write.as

Shutter Act Four: (Not So) Romantic Story

Shutter // Act Four: (Not So) Romantic Story // 2470 words

. . .

“Sakit nggak, gyu?”

Begitu kalimat yang meluncur dari bilah bibir sosok berkacamata yang sedang berjongkok di depannya. Untuk kali ini, ia hanya bisa menghela nafas tanpa langsung memberikan jawaban.

Sebenarnya Mingyu itu bukan orang yang punya banyak stok kesabaran, malah kalau boleh dibilang dirinya adalah tipe yang mudah sekali dibuat kesal, pun marahnya akan langsung dikeluarkan entah dengan kata-kata tajam nan menusuk ataupun tatapan sinis yang membuat orang merasa tak enak hati melihatnya.

Namun, sosok di depannya ini seolah punya magis tersendiri yang membuatnya bisa meredam rasa kesal yang hampir saja meledak. Bahkan ia masih bisa melemparkan senyum tipis walaupun hampir saja dikeroyok warga beberapa menit lalu.

Semuanya terjadi begitu cepat tadi. Bahkan belum sempat ia mengedipkan mata, tahu-tahu ia sudah berakhir dengan baju yang hampir melar karena ditarik oleh warga. Berawal dari dua anak dengan seragam putih abu-abu bernama Sunwoo dan Soobin (yang ia ketahui setelah berdamai tadi), melihatnya dengan posisi sedang bersiap untuk memanjat dan tanpa babibu langsung berteriak maling dengan lantang. Keributan itu membuat hampir seluruh warga kompleks keluar dengan berbagai alat rumah tangga, mulai dari sapu sampai helm pun terlihat mereka genggam.

Begitu akhirnya hingga kaos hitam yang ia gunakan ditarik hingga melar dan tentu saja dengan posisi itu menbuatnya hampir terjatuh. Untungnya, untung sekali tepat di waktu yang bersamaan, sebuah decitan yang berasal dari pintu yang terbuka mengalihkan perhatian para warga (dan dirinya juga). Sang empunya rumah muncul dengan seekor kucing putih dalam pelukannya.

“Loh, Mingyu?” begitu mendengar namanya dipanggil, Mingyu menoleh secara dramatis seperti drama roman picisan — di mana seorang pangeran tampan muncul bagaikan ksatria penyelamat hidupnya. Pun warga yang sedang ramai di depan pagar pun ikut menoleh, dan seperti adegan slow motion, semua mata langsung tertuju pada Wonwoo. Suasana terlalu hening, tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun hingga —

“Meow,” dan kucing itu loncat dari pelukan Wonwoo lalu melenggang pergi begitu saja tanpa menoleh sekalipun.

Seolah mengerti dengan situasi yang dihadapi (dan juga tatapan memelas yang ia lemparkan), Wonwoo dengan piyama sutra berwarnanya ungunya hanya menggelengkan kepala sembari berjalan menuju pagar pintu rumahnya.

Sepertinya pengalaman debat itu sangat bermanfaat sekali untuk mengatasi keadaan saat ini, karena lelaki itu dengan cakap menjelaskan kepada warga bahwa dirinya adalah seorang teman dan tadi ia hanya ingin mengintip ke dalam isi rumah melalui pagar karena dirinya tidak lekas menjawab telfon (yang separuhnya benar, karena sebeneranya ia memang berniat memanjat, bukan mengintip). Sangat meyakinkan sekali caranya bercakap hingga tak butuh waktu lama sampai kerumunan mulai membubarkan diri.

Dan setelah huru-hara berakhir, kini Mingyu berhasil masuk tanpa harus memanjat dan duduk di salah satu sisi sofa yang terletak di tengah-tengah ruang tamu. Sebenarnya ia tidak berniat untuk meneliti setiap sudut rumah ini, namun ada sepasang mata (atau mungkin dua karena kucing putih itu dihitung) yang terus menatapnya sedaritadi dengan penuh arti. Kalau seperti itu bagaimana ia tidak salah tingkah jadinya.

Sudah mati-matian ia berusaha keras untuk mengalihkan pandangan, mencoba menghitung setiap garis yang ada pada jam dinding namun tetap saja keinginan untuk menoleh ke arah Wonwoo jauh lebih besar. Dirinya ini belum siap, masih terlalu gugup apalagi kejadian tadi menurutnya sedikit memalukan. Pun ia bingung harus mengucapkan apa sebagai kalimat pembuka setelah kejadian tadi. What if, what if Wonwoo finds him weird because of this? Ah sial, semua gara-gara tukang ojek itu. Dan bodohnya dia juga kenapa malah mengikuti saran mas-mas tadi coba? Mungkin tukang ojek itu sengaja balas dendam karena motornya diambil alih tadi ya?

Namun ketika ia tidak sengaja mencuri pandang, pertahanannya runtuh ketika melihat ujung hidung itu sedikit kemerahan dan rona kemerahan di pipi Wonwoo juga tidak seperti biasanya. Right, he almost forgot the purpose of going here. Maka tas selempang yang hampir terlupakan dan dibiarkan teronggok di atas lantai, kini diambil untuk kemudian tangannya sibuk mencari sesuatu yang sempat dibelinya ketika dalam perjalanan (dengan iming-iming biaya tambahan kepada mas gojek tadi).

Semuanya dilakukan dengan cekatan, mulai dari merobek hingga menempelkan pada kening Wonwoo yang terlihat terkejut bahkan sampai lupa mengedip karena gerakannya yang tiba-tiba. Sedetik kemudian, lelaki itu mengerjapkan matanya cepat. Dan masih dengan ekspresi bingung, tangan yang tertutup jaket kebesaran itu bergerak menuju keningnya sendiri dan tak butuh waktu lama sampai sebuah senyum mengembang menghiasi wajah Wonwoo.

“Makasi ya, Mingyu.”

Cukup satu kalimat singkat dan sepertinya semua keberaniannya telah terkumpul, karena kini tanpa malu-malu tangannya ikut mengusap kening yang dihiasi byebye fever itu, pun turun untuk menyentuh ujung hidung kemerahan Wonwoo.

“Maaf ya kak, gara-gara kemaren aku ajakin jalan sampe malem ya jadinya demam?”

“Iya.”

No shit sherlock. Jawaban yang singkat dan tepat menusuk hatinya. Semakinlah ia merasa bersalah. Tangannya yang tadi masih memegang wajah Wonwoo kini terkulai lemas, bahkan kepalanya menunduk karena terlalu malu dengan ide yang kemarin malam ia anggap cemerlang. Damn those stupid google idea, and stupid him to trust it without hesitation.

Namun terdengar suara tawa pelan yang diikuti dengan sebuah tepukan halus di puncak kepalanya. Siapalagi pelakunya kalau bukan Wonwoo yang kini memancarkan senyum lebarnya, lihat saja dari matanya yang membentuk lengkungan bulan sabit sempurna itu.

“Bercanda, Mingyu. Emang akunya gampang sakit, salah aku juga soalnya kemaren-kemaren begadang terus nonton series di netflix hehehehe.”

Entah apakah alasan itu sengaja dibuat guna menenangkannya atau memang kenyataan, tapi Mingyu sangat menghargai usaha Wonwoo untuk membuatnya feeling less guilty. This prove that Wonwoo is that thoughtful, and he feels warm in his chest. Jadi ia biarkan lelaki di depannya ini bermain dengan rambutnya walaupun sebenarnya Mingyu sangat sangat tidak suka ketika rambutnya disentuh oleh orang, bahkan saudaranya sekalipun. Namun lihat dia sekarang, duduk dengan tenang tanpa ada protes sedikitpun dan malah asik meneliti wajah Wonwoo yang terlihat serius sekali memperhatikan setiap helai surai hitamnya yang mulai memanjang.

Sembari memperhatikan setiap lekuk wajah Wonwoo, larut ia dalam pikiran bahwa seharusnya ia ke sini untuk merawat Wonwoo kan? Namun kenapa semuanya tidak berjalan dengan skenario, yang ada malah sedaritadi merepotkan Wonwoo. Jadi apa yang harus —

“Mingyu lucu ya.”

Lamunannya buyar, otomatis ia menatap Wonwoo dengan mata membulat karena … baru saja ia dipuji secara tiba-tiba? Out of blue? Maksudnya ada apa sampai Wonwoo bisa berkata seperti —

“Rambutnya keriting gini mirip anjing apa itu namanya ya … udel?”

Dan untuk sesaat Mingyu ini lupa bahwa orang yang ia ajak bicara harus membuatnya memutar otak dengan segala ucapan yang meluncur dari bibirnya. Ingat, jangan sampai memberikan jawaban bodoh atau Wonwoo akan menyanggahnya dengan balasan yang tidak kalah menohok seperti perihal nasi goreng enak atau tidak kemarin. Tapi ini maksudnya … udel apa?

Come on Mingyu, you’re smart. Think hard, think hard. Cari nama yang paling dekat dengan kata — ah. Ah. AH.

“Maksudnya … poodle kak?” Gotcha, mata itu langsung berbinar dan langsung kepalanya dianggukan berulang kali hingga rambut itu ikut bergoyang dengan menggemaskan (oke, dia tidak tau bagaimana cara mendeskripsikannya tapi kalian pasti mengerti). Dalam hati ia terus merapalkan kata “aduh lucu banget” tanpa henti. Oh, boleh tidak pipi itu juga ia cubit?

“Oh iya, itu maksudnya. Hihihihihi lucu, mirip udel.”

Poodle kak.”

“Ih sama aja, Mingyu!”

“Iya kak. Sama kok, sama iya.”


Sebenarnya Mingyu ini tidak begitu paham dengan konsep datang ke rumah “gebetan” yang sedang sakit. Maksudnya, apa yang sebenarnya harus ia lakukan? Kalau di drama-drama, salah satu pemeran utama yang sedang sakit pasti akan terkulai lemas lalu bermanja-manjaan pada pasangannya, atau mungkin pasangannya akan memasak makanan kesukaannya. Kalau mau lebih romantis, mungkin kalau satunya sedang sakit dan berbaring di atas tempat tidur sembari pasangannya duduk di bagian tepinya sembari mengusap tangannya kekasihnya.

Begitu kalau ingin keren dan romantis, bukan? Dan Mingyu adalah salah satu korban yang mempercayai semua imajinasi yang dibingkai dengan sempurna oleh si sutradara. Buktinya sekarang ia sedang berpikir, langkah apa yang akan dia pilih untuk membuat “that perfect moment” yang kiranya akan membekas dalam kenangan.

Haruskah ia membuatkan makanan yang enak? Haruskah ia memutar film romantis lalu berharap Wonwoo akan menyandarkan kepala di bahunya?

Atau — mungkin, ia tidak boleh berharap terlalu banyak. Karena dari semua skenario yang tersusun, yang muncul adalah sesuatu yang mengejutkan.

Ketika suasana sedang hening, perutnya tidak bisa bekerja sama dan berbunyi dengan suara yang cukup … kencang. Bagaimana ya … tadi ia buru-buru berangkat tanpa sempat mengunyah apapun. Belum lagi ternyata dari ngebut membawa motor sampai berdebat dengan warga membuat energinya semakin terkuras habis. Tapi … kenapa harus sekencang itu bunyinya?!

Kemana image lelaki keren bernama Kim Mingyu yang merupakan drummer dan pentolan band Shutter? Sepertinya title yang diraihnya selama ini langsung hilang begitu saja ketika berhadapan dengan seorang Jeon Wonwoo. Hanya di depan lelaki ini yang kebetulan sekali juga orang yang ia sukai.

Perfect; perfect way to ruin yourself.

Namun alih-alih menertawakan, Mingyu dibuat terkejut karena lelaki berkacamata itu tiba-tiba meraih tangannya untuk digenggam. Bak seorang anak kecil, dirinya dituntun hingga menemukan ruang makan yang lengkap dengan dapur kecil nan minimalis. Pun ketika mereka sudah sampai, Wonwoo tidak juga berniat untuk melepaskan pegangan tangannya.

THIS IS WHAT HE CALLED MIRACLE (AGAIN).

Mungkin hari ini tidak buruk-buruk sekali seperti yang ia bayangkan sedaritadi. Nasib anak baik memang, setiap ada misibah memang biasakan akan disusul dengan hal baik. See? This is the result! Tadi dia baru mengeluh dan sekarang langsung muncul moment yang tidak disangka-sangka. One step closer, Kim Mingyu.

Pun karena sangat terharu dan ingin mengabadikan moment ini, tak sedetikpun ia ingin melepas pandangan dari tangan mereka yang masih bertautan. Hey, look at how Wonwoo’s hand fits perfectly with his, like it’s made just for Mingyu. Damn, this sounds so emotional. Terlalu larut ia dengan pikirannya, sampai tidak menyadari bahwa namanya sudah dipanggil berulang kali.

“Mingyu? Mingyu? Halo?? Earth to, Mingyu!”

Entah karena saking terkejutnya, buru-buru Mingyu menggaruk belakang kepala karena gugup namun sedetik kemudian ia baru menyadari bahwa ia menggaruk dengan TANGAN YANG IA GUNAKAN UNTUK MENGGENGGAM. Mulutnya langsung terbuka dramatis, pun matanya langsung membelalak seolah tak percaya dengan kebodohannya. Stupid, stupid, STUPID Mingyu.

“Bunda ada masak sayur cah kangkung sama ayam bumbu merah. Ada terong balado juga! Enak loh, gyu. Kamu mau coba?”

Tungu! Tadi apa katanya? Bunda? Seketika isi kepalanya langsung memasang “switch mode” ketika mendengar kalimat itu disebut. Senyumnya langsung merekah dan buru-buru ia menganggukan kepala sebelum ada kalimat aneh keluar dari bibir Wonwoo yang mungkin akan menggagalkan rencananya.

Jadi begini kronologi yang berputar dalam kepalanya: makan masakan bunda > enak dan puji masakannya > kak Wonwoo akan menyampaikan pada sang bunda > bunda akan penasaran dan meminta Mingyu bertandang lagi > bertemu dan mendapatkan restu. Great, he doesn’t know that his brain can be this brilliant.

Sudah siap ia dengan perkakas makan yang ia ambil secara mandiri atas arahan Wonwoo. Dan ketika tudung saji dari kayu rotan itu diangkat, untuk sesaat ia hanya bisa terdiam dengan pandangan mata penuh dengan rasa sesal. Kenapa … kenapa — terlihat sangat … ah sudahlah.

“Kamu laper banget kan? Makan yang banyak, gyu! Bunda pasti seneng kalo denger masakannya habis.”

Skakmat. Kalau sudah keluar kata-kata itu, mana bisa ia menolak? Tidak ada jalan untuk mundur lagi. Belum lagi ada sepasang mata yang terlihat berbinar, menatapnya dengan penuh harap. Baiklah, baiklah. Mari kita terobos saja walaupun nanti mungkin akan memberikan efek yang sangat besar dalam kehidupannya.

Satu suapan; dua suapan. Semakin sering ia mengunyah, semakin lebar pula senyum Wonwoo yang membuatnya hanya bisa mendesah pasrah dalam hati. Bahkan lelaki berkacamata itu kini asik mengobrol dengan kucingnya seolah sedang menunjukkan bahwa dirinya sedang senang.

“Enak gyu makanannya?”

“Oh, iya. Enak kak, enak banget.”

“Habisin aja gapapa, gyu! Nanti bunda paling masak lagi yang lain.”

Mau menelan rasanya saja susah sekali, sekarang disuruh habiskan. Jadi tanpa memberikan jawaban secara verbal, Mingyu hanya memasang senyuman yang sangat terpaksa dengan harapan lelaki di depannya ini menyadarinya.

Kalau dipikir-pikir, kenapa rasanya ia sedang dikerjai hari ini.


Butuh waktu sekitar tiga puluh menit sampai Mingyu berhasil menyelesaikan misi untuk menghabsikan makanannya. Terlihat tumpukan piring di atas meja yang kini bersih tanpa ada sisa. Pun Mingyu bersandar pada kursi sembari mengelus perutnya yang sudah mengembung, menghilangkan sejenak bentuk perut yang selalu ia banggakan di depan orang-orang. All we do for love, begitu katanya.

Namun, kemana sang tuan rumah yang tidak kunjung kembali dari sepuluh menit lalu? Tadi sepertinya Wonwoo mengatakan akan ke toilet sebentar, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa lelaki itu akan kembali dalam waktu dekat. Karenanya Mingyu memutuskan untuk membereskan semua bekas piring kotor itu sendiri, ia juga tidak akan tega kalau Wonwoo yang sedang sakit membereskan kekacauan itu sendiri. That’s not cool at all. He should be the one who serves Wonwoo like a king, not the other way around.

Tapi sebenarnya lucu juga, sepertinya baru ada satu jam di sini but this place feels like his own home. Mulai dari tadi ketika duduk bersantai di atas sofa, sampai kini ia membereskan alat makannya sendirian. Rasanya dia di sini tidak diperlakukan seperti tamu (bukan dalam konotasi buruk), but feels like he’s in this place for years. Apakah nanti ketika bertemu anggota keluarga Wonwoo yang lain, dia akan diterima juga seperti ini?

Masih jauh, Mingyu. Masih jauh. Pelan-pelan, don’t rush anything. Begini saja sudah cukup, jangan terlalu berkhayal terlalu tinggi. Begitu rapalnya dalam hati.

Tunggu, daripada itu, ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan.

Sampai selesai dirinya mencuci piring, tapi kenapa kak Wonwoonya ini tidak keliahat juga batang hidungnya? Ini tidak terjadi apa-apa kan? Sudah panik sendiri Mingyu itu, membayangkan semua kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi di toilet.

Buru-buru kakinya melangkah, walaupun tidak tahu persis posisinya di mana, setidaknya buka saja semua pintu yang mencurigakan. Dan baru saja ia keluar dari dapur, pandangannya jatuh pada tempat yang sempat ia duduki tadi.

Di sana, Wonwoo terlihat tidur dengan posisi telungkup and … isn’t that his jacket? Jaket yang kemarin malam ia pinjamkan? Kenapa dia baru menyadari sekarang padahal jaket itu sudah dipakai Wonwoo dari awal tadi.

Kalian tahu tidak rasanya seperti ada beribu kupu-kupu hinggap di perut dan hatinya ini penuh dengan kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Begitu, begitu yang ia rasakan sekarang.

Berusaha keras ia untuk mendekat tanpa membuat suara yang kiranya dapat membangunkan. Pelan, sangat pelan sampai ia harus sedikit berjinjit karena tidak ingin menganggu. Dan langsung ia terduduk di tepi sofa, hanya menyisakan jarak beberapa senti dari tempat Wonwoo berbaring.

Lelaki itu tidur dengan sangat nyenyak, pun wajahnya terlihat sangat damai bak seorang bayi yang sedang bermimpi indah. Pelan, Mingyu merapihkan helaian rambut yang menutupi mata Wonwoo dan oh, tak lupa ia melepaskan kacamata bulat yang masih bertengger di hidung sang pujaan hati dengan sangat hati-hati. Tak luput dari pandangannya, bagaimana jemari kurus itu mencengkram jaketnya dengan erat, berharap fabrik itu dapat menghalau rasa dingin yang menyusup.

“Aku beneran pake tidur ya.”

Jawaban Wonwoo kemarin yang ia anggap bercanda ternyata benar adanya. Buktinya sekarang sudah terpampang nyata di depan mata. Dan Mingyu selalu senang, melihat bagaimana jaketnya yang berukuran jauh lebih besar membungkus tubuh kurus itu dengan sempurna.

Dielusnya puncak kepala itu dengan pelan, tanpa mengalihkan pandangan mata dan memberikan seratus persen atensinya hanya untuk Wonwoo. Pun ia tak akan bosan jika harus memandang wajah Wonwoo selama berjam-jam.

This is not the best romantic story like what he imagine, but hey! They can make their own romantic story, isn’t it? Well, he should call this (not so) romantic story.