write.as

Sagara, nama pria tinggi itu yang sedang berdiri di depan toko roti sambil mengernyitkan dahi karena sinar matahari yang menyengat siang ini. Sesekali ia mengecek jam tangannya dan ponselnya, seperti memastikan sesuatu. Sepatunya ia ketuk-ketukkan di lantai. Orang yang lewat pun mungkin akan langsung tahu kalau dia sedang menunggu seseorang.

“Sagaaa!”

Kepala Saga langsung menoleh cepat ke sumber suara, dan senyumnya tersungging lebar melihat siapa yang sedang berlari-lari kecil ke arahnya.

“Cia my love!” seru Saga lumayan keras sampai mengundang atensi beberapa orang di sekitarnya.

“Ya ampun, suara lo bisa diturunin gak sih volumenya!” protes wanita bertubuh tinggi dengan blouse biru tersebut, Acacia atau akrab dipanggil Cia, sambil memukul lengan Sagara. “Lebar banget mulut lo gila.”

“Astaga jahat banget aku dipukul,” sungut Saga memanyunkan bibir sambil mengusap lengannya. “Bukannya dipeluk kek, apa dicium kek.”

“Cium nih heels gue,” Cia berlagak seperti ingin melepas heels-nya. “Udah ah, ayo, keburu abis jam makan siangnya.”

“Emang siapa coba yang dateng telat?” sindir Saga memicingkan mata.

“Iya, iyaaa, maaf deh... Meeting-nya molor tadi tuh. Lagian cuma telat 10 menit—”

“Itu nggak cumaaaa... Bayangin deh, kalo weekdays gini kita bisa ketemu siang-siang cuma pas jam makan siang yang untungnya barengan kantor kita, tapi itu cuma satu setengah jam, Ciii. Terus kepotong sepuluh menit berarti gak ada satu setengah jam dong? Kamu pikir aku gak kangen?”

Cia memutar kedua bola matanya malas. “Ga, please deh... Jangan hiperbola bisa gak.”

“Beneran, tau!”

“Iya, iyaa. Makanya aku minta maaf kan. Dimaafin nggak?”

Saga menoleh sok jual mahal. “Ya udah, dimaafin.”

Cia menghela napas melihat kelakuan kekasihnya tersebut. “Mau makan di mana kali ini? Kamu yang tentuin deh, sebagai permintaan maaf.”

Saga diam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya tersenyum cerah. “Beb, Chatime lagi promo tau. Buy 1 get 1.”

Cia menaikkan satu alisnya. Jawaban Saga tidak nyambung dengan pertanyaan Cia. “Terus?”

“Ih, kamu gak kepengen? Kapan lagiii, ayooo,” bujuk Saga, menggoyang-goyangkan lengan Cia, tidak mencerminkan kelakuan orang yang berusia 26 tahun. Kini ia justru terlihat seperti anak 5 tahun.

“Ya tapi kita kan mau makan siang, Ga... Makan berat. Kamu kuat diganjel Chatime doang sampe nanti pulang kerja?”

“Ya enggak, sih...” Nada suara Saga menurun. “Tapi aku kepengen...”

Oke, katakan pada Cia, siapa yang sanggup menolak kalau Saga sudah bertingkah seperti sekarang? Dengan ekspresi yang entah benar-benar sedih atau dibuat sedih dan juga intonasi bicara yang pelan, bagaimana Cia bisa menolak?

“Ya udah, tapi tetep makan berat ya. Sambil pesen Chatime gapapa deh.”

“YES!” Mata Saga seketika berbinar-binar, lalu dengan bersemangat ia menggandeng tangan Cia menuju mobilnya yang ia parkir di basement.

“Loh? Ini mau ke mana? Kok naik mobil?” tanya Cia heran saat Saga membuka kunci pintu mobilnya. Karena biasanya, mereka hanya berjalan kaki bersama untuk makan di restoran sekitar kantor mereka, tidak sampai menaiki mobil.

“Karena aku mau drive-thru McD hehehe.” Saga cengengesan. “Terus nanti kita parkir deket McD, pesen Chatime lewat aplikasi, nunggu abangnya nganterin deh.”

“Waktu itu siapa yang bilang mau work out?”

Gerakan tangan Saga yang sedang memasukkan kunci terhenti. Ia cengengesan lagi. “Work out-nya kapan-kapan aja deh, pas nggak ada promo Chatime.”

Hmm, dasar.