write.as

Perjalanan menuju rumah Daniel dihabiskan dengan keheningan. Mereka masih sama-sama menolak untuk buka mulut, bahkan ketika Jihoon sudah duduk manis di sofa ruang TV milik Daniel.

Suara grasak grusuk terdengar di dapur. Jihoon masih sibuk memperhatikan interior dari unit apartemen milik Daniel— tidak banyak hiasan, cuma penuh dengan barang-barang personal seperti skateboard, kaset dan CD, dan konsol video game.

Daniel kembali dengan segelas air putih dan pil di tangannya. Dia duduk di samping Jihoon.

“Minum.”

Jihoon mengambil pil dan gelas itu dengan ragu. Rupanya, waktu yang ia habiskan memandangi kedua hal tersebut membuat Daniel menghela napas tidak sabar.

“Mesti saya cekokin?”

Merengut, Jihoon langsung menenggak air dan menelan bulat-bulat pil itu.

Daniel mengambil gelas yang sudah kosong, berjalan ke dapur dan kembali lagi dengan gelas yang terisi penuh.

Hening lagi.

Sejujurnya, Jihoon masih merasa tidak enak. Kata maaf sudah di ujung lidahnya, tapi sedari tadi dia sudah berulang kali mengatakan hal yang sama. Masa ngomong lagi.

Dia jadi ingat wajah Daniel saat baru sampai studio. Muka kagetnya membuat Jihoon separo tidak enak, dan separo ingin ketawa. Tapi begitu pria itu mengarahkan pandangan ke arahnya, yang ia ingin lakukan hanyalah menunduk dan menatap tali sepatunya.

Untung, Daniel tidak bersikap kesal di depan teman-temannya. Malah ia tersenyum hangat dan bersandiwara, berkata kalau ia sudah menanti mereka. Untungnya lagi, Daniel sigap mendistraksi mereka dan langsung menutupi lukisan wajah Jihoon dengan kain hitam (Jihoon bahkan lupa ada lukisan itu). Bakal tambah berabe kalau mereka pada tahu.

Sibuk dengan lamunannya, Jihoon hampir tidak sadar ketika sebuah tangan besar menempel di dahinya.

“Masih anget,” gumam Daniel. Dia lalu mengarahkan termometer dan berkata, “Angkat tangan.”

Mata Jihoon membelalak.

“Hah?”

“Angkat tangan. Termometernya mesti dikepit di ketiak.”

Astaga.

“Kakak gak punya termometer yang normal?” protes Jihoon.

“Punyanya cuma ini. Lagian ini normal. Jangan banyak mau, lagi sakit juga.”

Jihoon lantas merebut termometer itu dari tangan Daniel dan misuh dalam hati. Ia menyelipkan termometer ke balik sweater kuningnya dan mengepitnya. Wajahnya menghangat ketika ia melihat Daniel memerhatikannya dengan tidak berkedip.

Ia menendang pergelangan kaki Daniel.

“Aduh!”

“Jangan liat!” desisnya.

Daniel memutar bola mata, tapi ia menuruti permintaan Jihoon. Detik-detik berlalu dan akhirnya terdengar bunyi piip kecil dari alat itu.

“37,6,” gumam Jihoon, membaca angka yang tertera.

Pria itu menghela napas.

“Kamu istirahat dulu aja. Barusan kan udah minum obat. Nanti sorean coba diukur lagi.” ia lalu bangkit dari sofa, dan mengulurkan tangan.

Jihoon mengernyit, sementara Daniel mengedikkan bahu.

“Ayo.”

Ragu, ia menyambut uluran tangan itu. Genggaman Daniel hangat, dan tidak dilepas sampai mereka masuk ke satu-satunya kamar tidur di unit tersebut.

Daniel kemudian membuka selimut dan menepuk-nepuk bantal. Ia mengisyaratkan agar Jihoon naik ke kasur.

Walaupun ragu, tapi kamar Daniel wangi. Efek dari obatnya juga mulai terasa. Akhirnya Jihoon menurutinya tanpa penolakan.

Ia sudah nyaman di kasur, berselimut tebal dan dikelilingi bantal-bantal. Tiba-tiba ia mendengar suara mengeong dan sesuatu menaiki tempat tidur.

Daniel tertawa melihat wajah Jihoon. Dia duduk di tepi tempat tidur dan mengelus kucing itu sambil berkata, “Takut kucing nggak?”

Jihoon menggeleng.

“Keberatan kalau dia tidur sama kamu?”

Ada jeda dua detik, tapi dia menggeleng lagi.

Daniel tersenyum. Hangat.

“Ini waktu tidur siangnya Ori. Dia selalu naik ke kasur tiap ada orang di atasnya. Gak bakal ganggu kok.”

Jihoon menatap kucing berbulu kecokelatan yang sedang bergelung nyaman di atas selimut. Ia mengelusnya, dan kucing itu mendengkur kesenangan.

Sorot mata Daniel melembut.

Pria itu kemudian ikut mengelus kucingnya dan menunduk.

“Ori, kamu Nona Besar di kasur ini. Tolong tamu kita dikontrol, jangan sampe dia kabur.” ucapnya serius, membuat Jihoon mendengus geli.

Daniel mengecup kucingnya dengan sayang. Ia kemudian berpaling ke Jihoon, dan rasanya jantung Jihoon berhenti berdegup.

Ada jeda yang terlalu lama saat Jihoon menatap wajah pria itu— yang tanpa ia sadari jaraknya tidak sejauh yang ia kira. Kedua tangan Daniel menopang tubuhnya, dan ia secara praktis hampir di atas Jihoon. Daniel menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Dengan gerakan lambat, bola mata Jihoon perlahan turun dari mata sipit Daniel, ke hidungnya, lalu ke bibirnya.

Lamunan dan ekspektasinya buyar ketika ia merasakan sebuah tangan besar mengusak rambutnya. Daniel menegakkan tubuh dan beranjak dari kasur, kali ini seolah menolak menatapnya.

“Tidur ya.” ujarnya pelan.

Ketika pria itu akhirnya menutup pintu kamar dengan suara sekecil mungkin, Jihoon menyadari dua hal.

Yang pertama, telinga Daniel memerah sebelum ia keluar.

Yang kedua...

Jihoon merasakan wajahnya sendiri memanas.

Ia menggelengkan kepala sebelum memejamkan mata kuat-kuat.

Yang kedua ia simpan sendiri saja.