah mereka dan menjatuhkan dirinya terduduk di sebelah Jisoo, di atas Seungcheol yang hampir kena tendang kaki sosok itu.

“Eeey, Bang Cheol,” seru Seokmin yang jelas-jelas terdengar mabuk, mengajak tos kakak tingkatnya. Seungcheol bergeser dari tempatnya sambil membalas ajakan tos dari Seokmin, tertawa kecil. “Eeey, ada Kak Jisoo juga!”

Tak seperti perlakuannya yang sangat bro kepada Seungcheol, Seokmin menepuk puncak kepala Jisoo seakan Jisoo adalah anak kecil yang lucu. Jantung Jisoo serasa hilang satu detak saking terkejutnya. Seungcheol yang menonton adegan itu menaikkan alis, memperhatikan pipi Jisoo yang kian bersemu.

Menarik. Bukankah dulu Seungcheol pernah bercanda tentang Jisoo yang cinlok dengan staffnya? Hmm.

“Gimana, udah capek joget lu?” tanya Seungcheol, memperhatikan Seokmin yang sedang menyamankan diri di sofa.

“Minum gue... diambil Kak Jeonghan. Kurang ajar dia,” racau Seokmin tidak nyambung sambil melambaikan tangannya dengan liar, berpotensi menimpuk muka Jisoo seandainya saja tidak langsung ia hentikan.

Jisoo dan Seungcheol bertatap-tatapan bingung dan menoleh secara bersamaan ke arah Jeonghan, yang, betul saja, sedang menenggak habis alkohol di sebuah gelas plastik. Keduanya spontan tertawa keras melihat adegan komedi itu.

“Istirahat dulu, Seok,” kata Seungcheol menepuk lutut Seokmin yang matanya perlahan terpejam. “Soo, titip bocahnya ya. Gue mau mastiin Jeonghan nggak keracunan alkohol.”

Sebelum bisa menjawab “Jeonghan mah pinter, tau caranya minum,” Seungcheol sudah berdiri dan berjalan pergi dengan sebuah kedipan jahil kepadanya, membuat Jisoo bingung akan maksud di balik kedipan itu.

Tak bisa meneriaki maupun bergerak mengikuti Seungcheol yang berdiri dan meninggalkan mereka berdua karena Seokmin masih bersandar pada bahunya, Jisoo melempar gelas bekas ke punggung Seungcheol, melempar tatapan “???” ketika temannya membalikkan badan.

Tanpa berkata apapun, Seungcheol mengacungkan kedua ibu jari dan nyengir lebar.

Aneh.

Namun, overthinking Jisoo tidak berlangsung lama, karena Seokmin yang ia kira sudah tertidur tiba-tiba bersuara, meski dengan mata tertutup.

“Kak Jisoo,”

“Hmm?”

“Suka kentang nggak?”

Ada apa dengan pertanyaan orang-orang yang semakin malam semakin tidak jelas? “Suka...?”

Seokmin mengangguk khidmat, rambutnya menggelitik rahang Jisoo. “Pilihan yang bagus,” timpalnya sambil mengangkat jempol dengan lemas. “Lo yang bikin gue pede dengan ke-kentang-an gue.”

Oh, perkara itu. “Kenapa tiba-tiba ngomongin itu, Seok?”

“Abis lo baik banget,” jawab Seokmin, menahan dirinya dari menguap. “Asli lo baik banget Kak.”

Thanks, you too—

“Kok lo gapunya pacar sih? Padahal lo baik banget.”

Jisoo terdiam, berusaha memikirkan jawaban lain selain, soalnya maunya sama lo doang. “You know what,” akhirnya ia menimpali, “gue juga nggak tau kenapa gue nggak punya pacar. Padahal gue tipe idaman nggak sih?”

Mumpung Seokmin sedang tidak dalam keadaan untuk mencerna kata-katanya dengan pikiran jernih, sekalian saja Jisoo mengatakan apa yang ingin ia katakan. Toh kemungkinan besar Seokmin akan lupa besok pagi.

“Iya, tipe idaman,” tak disangka, Seokmin malah setuju dengan perkataannya. “Harusnya orang-orang antri buat deketin lo. Kaya waiting list gitu.”

Jisoo tak bisa menahan tawa. “Boleh juga.”

“Cari pacar gih Kak.”

Okay, sure,” Jisoo memutuskan untuk mengikuti alur percakapan ini agar adik tingkatnya itu puas. “Enaknya siapa?”

“Gue aja,” kata Seokmin, masih memejamkan mata dan masih terdengar mabuk. Oke, berarti jawabannya nggak serius, begitu pikir Jisoo yang spot jantung mendengar jawaban itu.

Jisoo berusaha menanggapi dengan santai, meskipun jantungnya tanpa ragu sudah menggila di dalam dadanya. “Lo kepengen jadi pacar gue?”

“Iya, kaya,” Seokmin mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman, semakin dekat dengan Jisoo, “gue tuh suka banget sama lo. Terus, gue bisa bikin orang suka sama gue, biarpun awalnya nggak suka. Jadi, ya gitu. Nanti ujungnya lo pasti suka sama gue, gitu. Itu tuh, udah jadi... keahlian gue.”

“Keahlian lo,” ulang Jisoo tidak bisa berpikir, semakin pening akibat perkataan Seokmin yang jelas mengada-ada karena what the hell?????

Seokmin akhirnya membuka mata, menatap Jisoo dengan matanya yang bulat dan besar seperti anak anjing. “...Lo paham maksud gue kan?”

Menelan ludahnya dengan susah payah, Jisoo menjawab, “Ng— nggak juga sih.”

Tiba-tiba, Seokmin mulai berceloteh. “Jadi tuh, kata gue, lo tuh baik, pinter, cakep, terus masa yang bentuknya kaya lo gini gapunya pacar?? Kan aneh ya. Harusnya orang sekeren lo tuh punya pacar, Kak. Tapi jadinya sih bagus buat guenya, soalnya kalo gitu, mending lo pacarannya sama gue aja. Soalnya gue suka banget sama lo. Terus gue baik. Terus gue bisa bikin lo suka sama gue. Terus... ya gitu.”

Mengerjapkan mata, Jisoo mencubit dirinya sendiri. Sakit. Ini bukan mimpi. Dia juga sudah tidak mabuk. Ini benar terjadi?

“Ya gitu?”

“Iya, gitu.”

Tanggapan terakhir Seokmin sama sekali tidak masuk akal, namun Jisoo merasa tenang mendengarnya, seakan itu menjelaskan semua yang ia pertanyakan. Jantung Jisoo kembali ke ritme semula, setelah berdetak kencang seperti orang sedang lari sprint.

Sensitivitas Jisoo terhadap realita mendadak menajam drastis. Musik keras, lampu kerlap-kerlip, Seokmin menguap di sebelahnya.

“Kak, pinjem paha,” suara Seokmin semakin dikuasai kantuk dan ia bergerak dari bahu Jisoo untuk berbaring dan meletakkan kepalanya pada paha Jisoo. “Met malem, Kak Jisoo yang baik.”

Perlahan Seokmin tertidur, dadanya naik turun seiring pernafasannya menjadi teratur. Kini Jisoo yang menepuk lembut puncak kepala Seokmin, seperti yang dilakukan kepadanya.

Dengan Seokmin tertidur, Jisoo bebas untuk overthinking dalam otaknya sendiri. Seokmin jelas-jelas tidak menggunakan akal sehatnya ketika mengatakan itu semua. Mungkin ia hanya bercanda. Mungkin itu hanya pengaruh alkoholnya.

Tapi... bukankah ada sebuah perkataan, drunk thoughts are sober feelings? Pemikiran saat mabuk adalah perasaan saat sadar? Mungkinkah...

Tidak. Jisoo tidak boleh berharap. Ia tidak akan terlalu berharap pada perkataan yang tidak didasari pemikiran dan akal sehat.

Tadi Jisoo berasumsi bahwa Seokmin tidak akan ingat kejadian malam ini besok pagi, tapi sekarang Jisoo malah berharap—

Please remember this in the morning.