write.as

TW // blood content CW // swearing , child birth, cigarettes

“Kopimu.” Jiva meletakan cangkir berisi kopi panas ke maja untuk Japa yang menginginkan kopi sebagai pilihannya.

Japa yang baru memotret bulan di atas sana, di halaman rumah Jiva pun segera berbalik dan duduk di kursi teras di samping Jiva yang meneguk kopi milikinya sendiri.

“Biasanya kayak gini juga?” tanya Japa.

“Gini gimana?”

“Ngopi di luar gini?”

“Enggak. Ngapain juga? Mending tidur sama Petir.”

“Tuh anaknya tidur. Sana ikutin.”

“Bener? Aku masuk nih...”

“Nggak, jangan. Aku belum ngantuk, masih mau ngobrol sama kamu,” jawab Japa setelah meneguk kopinya.

Japa mengambil sebatang rokoknya, lalu ia bawa ke sela bibinya, kemudian ia nyalakan. Baru satu batang yang ia hisap sejak semalam tiba di Bali.

“Nggak masalah ‘kan? Atau gue ke depan aja?”

“Enggak, Pa.”

Jiva menundukkan kepalanya, mengingat beberapa kali melihat Japa mencuri waktu menjauh dari Petir untuk merokok saat awal ia tiba di rumah Japa dua minggu yang lalu. Jiva sendiri tidak pernah meminta maupun melarang. Ia juga terkejut akan Japa yang menjauh dari Petir untuk bisnisnya sendiri. Jiva tau, seberapa susahnya menahan dari hisapan tembakau masuk ke dalam tenggorokannya jika mereka sudah kecanduan. Begitu pun keduanya telah bermain dengan rokok sejak sekolah menengah dulu.

Dan kali ini, sejak semalam hingga malam ini, Jiva baru melihat Japa menghisap tembakaunya. Jiva ingin memeluk seraya menepuk punggungnya dan berkata “Ayahnya Petir hebat.”

“Aku berhenti merokok saat usia kandungan menginjak 5 bulan. Parah ‘kan? Itu pun dimarahi dulu sama Nata gara-gara ketahuan. Kata-katanya jahat banget, tapi aku nggak mau kandunganku kenapa-napa. Nata bilang, “gila lo! Mau anak lo cacat?! Atau lo sengaja perlahan-lahan bunuh lo sendiri sama kandungan lo? Minimal tunggu sampai dia lahir, anjir!” gitu. Tau nggak? Nata ngata-ngatain gue sambil nangis. Parahnya lagi, dia sendiri selalu pergi dari aku tiap mau ngerokok waktu itu. Sekarang kalo ada Petir di sana aja, ckkk...”

“Akhirnya bisa berhenti?” tanya Japa seraya menjentikkan abu rokok ke asbak.

“Mmm, berhenti sampai Petir lahir, usianya baru dua bulan. Waktu itu nggak tau kenapa gue kesel, capek, maunya marah-marah turus, tapi nggak bisa. Waktu itu lagi beli popok di supermarket, lihat rokok di sana, malah beli. Petir tidur dari jam 7 malam sampai jam 1, aku nggak tidur sampai habis satu bungkus. Ckkk, tolol.”

“Sambil nangis 'kan? Akhirnya nangis karena menyesal sama diri sendiri,” sahut Japa.

“Baca PDF yang aku kasih ke kamu udah sampai situ, ya?” tanyanya. Jiva ingat jika menulis tentang hal ini ke coretannya tentang perjalanannya.

“Mm, udah aku baca.”

Japa mengangkat kepalanya melihat ke atas langit sana. Menghisap rokoknya kembali, lalu menghembuskan asap rokoknya ke udara.

“Sebelum sampai bab situ, aku membaca ini. 'Dingin di luar karena hujan, dingin di dalam ruangan karena AC. Hanya ada satu bidan dan beberapa perawat di sekitarku. Aku berbaring dengan mata terbuka, tapi tidak merasakan apa pun di bagian dada ke bawah. Tiba-tiba darah menyembur mengenai tirai yang membatasi dada dan perutku yang sedang dibelah. Aku mau nangis, tapi malu sama dokter dan perawatnya. Malu karena perbuatannya sendiri, nggak ada suami, masa lahiran aja nangis. Aku hanya menatap lampu yang ada di atasku untuk mencoba menahan air mataku, dan nggak lama setelahnya terdengar suara tangis jagoanku. Sialnya, kata pertama yang aku ucapkan yaitu wihh, anaknya Japa nangis.”

“Japa, udah.....”

Jiva mengulurkan tangannya mengusap lembut lengan Japa. Menghentikan ucapannya yang disertai rintihan.

Japa menangis. Terlihat dari cara ia memandang ke atas, Japa berusaha menahan air matanya, namun gagal. Bait-bait yang ia baca, bahkan ia ulang berkali-kali hingga hafal setiap kata-katanya membuat hatinya tertusuk pisau lagi dan lagi.

Japa yang merasa sakitnya pisau menancap di tubuhnya pun masih memikirkan betapa sakitnya Jiva waktu itu? Perutnya yang tersayat pisau bedah selapis demi selapis hingga lapis ke tujuh, juga proses penyembuhan pasca operasi, dan bekas yang tidak akan pernah hilang.

“Japa, udah dong....” pinta Jiva yang tengah berganti berdiri di depan Japa, sembari membawa tangan kanan Japa, untuk ia genggam.

“Maaf, ya? Maafin aku....”

Japa mendekap erat pinggang Jiva. Beberapa kali ia meminta maaf bersamaan dengan suara tangisannya.

Jiva pun membawa telapak tangannya mengusap-usap kepala Japa yang berada di perutnya. Untuk pertama kalinya melihat Japa menangis, terlebih menangisi dirinya sendiri— membuat ia meneteskan airnya tanpa disadari.