write.as

Jiva Ganapatih. 23 tahun, masih pengangguran. Baru dua bulan ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dan masih hangat-hangatnya merasa bebas dari masa penjajahan. Pikir Jiva.

Jiva hampir delapan tahun lamanya ia hidup seorang diri. Saat ia berusia empat belas tahun kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan maut yang menimpa mereka begitu juga Jiva. Beruntung tuhan masih sayang Jiva, ia selamat dalam kecelakaan tersebut.

Saat itu ia beserta keluarganya baru satu tahun pindah rumah disalah satu perumahan elite. Belum banyak kenalan maupun sahabat dekat yang ia tau. Hanya Japa, teman SMP nya yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Saat kecelakaan terjadi, keluarga Japa lah yang membatu banyak. Dari pemakaman hingga mengurus trauma Jiva setelah mengetahui kedua orangtuanya telah tiada.

Beberapa pekan berlalu, orangtua Japa meminta Jiva untuk tinggal bersama, tapi Jiva menolak. Mengingat tinggal bersama orang lain tidak akan sebebas hidup sendiri. Beruntungnya, kedua orangtuanya meninggalkan banyak tabungan untuk keperluan pendidikannya hingga sarjana kelak.

Beberapa waktu berlalu, keakraban Jiva dan Japa semakin melekat. Bukan hanya persahabatannya yang di kelu-kelukan banyak orang, tapi sifat kucing dan tikus.

Saat keduanya sama-sama memasuki universitas yang sama, banyak orang yang simpati dengan keakrabannya, yang membuat mereka banyak dikenali. Best bro never end, kalo orang bilang. Mau keduanya sering debat, tapi setelahnya seperti tidak ada yang terjadi.

Keduanya memiliki hobi yang sama; sama-sama suka berkendara. Istilah piknik, healing, touring, dan sebagainya sedang marak di kalangan masyarakat saat ini, begitu juga Japa dan Jiva. Hanya saja Java dan Jiva lebih sering pergi berdua menggunakan sepeda motornya.

Setalah kelulusan, keduanya memiliki rencana berkendara di gunung Bromo dan Ijen. Hanya aja sampai saat ini belum terlaksana karena kesibukan Japa yang baru memulai bekerja di perusahaan keluarganya.

Bagaimana dengan Jiva? Jangan ditanya lagi, ia sudah berkali-kali mendapat tawaran untuk bekerja di perusahaan keluarga Japa, tapi Jiva selalu menolak, “Nggak mau, Pa. Nggak suka pakai orang dalam. Keluarga lo udah banyak bantu gue, masa sampai cari kerja mau dibantu lagi.”