write.as

Pertemuan Sebuah Kenangan

Pertemuan hari ini akan menjadi sejarah di dalam hidup seorang Meghantara Prakasa. Ia baru saja mengirimkan pesan kepada orang yang ia benci semasa hidupnya. Ayahnya sendiri. Namun semua itu harus Tara lakukan untuk mencoba berdamai dengan masa lalunya.

Fahrian Prakasa setelah mendapatkan pesan dari anak lelakinya ini, ia segera menuju Rumah Sakit Premier tempat dimana Tara ingin bertemu. Lebih tepatnya tempat dimana Tara sedang bertahan hidup saat ini. Sepanjang perjalananya menuju Rumah Sakit, Rian tidak henti hentinya bersyukur bahwa anaknya ingin bertemu.

Sesampainya disana, Rian segera turun dan menuju Taman Rumah Sakit. Disana sudah nampak anaknya. Penampakan dimana anaknya sedang duduk di kursi roda dengan bantuan oxygen disampingnya.

“Tara, are u okay? What happens?” Rian menanyakan keadaan Tara untuk pertama kalinya dihidup Tara

“Saya? Kamu nanya saya apa baik baik saja? Wow sebuah kemajuan.” Tara hanya memandangi ayahnya dari kursi roda miliknya.

Jika ada sebuah olimpiade dengan kategori orang tua paling buruk yang di perlombakan, mungkin Rian sudah memenangkan posisi pertama dengan cuma cuma.

“Terima kasih sudah mau bertemu dengan ayah.” Rian Dengan perlahan duduk dibangku taman bersebelahan dengan anaknya ini

“Saya jawab pertanyaan anda. Saya tidak sedang baik baik saja. Saya hanya sedang diberi ujian berat sama semesta. Anda lihat sendiri, saya disini masih bernafas walau dengan bantuan alat. Saya sehat untuk saat ini, saya fikir seperti itu. Buktinya saya masih bisa duduk berhadapan dengan anda.” Tara tersenyum

“Tujuan saya mengundang anda kesini, saya ingin melepas beban yang saya pikul sendiri dari kecil. Beban masa kecil saya yang selalu menghantui saya sampai sekarang. Saya tidak bisa berjuang melawan kanker darah ini jika pikiran itu masih ada.”

Rian yang mendengar ucapan Tara, hanya bisa diam terpaku. Dia benar benar tidak tahu hal apapun tentang anaknya termasuk penyakit yang sedang anaknya alami.

“Anakku...” Rian tiba tiba berlutut kepada Tara dan memegang badan anaknya. Diikut suara tangisannya yang keluar dari mulutnya

“Hukum ayah! Ini salah ayah! Maaf ayah sudah memberikan luka yang membekas ke kamu. Maaf ayah sudah mengabaikan kehadiran kamu di kehidupan ayah.”

Tara melihat ayahnya menangis untuk pertama kalinya. Walaupun ini yang Tara inginkan, namun dia tidak ingin ada tangisan lagi untuk dirinya. Apalagi menyalahkan orang lain atas penyakitnya.

“Semua sudah takdir tuhan. Jika jalannya seperti ini, saya bisa menuntut apa? Saya tau ayah sudah menyesali nya sekarang.” Tara menatap ayahnya dengan tatapan sendu

“Boleh Tara berdamai dengan ayah? tara cuma ingin hidup Tara tenang untuk saat ini. Tara mempunyai beberapa tujuan lainnya yang ingin Tara wujudkan. Jadi tolong, tolong bantu Tara mewujudkan salah satunya.” Tara menunjukan kertas keinginan nya dengan air mata yang mengalir kali ini.

Rian mengambil kertas itu dan melihat namanya disana. Ternyata anaknya benar benar ingin memaafkannya kali ini. Momen ini akhirnya terjadi walaupun ditemani penyakit yang membuat umur anaknya tidak lama.

“Sudah berapa lama? Mana yang sakit sayang? Ini? Mana? Bilang ke ayah.” Berkali kali ia mengusap wajah Tara, seolah olah sedang berusaha mengobati luka anaknya

“Sakit disemuanya yah. Udah 10 bulan Tara bertahan dengan penyakit ini.” Tara berusaha tersenyum ditengah Isak tangisnya. Dia menyebut lelaki ini dengan sebutan Ayah setelah sekian lamanya.

“Nak, sudah lama sekali itu...” Rian menatap netra Tara, terdapat kehangantan sekaligus tatapan kerinduan disana. Bodoh, sangat bodoh. Bisa bisanya ia mengabaikan anak semata wayangnya ini.

“Yah, I'm fine for now. Don't be sorry for everything anymore. Tara bersyukur hari ini bisa terjadi. Bertemu sosok yang Tara rindukan semasa kecil.” Tara tersenyum. Senyumannya membuat Rian semakin hancur.

“Tapi Tara gamau berdamai dengan ayah sendirian. Mah...” Tara memanggil mamahnya yang ternyata sudah duduk dari kejauhan memandangi Rian sejak awal kedatangannya. Dia menghampiri panggilan anaknya untuk segera mendekatkan diri.

“Tara mau ayah dan mamah berdamai juga. Tolong berdamai demi Tara. Setidaknya sampai Tara pergi nanti. Tara mau kalian berdua ada di sisi Tara jika saatnya tiba. Boleh?” Tara memegang tangan ayah dan mamahnya guna menyatukan rumah yang sudah hancur.

“Rian, jika ini bukan permintaan Tara, mungkin saya tidak akan mau memaafkanmu. Tapi, peran kamu di butuhkan disini. Jadi tolong, kali ini rendahkan ego masing masing. Demi anak kita.” Wanita ini memandangi Rian dan Tara.

Ternyata benar, beban yang dipikul sendiri sangatlah berat. Tetapi, jika sudah dilepaskan, sangatlah meringankan beberapa pikiran di otak Tara saat ini.

“Tar, u did it. Lo udah berhasil berdamai dengan ayah Lo. Tinggal sedikit lagi. Bisa kan Tar?” Suara hati Tara yang menyadarkannya agar terus berusaha bernafas setiap detiknya.