write.as

when you say you love me, know i love you more

hujan memilih turun deras-derasnya tepat ketika wonwoo menyadari dirinya salah alamat. bangunan sederhana beratap rendah dan pagar besinya yang karatan milik mbak maya itu adalah rumah sekaligus tujuannya, tadinya. bukan gedung tinggi-kurus dan mahamegah ini. gedung ini memang sudah tak asing baginya, tapi wonwoo nggak pernah merasa seaneh ini berada di tempat yang salah. singkatnya, wonwoo, hujan, dan apartemen mingyu adalah kombinasi yang janggal.

tolong jauhkan wonwoo dari ponselnya sekarang sebelum dirinya membuat keputusan-keputusan nggak masuk akal lain karena wonwoo mulai meragukan kewarasannya. mungkin itu yang terjadi apabila kamu membiarkan seseorang hidup dalam pikiranmu. mereka menghantui dan membuatmu lupa alamat sendiri. tapi kadang cinta memang seperti itu; sering salah alamat dan nggak tahu kapan harus berhenti.

“atau pesen taksi aja ya? tapi gue lagi bokek,” wonwoo mengeluh pada angin yang lewat, dingin. bajunya sedikit basah.

langit mengubah dirinya jadi gelap dan hujan semakin berisik; sama dengan isi kepala wonwoo saat ini. nggak ada yang bisa dilakukan selain menonton hujan dan memeluk lutut sendiri sambil menunggu kenangan usai mampir.

tapi alam semesta sekali lagi membuktikan bahwa mereka suka sekali ikut campur urusan hidup wonwoo.

tergopoh-gopoh dan cuma pake celana pendek kasual dan sendal jepit marvel, mingyu mirip orang nyaris ketinggalan kereta. wonwoo mendongak dari tempatnya jongkok sejak tadi, terpaku dan matanya membulat komikal, mendadak menyesal nggak pernah belajar jurus hilang ditelan bumi.

wonwoo harap mingyu nggak bertanya kenapa ia bisa ada di sini karena sama saja diminta mengaku bahwa dirinya bodoh.

“ha—hai, kak,” sapa mingyu, wajahnya perpaduan antara bingung dan lega. “kok di sini? nyari...gue?” wonwoo mendengus dan membuang muka.

“gue nyasar, jangan ge-er,” jawab wonwoo asal.

“oh,” mingyu mengangguk, masih heran. “iya ya, sori.” canggung.

mingyu nggak bicara lagi dan keheningan belum pernah seramai ini. wonwoo, masih memandangi hujan dan berpura-pura bahwa mereka lebih menarik daripada seseorang di sebelahnya. angin bertiup dari arah mingyu berdiri. dari sudut matanya, wonwoo bisa melihat mingyu, kedua tangan di saku celana, berusaha memblokir angin yang datang dengan bergeser maju. mata wonwoo berat.

“mau gue panggilin taksi, kak?” tawar mingyu, memperhatikan wonwoo yang menahan kuap. “gue gak bawa hape, tunggu ya gue bilangin resepsionis—”

“nggak usah,” tolak wonwoo cepat. “lo balik aja. habis ini gue pulang kok, udah mau reda.”

tapi mereka berdua tahu wonwoo bohong sebab langit menunjukkan hal yang sebaliknya. sama dengan wonwoo, mungkin langit sedang nggak baik-baik saja.

“masuk lobi ya, kak? please, di luar dingin,” coba mingyu, lagi.

“nggak usah, mingyu.” ini pertama kali wonwoo menyebut nama itu. ia melirik mingyu. dahinya berkilau oleh keringat. ia bertanya-tanya, apakah mingyu berlari untuk menemuinya? wonwoo sudah lelah terus-terusan berlari.

take me upstairs,” kata wonwoo kepada hujan.

mingyu terperangah. “gimana?”

wonwoo mendesah dan benar-benar menatap mingyu untuk yang pertama kali sejak hari itu.

take me to your place,” ulang wonwoo. jelas, singkat, gila, dan nggak menyimpan tanda tanya lagi. tapi tampaknya mingyu masih nggak percaya apa yang baru saja telinganya dengar. sama, cowok itu nggak sendirian. tapi sudah kepalang basah seperti ini, kenapa nggak hujan-hujanan sekalian?

mingyu menelan ludah susah payah. “oke.”

wonwoo masuk lift duluan dan berdoa semoga keputusannya nggak keliru, lagi. ia bersandar di pojokan, melipat tangan dan membiarkan mingyu mengurusi tombol lift. cowok itu berdiri tak jauh darinya, menjaga jarak dari wonwoo sejauh yang ia bisa di tempat sesempit itu dan berusaha keras nggak membuat suara apapun seolah dia nggak ada.

baru satu lantai dan kenangan datang menghajar wonwoo tanpa permisi. persis di tempat mingyu berdiri sekarang, beberapa bulan yang lalu, dalam situasi yang agak berbeda; tangan mingyu pernah menyusup di balik kaosnya dan wonwoo akan berjinjit dan balas mencium. because they can't keep hands off each other. wonwoo memejamkan mata kuat-kuat demi menghalau munculnya adegan lain tapi sial yang muncul justru semakin jelas dan liar.

“sori ya kak. mobil lagi diservis jadi gue nggak bisa nganterin, haha apes...,” mingyu coba mencairkan suasana, sudah nggak tahan dengan keheningan di antara mereka, tapi garing. ia mencoba lagi, kali ini lebih hati-hati. “bibir lo gimana...?”

yang ditanya hanya diam. di kepalanya, ada mingyu lain yang sedang menciumi lehernya, lanjutan adegan dewasa tadi. wonwoo memejamkan mata seperti orang sakit. lift berdenting; lantai dua-dua.

“gue mau berkas lamaran gue balik,” adalah hal pertama yang diminta wonwoo ketika mereka tiba di tempat tujuan. ia bisa saja minta hal lain; seperti handuk, selimut, atau air minum. tapi nggak. wonwoo datang ke sini bukan untuk main-main. “gue tau elo yang nyimpen.” wonwoo harus mengulangi karena mingyu nggak menunjukkan tanda-tanda mau bergerak sesentipun. tangannya menodong terbuka; nadanya tegas. “sekarang.”

nggak ada gunanya mengelak lagi. mingyu masuk ke kamarnya dan kembali membawa objek familiar. kertasnya kusut di sana-sini dan sudah jelas pernah dibuka; simpulnya nggak rapi. wonwoo menerimanya tanpa berterima-kasih. bila satu sayap wonwoo sudah setengah jalan terbang meninggalkan mingyu, maka ini sama saja dengan menyerahkan sayap yang lainnya.

“lo bisa pake kamar tamu,” kata mingyu, berusaha tegar. “kalo butuh apa-apa, gue ada di kamar.” mingyu ragu wonwoo membutuhkan apapun darinya saat ini. “i won't disturb you.”

wonwoo mengangguk dan menuju kamar yang dimaksud. nggak perlu diantar lagi karena ia sudah hafal setiap sudut tempat ini. setengah membuka pintu, ia berhenti. tahu mingyu masih berdiri di sana.

“lo nggak perlu khawatir gue balikan sama rowoon atau siapapun. gue udah tau rasanya diselingkuhin dan itu nggak enak,” kata wonwoo, nggak jelas antara mendengus atau tertawa. “gue udah capek main dan dimainin... juga semua yang pernah gue lakuin ke elo.” ia menambahkan yang terakhir dengan berbisik.

pintu ditutup. meninggalkan mingyu yang masih berpikir apa yang harus ia lakukan mendengar informasi itu dan kenapa wonwoo mengatakan semua itu padanya.

di luar, jakarta masih diamuk hujan. wonwoo menyibukkan diri dengan bermain game di ponselnya tapi lama-lama kesal sendiri karena kalah terus. sudah jelas ada yang mengganggu pikirannya. menyerah, ia mengenyakkan diri di kasur dan melirik pintu.

mingyu, sedang apa ya?

wonwoo langsung mendapat jawabannya ketika memasuki dapur. kakinya benar mengatakan untuk pergi kemana dan di sanalah mingyu, tampak punggung dan kelihatannya sedang mengacak-acak isi kulkas.

“oh sori, kak,” mingyu kaget, akhirnya menyadari keberadaan wonwoo. “gue cuma ambil air kok, gue balik sekarang. oh iya, masak indomie aja kalo laper.”

mingyu bergegas pamit meninggalkan dapurnya sendiri ketika suara wonwoo menghentikan langkahnya.

about your confession last time...

stop—” potong mingyu. wonwoo mengangkat kepala dan mencari asal suara yang gemetar itu. mingyu membelakanginya, bersandar di konter dapur dan badannya sedikit membungkuk ke depan, gelas yang ia bawa diletakkan di depannya. satu tangan mingyu diangkat ke udara, mengisyaratkan agar wonwoo diam. “tolong nggak usah dibahas lagi, kak. gue udah tau jawaban elo.”

“jadi lo nggak serius...”

“gue serius, kak...i fucking love you and i mean every words.

wonwoo tersenyum pada diri sendiri. ada rasa lega dan hangat mengaliri tubuhnya setiap mingyu mengucapkan kata itu. nggak bisa dijelaskan.

“gila nggak, kalo gue bilang gue juga sayang sama elo?”

mingyu ganti menatapnya cepat sekali wonwoo khawatir leher cowok itu patah. ia mendatangi mingyu dan memeluk cowok itu dari belakang. lama sekali hingga mingyu akhirnya menyambut tangan wonwoo yang melingkari perutnya.

“kak, tolong bilang kalo ini semua bukan cuma ada di kepala gue. please,” mingyu memohon dan wonwoo belum pernah mendengar suaranya semenderita itu. ia merasakan tangannya diremas kuat-kuat seolah takut wonwoo akan pergi jauh.

look at me,” wonwoo memutar tubuh mingyu hingga mereka bertemu. mingyu serasa melihat dirinya sendiri ketika menatap mata itu. mereka sama-sama ingin penegasan.

did you really mean it?” wonwoo bertanya lagi.

i did,” jawab mingyu tanpa ragu.

you still love me? after what i did to you? parking lots?

i never stop.”

say it again.

i love you.”

dahi wonwoo dikecup.

“lagi.”

i love you.

satu lagi, kali ini di pipi.

“lagi...”

sorry, i was never that good with words,” kata mingyu tiba-tiba, berharap saat ini dirinya adalah orang lain. pujangga, misalnya. hening sejenak sebelum ia meraih tangan wonwoo dan menuntunnya ke luar dapur. “follow me.”

wonwoo memang pernah bilang hafal seluruh sudut apartemen mingyu, tapi faktanya ada satu tempat misterius yang mingyu sembunyikan darinya. “gudang.” itu jawaban singkat mingyu tiap kali wonwoo bertanya.

nggak ada yang istimewa dari ruang itu. tampaknya mingyu menggunakan ruangan ini untuk menyimpan koleksi kameranya; studio kecil. ada tripod, back drop, dan perlengkapan fotografi lain yang wonwoo nggak tahu namanya. lalu ada canvas stand, berbagai merk cat minyak yang ditata rapi, kanvas kosong, dan yang membuat wonwoo kehabisan nafas—

“lo nggak pernah cerita kalo bisa ngelukis.”

“gue masih belajar, kak,” mingyu merendah. mereka memandangi objek yang sama. satu-satunya lukisan dengan objek manusia di antara lukisan pohon, pantai, dan langit lainnya. tapi nggak salah lagi, itu wonwoo. dirinya.

“gue mau nembak lo hari itu dan nunjukkin ini ke elo tapi lo...nggak dateng,” sepertinya wonwoo tahu kapan yang dimaksud. mingyu bergerak-gerak gelisah di belakangnya. “what do you think?

“nggak tau ya, mingyu,” kata wonwoo setelah hening lama, masih memandangi replika wajahnya. “kayaknya gue lebih cakep deh.”

wonwoo tersenyum lebar, matanya basah. ia menatap mingyu yang menggaruk-garuk kepala, belum menyadari wonwoo hanya menggodanya. mirip atau nggak, siapapun yang melihat lukisan itu pasti tahu bahwa sang pelukis menggambarnya dengan penuh cinta.

“sini,” wonwoo mengulurkan satu tangan pada mingyu untuk mendekat. mingyu menurut, memeluk atau lebih tepatnya menabrak wonwoo dalam ketergesaannya.

“hei ati-ati dong, big guy,” tegur wonwoo. mingyu bahagia sekali nama panggilannya telah kembali. “i'm still recovering.”

“maaf-maaf. wait, let me see your lips,” mingyu memeriksa luka yang ia sebabkan di bibir wonwoo. butuh waktu lama bagi mingyu untuk memaafkan diri sendiri atas perbuatannya, sama seperti yang dibutuhkan luka tersebut untuk sembuh. wonwoo bersandar nyaman di dada mingyu. lukisan di depannya bukan sekelas van gogh tapi mata wonwoo nggak bisa lepas dari sana.

“gue pikir lo cuma pengen tidur sama gue,” kata wonwoo, merujuk pada kontrak lama mereka.

“maaf, cara gue salah ya,” mingyu membalas, nadanya sarat penyesalan. “why did you let me do it to you though? kenapa lo mau, kak?”

it's the safest thing to do, i guess,” wonwoo mengaku. “it's the easiest way to be with you without telling you how much i love you.

“terus kenapa lo ninggalin gue waktu itu? kenapa lo harus sama cheol—” kalimat mingyu tersendat di sana. mustahil mengucapkan semua itu tanpa mengorek luka lama, sakit. tapi mingyu nggak peduli lagi. wonwoo baru saja mengatakan cinta padanya. masa bodoh dengan yang lain.

mingyu mencintai wonwoo seperti tanah. ia membiarkan tubuhnya dirusak, dibajak, dan ditanami. ia memberi memberi dan terus memberi. ada kala cintanya berlebihan. sedang wonwoo mirip rumput yang tumbuh diatasnya. ia dilangkahi dan diinjak tapi seperti rumput, ia terus tumbuh di tanah yang sama, bahkan semakin tegar dan kuat.

ada sidik jari wonwoo di hati mingyu yang remuk, sama halnya dengan warna biru keunguan jelek di kulit wonwoo yang mulus. mereka meninggalkan jejak kriminal di tubuh masing-masing dan menyebutnya cinta. seperti luka yang mencintai mata pisau. beberapa cukup pintar untuk pergi dari lingkaran itu. tapi ada juga yang berdamai dan memilih berteman dengan rasa sakit. mereka kembali dengan luka masih berdarah-darah dan minta disembuhkan pisau yang mengirisnya.

pada dasarnya, wonwoo layak mendapat medali emas pada olimpiade cabang melarikan diri. ia berlari dari mingyu dengan berbagai cara. ia mengatakan pada diri sendiri bahwa ia nggak menginginkan cowok itu. bahagianya ada di orang lain. tapi pada akhirnya, ia selalu mencari kepingan mingyu di semua laki-laki yang pernah bersamanya.

wonwoo nggak bisa menyentuh kulit jongin tanpa mengingat kulit cokelat lain milik seseorang. wonwoo harus berjinjit tiap ingin mencium rowoon dan ketika mendongak, ia justru teringat orang lain yang pernah membuatnya melakukan hal serupa. seungcheol dan orang ini sangat jauh berbeda tapi darah yang mengaliri tubuh mereka sama dan wonwoo bersumpah itu hanya kebetulan. susah payah wonwoo mengusirnya tapi orang ini selalu kembali dan kembali, seolah ia nggak pernah pergi.

tiga jalan buntu yang ia temui membuat jalan berliku curam berbahaya yang ditawarkan mingyu tampak menggoda. kamu nggak bisa melihat apa yang bakal kamu temukan di ujung sana. entah kota yang ramai penuh tanda kehidupan atau bisa saja monster yang lebih mengerikan. tapi kata orang, semakin sulit jalan menuju suatu tempat, maka semakin indah rahasia yang menanti di sana.

it doesn't matter,” mingyu berkata pada diri sendiri. “you love me and that's all that matters now.”

sol sepatunya yang usang berseru menyuruhnya berhenti berlari. maka wonwoo memutar badan dan meraih kedua tangan mingyu. dikecupnya sepuluh digit jari yang dari sana darah wonwoo pernah tumpah karenanya. the wound on his lips sings at the thought of being so close to the source of the pain.

“gue cuma takut,” kata wonwoo. “apa yang harus gue lakuin kalo tangan ini bikin gue berdarah lagi? tell me, mingyu. gue harus gimana?”

dan mingyu berjanji seperti biasa.

you don't have to do anything, kak,” mingyu berkata, ada tekad kuat di matanya. “kalo gue kasar lagi, gue yang akan angkat kaki dari hidup elo.”