write.as

milky way

Belakangan baru diketahui bahwa toleransi alkohol Chan tergolong rendah.

“Mending gue yang pegang HP lo,” rayu Jeonghan kepada Chan yang berkutat dengan handphone, alkohol mengaburkan fungsi motorik laki-laki itu secara signifikan dan membuat jarinya mengetikkan rangkaian huruf yang membentuk kata tak masuk akal.

Seperti tipikal orang mabuk pada umumnya, ternyata Chan termasuk mereka yang melakukan drunk texting, sebuah kegiatan mengirim pesan dalam keadaan mabuk dan karenanya, biasanya isi pesan drunk texting dipertanyakan karena akal sehat si pengirim dipengaruhi alkohol.

“Nggg, balikin,” racau Chan berusaha mengambil kembali handphone-nya dari tangan Jeonghan yang sudah berhasil mengambil alih handphone itu sebelum yang punya bisa mengirimkan pesan.

Betul saja, kalimat yang diketik Chan penuh dengan typo dan rangkaian katanya tidak dapat dimengerti. Jeonghan memijat pelipis. Jadi begini rasanya babysitting.

Kalau saja ia bukan guardian angel Chan dalam farewell ini, mungkin sekarang ia sendiri sudah ikut yang lain asyik-asyikan dekat meja DJ. Namun entah kenapa, hari ini ia ingin menunaikan kewajiban menjadi seorang malaikat pelindung. Sebagai salah satu yang paling tua dan yang tingkat toleransi terhadap alkoholnya paling tinggi, Jeonghan merasa bertanggung jawab atas Chan yang paling muda di antara mereka dan pertama kali minum alkohol sampai semabuk ini.

Sayangnya, tenaga Chan, meski dalam keadaan diperlemah oleh alkohol, tetap lebih besar daripada Jeonghan yang tidak pernah menyentuh barbel seumur hidupnya. Handphone yang tadinya sudah aman dalam genggamannya berhasil direbut kembali oleh Chan, dibawa lari ke luar ruangan menuju halaman belakang.

“Ni anak makan apa sih, mabok aja banyak tingkah,” gumam Jeonghan sambil mengikuti Chan keluar, berharap adik tingkatnya itu tidak aneh-aneh sebelum bisa ia cegah.

“Chan, bahaya tau pegang HP pas lagi mabok,” bujuk Jeonghan sekali lagi, berusaha menghentikan Chan yang tidak berhenti mondar-mandir dan mengetik sesuatu.

“Nggak,” bantah Chan, “Gue mau nelpon Putri! Gue harus ngomong sama Putri!”

Siapa lagi ni Putri, pikir Jeonghan bingung.

“Putri siapa, Chan?”

“Ya Putri! Pacar gue!”

Mampus, kirain nama pacarnya Yerim? Apa jangan-jangan ini selingkuhannya?, Jeonghan semakin panik.

“Sebelum lo ngelakuin hal yang bakal lo seselin pas udah gak mabok, mending HP-nya kasih ke gue,” kata Jeonghan dengan nada lembut dan perlahan, seakan berbicara pada anak kecil yang mengamuk dan tidak mau mainannya diambil.

Jeonghan sudah kenyang pengalaman berpesta dengan teman-temannya untuk mengerti sepenuhnya bahwa drunk texting, apalagi drunk calling, biasanya berujung ke pembongkaran rahasia, kebodohan, dan rasa malu yang baru akan bertubi-tubi dirasakan ketika sudah tidak dalam pengaruh alkohol.

“Gak mau! Mau Putri!”

Tidak menemukan cara lain untuk membuat Chan menyerahkan handphone-nya secara sukarela, Jeonghan nekat mencoba mengambil paksa handphone itu. Mengapa ia berusaha sekeras ini hanya agar Chan tidak melakukan kebodohan, ia sendiri tidak paham, tapi yang penting sekarang adalah menghentikan Chan sebelum ia bisa menelpon si 'Putri' ini.

Dalam kericuhan konyol di mana Jeonghan jelas-jelas dibantai Chan namun tetap berusaha sekuat tenaga, handphone itu melayang dari tangan entah siapa dan mendarat di rerumputan. Sayangnya, Chan lebih gesit daripada Jeonghan, dan berhasil meraih handphonenya lebih dulu.

Terlambat. Chan sudah mengangkat handphone ke telinganya, berhasil menelpon si Putri ini sebelum Jeonghan bahkan bisa mengatur napas. Kini laki-laki itu berjalan mondar mandir, menunggu teleponnya diangkat.

“Halo, Tuan Putri? Tuan Putri kok bangun? Eh, tolol gue, ya kan gara-gara ditelpon yak. Tuan Putri, aku mau—”

Lalu Chan terdiam. Mematung di tempat. Jeonghan was-was, detak jantungnya terpacu. Apa yang terjadi?

“Tuan Putri?? Kok suara kamu ngebass???”

Astaga. Inilah yang Jeonghan takutkan. Siapa yang mengangkat telepon Chan??

“Tuan Putri kenapa suara kamu laki banget Tuan Putri!!! Ini siapa!! Ini bukan Tuan Putriku!!!”

Tiba-tiba Chan mulai menangis, tersedu-tersedu kepada siapapun di seberang telepon. Sepertinya ada orang lain yang memegang handphone siapapun si Tuan Putri ini.

“Balikin Tuan Putrinya Ican!! Ya Allah ini siapa!!! Balikin Tuan Putri aku!!”

Ya Tuhan. Jantung Jeonghan mencelos mendengar kata-kata Chan. Benar-benar inilah situasi yang ia takutkan. Ternyata ada laki-laki lain, atau siapapun laki-laki yang mengangkat telepon Chan kepada pacarnya. Atau selingkuhannya. Jeonghan sudah tidak tahu lagi siapa si Tuan Putri ini.

“Tuan Putri kamu kemana!! Ini siapa!!”

Semakin ke sini, Chan semakin keras menangisnya, meraung dengan air mata semakin deras mengalir di pipi. Lucu karena Chan terdengar (dan terlihat) jelas sedang mabuk, tapi di sisi lain Jeonghan juga tidak tega kalau adik tingkatnya ini ternyata diselingkuhi.

Tanpa pikir panjang, Jeonghan mengambil paksa handphone Chan, sementara si yang punya kebingungan sambil tetap tersedu.

“Halo? Eh, denger ya, siapapun lo, selingkuhannya si Tuan Putri ato ya gue gatau lah lo siapa. Tapi lo ngangkat teleponnya pacarnya temen gue— tengah malem, no less— which means you're the asshole here. What the hell are you doing with my friend's girlfriend's phone, huh, asshole?”

Adrenalin mengalir di seluruh tubuh Jeonghan yang sedang bersemangat marah-marah membela harga diri Chan, namun yang ia dapatkan hanyalah keheningan dari ujung lain telepon. Tidak terlalu hening, karena Jeonghan bisa mendengar samar suara orang mengobrol dan lagu berdentum ramai dari sambungan telepon. Si Tuan Putri dan selingkuhannya lagi di mana sih?

“Halo?! Woy, kalo lo gentle, jawab dong! Gak diem aja!” hardik Jeonghan sekali lagi, penasaran oleh reaksi si selingkuhan. Chan masih sesenggukan, duduk di atas rumput melihat Jeonghan berantem dengan si laki-laki yang mengangkat teleponnya.

Lalu terdengar jawaban dari seberang. “...Kak Jeonghan??? Kalian tuh ngapain sih???”

Suara si penerima telepon terdengar sangat bingung dan kesal, yang membuat Jeonghan panik dan sebal dalam waktu bersamaan. Kurang ajar, ditanya ngapain. Harusnya ia yang bertanya begitu pada si laki-laki! Tapi di sisi lain, Jeonghan kaget setengah mati karena si penerima tahu siapa dirinya.

“K-kok lo tau gue s-siapa?! Apa maksudnya, kita ng-ngapain?! Y-ya lo tuh yang ngapain!!” balas Jeonghan berusaha galak meskipun aslinya jantungnya sudah mulai berolahraga di dalam dada.

Diam lagi. Ada suara gemerisik. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan Jeonghan.

“Heh—” mulai Jeonghan, tapi kata-katanya terpotong oleh sebuah suara.

“KAK JEONGHAN!!”

Jeonghan terkaget dipanggil, suara yang sama menggelegar dari handphone yang dipegangnya.

Mengikuti sumber suara tersebut, Jeonghan bisa melihat kepala Jihoon menongol keluar dari jendela yang terbuka di ruang tengah tempat mereka melaksanakan acara malam ini, suara dentum bass mengalir keluar dari belakangnya. Jeonghan hampir lupa masih ada pesta yang berlangsung di dalam.

Sebuah handphone menempel di telinga Jihoon, mukanya terlihat kesal dan bingung. Pandangannya jatuh kepada Chan yang duduk di rumput, lalu kepada Jeonghan yang berdiri tak jauh darinya memegang handphone.

Ekspresi Jihoon seakan bertanya 'what the hell are you doing', yang tentu saja ia ucapkan untuk menyampaikan maksudnya.

“KALIAN TUH NGAPAIN SIH.”

Sebentar. Suara Jihoon terdengar lagi dari telepon. Jangan-jangan...

Perlahan Jeonghan menurunkan handphone Chan yang masih menempel di telinga dan melihat ke layarnya.

Terpampang jelas pada layar nama kontak 'Bang Jihoon' dan detik telepon yang masih berjalan, log menunjukkan mereka sudah menelepon selama 10 menit. Sesuai dengan ketika Chan pertama kali mencoba menelpon Tuan Putri.

Jadi. Pantas saja suara yang mengangkat telepon si Tuan Putri ini ngebass. Dan ternyata si Tuan Putri ini tidak selingkuh, atau setidaknya tidak sedang bersama laki-laki lain pada tengah malam sementara pacarnya sedang di luar kota.

Karena Chan salah sambung kepada Jihoon.

“Ji—” Jeonghan mengangkat kepala dari layar untuk meminta maaf kepada Jihoon yang sudah mematikan teleponnya, tapi si penerima salah sambung sudah kembali masuk dan menutup jendelanya.

Pintar sekali anak itu. Meninggalkan Chan yang mabuk (dan masih menangis) menjadi urusan Jeonghan. Meskipun memang secara teknis Chan adalah urusan Jeonghan untuk malam ini.

“Mau Tuan Putri...” suara Chan yang masih terdengar basah oleh tangis menyadarkan Jeonghan dari lamunannya.

Ya ampun, masih saja dengan Tuan Putri-nya. Adrenalin yang tadi mengambil alih sekujur tubuh Jeonghan kini hilang tak berbekas dan menyisakan pening.

“Tuan Putriku kemana....”

Ya sudahlah, sekali ini saja. Sepertinya Chan ingin sekali berbicara kepada Tuan Putrinya. Menghela napas, Jeonghan menyerah dan mencari nama kontak 'Tuan Putri' di search bar.

Betul saja, langsung muncul sebuah kontak yang fotonya adalah perempuan yang mereka temui bergandengan dengan Chan saat closing Artfest.

Tanpa pikir panjang, Jeonghan mengetuk tombol panggil pada layar dan menyerahkan handphone itu pada Chan.

“Nih, Tuan Putri,” katanya singkat, mendudukkan dirinya di atas rumput sebelah Chan.

Si yang punya menerima handphonenya dengan berseri-seri seperti anak kecil diberi permen. Kerasnya nada panggil terdengar bahkan sampai telinga Jeonghan sebelum teleponnya diangkat.

Dasar anak muda, Jeonghan menghembuskan napas, indahnya cinta remaja.

Padahal sebenarnya Jeonghan juga yakin ia dan Seungcheol masih dalam fase honeymoon hubungan mereka. Tapi entah kenapa rasanya berbeda dengan Chan dan Tuan Putri-nya, mabuk tengah malam dan minta untuk berbicara sampai menangis meraung-raung.

“Halo, Ican?” Akhirnya terdengar jawaban dari ujung lain sambungan.

Sumpah, Jeonghan tidak bermaksud untuk menguping, tapi kan bukan salahnya kalau Chan ternyata tidak sengaja menyalakan loudspeaker.

“Tuan Putri!!” Chan menjawab kegirangan, mengusap matanya dan berteriak riang. “Akhirnya kamu kembali!!”

“Kembali... dari mana??” Tuan Putri menjawab bingung. “Ican, kamu nggakpapa?”

“Tuan Putri, Kim Yerim, pacarku, belahan jiwaku, kamu jangan pernah tinggalin aku ya?” tanya Chan bersungguh-sungguh, tidak menghiraukan pertanyaan Tuan Putri (alias Yerim, alias pacarnya, pikir Jeonghan lega) yang masih dilanda kebingungan. Jadi tidak ada yang selingkuh. Untung saja.

“Can ini kamu kenapa sih?? Kena dare??” tanya Yerim ulang.

“Tuan Putri, aku sayang banget sama kamu!! Kamu orang paling sempurna di dunia buatku!! Jangan pernah tinggalin aku!! Tuan Putri, aku cuma mau bilang—” suara Chan pecah sebelum kalimatnya selesai. Air mata menuruni pipinya lagi dan sedu sedannya kembali.

Mampus, emotional drunk ya ni anak, Jeonghan membatin.

“Tuan Putri, aku t-tau aku b-banyak kurangnya,” kata Chan terbata-bata terhalang isak tangis, “tapi tolong, Tuan Putri, kasihtau aku biar aku bisa sempurna buat kamu!! Aku kurang apaaaa, Tuan Putriiii, tolong bilangin aku sekaraaaang!!!”

Kurang waras Can, monmaap, komentar Jeonghan lelah dalam hati.

“Lho, lho, eh, Ican jangan nangis! Cup, cup, iya sayang, aku nggak ninggalin kamu! Kamu kenapa, aku jadi bingung juga...” Yerim sekarang terdengar panik di ujung lain telepon. Ya siapa juga yang nggak panik kalo ditelepon tengah malem nangis-nangis terus ngomongnya nggak jelas.

Mulai kasihan dengan baik Yerim maupun Chan (yang semakin tidak bisa mengontrol tangisannya), akhirnya Jeonghan kembali mengambil alih.

“Halo, Yerim? Iya, hai, aku Jeonghan, katingnya Chan. Chan tuh lagi mabok mampus, terus nangis-nangis pengen nelepon Tuan Putri. He's fine, ish, I think.

“Ya ampun... Maaf ya Kak, jadi ngerepotin gini... Dia tadi emang cerita lagi ada acara farewell di Puncak sama temen-temen filmnya tapi aku nggak tau kalo bakal kaya gini,” jelas Yerim merasa bersalah karena pacarnya bikin repot.

It's okay, yang penting dia udah ngobrol sama kamu. Tadi sempet salah sambung segala— anyway. Maaf ya udah ganggu kamu malem-malem— oh, oops, wait, I think he wants to say something to you—

Gantian Chan yang mengambil handphonenya dari tangan Jeonghan. “Tuan Putri, jangan pernah lupa kalo aku sayaaaaaaaang banget sama kamu!! Aduh, mual—”

Aaaand, that's Jeonghan's cue.

“Malem Yerim, sekali lagi maaf ganggu!” Jeonghan berseru terburu-buru ke telepon dan menutup telepon dengan segera sebelum Chan bisa muntah di atas rumput.

Ia mengalungkan tangan Chan yang mukanya semakin memucat karena mual, mengerang keberatan karena Jeonghan tidak memiliki secuil pun massa otot yang membentuk di tubuhnya.

Tujuan Jeonghan hanya satu: toilet.

Dengan susah payah ia menyeret Chan menuju kamar mandi sebelum adik tingkatnya semakin mual, peluh membahasi kening.

“Pelan-pelan... Iya, mual ya... Keluarin semuanya aja...” kata Jeonghan meraba punggung Chan perlahan sembari laki-laki yang lebih muda dan tidak berpengalaman minum alkohol itu mengosongkan isi perutnya di kloset.

Sekali lagi, seperti orang habis jackpot pada umumnya, yang datang adalah kantuk. Jeonghan mendepositkan Chan di sofa ruang depan, karena sejujurnya ia tidak punya tenaga untuk kembali menggotong Chan.

Tertidur pulas sesegera kepalanya menyentuh bantal sofa, barulah Jeonghan bisa menghembuskan napas. Gila, ia jadi bergidik membayangkan Jisoo yang selalu menjadi babysitter tiap mereka pergi minum.

Betapa rollercoasternya malam ini untuk Jeonghan. Ia melangkah gontai kembali ke ruang tengah, di mana pesta masih berlangsung. Mungkin sepertinya semakin heboh.

I need a drink,” gumam Jeonghan lelah.