write.as

When Half of Me is Gone, How Can I Live as One? Wonwoo bergegas membereskan semua perlengkapan kerjanya untuk segera menyusul Mingyu yang sudah menanti di parkiran sekitar satu jam. Wonwoo tahu bahwa pertemuan ini bukan untuk melepas rindu, bahwa hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Ia berpamitan ke semua kolega di kantornya, tidak terkecuali atasannya, Kim Seokjin, yang belakangan ini semakin intense bekerja dengannya, membantu persiapan penulisan buku anak. Ia memberikan anggukan kecil yang dibalas dengan anggukan pula. Menyusuri lift dan mencari peron F9, Wonwoo masih bergegas mencari letak mobil Mingyu. Ia sempat lupa plat nomor mobil yang setahun belakangan ini tidak pernah ia lihat karena pemiliknya berada di luar negeri. Tidak begitu lama, akhirnya ia menemukan mobilnya dan melihat Mingyu yang sedang memejamkan mata, sepertinya ia memanfaatkan waktu untuk terlelap sejenak. Wonwoo mengetuk jendela di sisi penumpang, memberikan sinyal kepada Mingyu kalau ia sudah datang dan memintanya untuk membukakan pintu. Mingyu terhentak sedikit, kaget akan kehadiran Wonwoo namun tetap membukakan pintu. Kusut, lesu, kusam, berantakan. Itu yang bisa Wonwoo lihat dari sosok Mingyu di depannya. Rambut gondrongnya terurai begitu saja. Hoodie hitamnya kusut, pasti ia ambil dari tumpukan lemari pakaian di kamarnya yang tidak ia bawa ke Korea. Dan wajahnya yang menyiratkan kelelahan. "Hi", kata Wonwoo, sedikit ngos-ngosan berjalan dari ruang kerja ke parkiran. "Hi", Mingyu menjawab lemas. Memberikan senyuman namun canggung untuk memberikan lebih dari itu. Kalau saja ia tidak tahan diri, rasanya ingin ia dekap lelaki yang duduk di kursi penumpang tersebut. Hampir satu tahun tidak berjumpa cukup membuatnya tersiksa. Namun, dengan kondisi mereka yang sudah tidak berkomunikasi selama dua minggu terakhir membuat keduanya tidak bisa bergerak bebas meluapkan kerinduannya. Dan disebelahnya, Wonwoo hanya bisa membalas senyuman sopan. Mingyu membawa mereka berjalan, langsung ke arah rumah Wonwoo, sekalian mengantarkannya pulang. Sebelum benar-benar ia antar ke depan rumahnya, Mingyu menghentikan mobilnya di taman area sekitar rumah Wonwoo. Mereka berdua tahu, bahwa ada yang harus dibicarakan. Ketika basa-basi sudah mereka lakukan sepanjang perjalanan tadi - menanyakan kabar konseling Wonwoo, menceritakan kondisi bayi Chae yang tidak menarik bagi Wonwoo, mendengar progress penulisan buku anak - maka sekarang saatnya mereka membicarakan isi hati mereka. "Kamu mau kita begini sampe kapan, Won?", kata Mingyu mempertanyakan hubungan mereka yang rasanya seperti tidak ada kelanjutan. "Gyu, aku ga liat kita bisa kemana-mana. Selama kamu masih terjebak sama situasi kamu disana. Aku ga akan bisa menang", kata Wonwoo. "Won, aku punya pilihan apa?", Mingyu bertanya tanpa harapan. Wonwoo hanya terdiam. Karena bagi dia, tidak ada pilihan yang bisa dilakukan oleh Mingyu kecuali ia kembali ke Jakarta, kembali menghabiskan keseharian mereka bersama tanpa terpaut ribuan kilometer jarak dan dua jam perbedaan waktu. Namun Wonwoo tidak ingin menghancurkan karir Mingyu disana yang sudah berjalan setengahnya hanya untuk kebutuhan egonya. "Kata kamu, kamu gamau aku resign karena kamu, demi kamu?", ucap Mingyu tanpa menatap Wonwoo. Wonwoo pun tidak memberikan respon apapun, masih siaga untuk mendengarkan kalimat selanjutnya. "Kalo bukan kamu, aku ga punya alasan apapun untuk nyerah di tengah jalan. Tinggal kamu yang aku punya, Won. Udah setengah jalan juga buat aku megang karir ini. Kalau aku harus nyerah, mending aku nyerah dari awal. Seenggaknya kalo dari awal aku ga ambil kesempatan ini, aku bisa nikahin kamu, dan kita ga akan ada di posisi sekarang. Kita udah bahagia bareng-bareng, ga ada Wonwoo yang minta waktu buat sendiri dulu dan ga ada Mingyu yang ngecewain Wonwoo", jelas Mingyu. "Mingyu..", ucap Wonwoo pelan hampir seperti berbisik. "LDR ini lebih berat daripada yang aku bayangin. Karena aku ga pernah kebayang harus ngalah sama wanita yang bukan siapa-siapa kamu. Harus ngalah sama wanita yang bahkan kamu ga punya perasaan sama dia. Aku kadang mikir, kayanya kalo posisinya kamu selingkuhin aku sama Chae akan lebih mudah buat aku lepasin kamu" "Wonwoo..", Mingyu memotong, berusaha menghentikan omongan Wonwoo yang tidak ia sukai arah pembicaraannya. "Kalau situasinya kaya gini, aku bisa apa, Gyu? Aku tau kamu ga sayang sama Chae, tapi kamu segitu attach-nya sama urusan mereka. Dan yang kamu lebih paham lagi, aku harus rebutan kamu sama seorang anak bayi. Bagi aku ini semua terlalu nguras energi aku, Gyu. Aku ga nyaman" Mingyu menyenderkan kepalanya ke setir mobil, sambil mengusap-usap wajahnya, ia merasa sangat frustasi. Ia paham arah obrolan ini. Ia familiar dengan Wonwoo versi ini. Wonwoo yang tidak akan bisa ia bujuk, dengan apapun hal yang ia coba tawarkan. Dan ia belum siap untuk ini semua berakhir. Tentu saja Mingyu tidak akan pernah siap. Mau untuk apa hidup ini ia jalani kalau bukan untuk Wonwoo. Apapun yang ia lakukan selama ini selalu ia fokuskan untuk nantinya hidup bersama laki-laki yang ia cintai itu. "Aku ga nyaman harus nunggu chat kamu yang lama dan sambil mikir macem-macem. Sambil mikir disana mereka bisa dapet perhatian kamu secara utuh. Sedangkan aku disini, segimanapun aku butuh kamu, dan sekuat apapun kamu mau bantu aku, kamu ga akan bisa" "Kata kamu dua tahun sebentar, Won. Kamu sendiri yang yakinin aku kalo ini ga akan lama. Kalo kita bisa ngelewatinnya", bantah Mingyu. "Aku manusia biasa, Gyu. Aku cuma bisa kira-kira dan berusaha. Tapi sampai hari ini pun aku tau kalo aku ga akan menang kan lawan bayi itu?", suara Wonwoo mulai bergetar. Sangat terasa bahwa ia saat ini sedang menahan tangisnya. Namun disebelahnya, Mingyu sudah lebih dulu terisak. Punggungnya sudah tidak bisa ia tahan untuk tidak bergetar karena isak tangisnya. Mereka berdua sama-sama terdiam. Memberikan masing-masing waktu untuk mencerna situasi mereka dan perkataan satu sama lain. Perlahan Mingyu mengangkat kembali kepalanya yang sedari tadi ia senderkan di setir mobilnya. Mengusap wajahnya yang sudah kusut dan basah akibat air mata. Ia mendongakkan kepalanya, menarik nafas yang sangat dalam, lalu menunduk sambil memainkan kuku-kuku di jemarinya. "Pikiran aku berantakan, Won..", kata Mingyu masih dengan tangis yang coba ia tahan. "Aku disana nyoba buat benerin kepala aku, mencerna emosi aku yang aku sendiri gatau kenapa. Dan kerepotan yang Chae dan Songkang bawa ke rumah kami disana bikin aku seenggaknya bisa lupa sama kekacauan aku sendiri. Yang aku sadarin sekarang, lewat marahnya kamu, bahwa itu ternyata racun buat aku", Mingyu menghela nafas sejenak. Sebelum akhirnya mencoba melanjutkan apa yang ingin ia sampaikan. "Tapi ga gampang juga buat aku minta tolong sama kamu yang jauh. Aku ga bisa nyusun perkara isi pikiran aku, gimana aku bisa jelasin ke kamu?" "Terus fungsi aku apa dong, Gyu, sebagai pasangan kamu?" "Won, aku harus bilang berapa kali kalo aku ga punya siapa-siapa selain kamu?" "Tapi gimana kita bisa terus lanjut kalo yang kamu bagi ke aku cuma yang baik-baiknya aja? Kalo kamu ga bisa bagi ke aku semua yang bikin kamu berat?" "PIKIRAN AKU BERANTAKAN, WONWOO!", Wonwoo terhentak, kaget akan bentakan Mingyu dan langsung menatap Mingyu dengan heran. Mingyu disebelahnya kembali menutupi wajahnya dengan telapak tangannya yang gemetar hebat, menahan tangis agar tidak mengalir semakin deras. Wonwoo masih menatapnya heran, menanti penjelasan akan emosinya yang tiba-tiba meluap. "Aku ga harap kamu bisa paham, Won. Tapi dari kamu batalin nabda, Mama jatoh, Mama meninggal, kita ga jadi nikah, aku harus ke Korea, semua kejadian itu kaya ngeroyokin aku dan aku ga dikasih waktu untuk mencerna semua emosi itu. Dan pas disana aku sendirian, aku mulai ngerasain semuanya satu-satu tapi aku ga sadar. Aku cuma ngerasa aku ga baik-baik aja dan aku pikir aku cuma kangen kamu. Ternyata lebih dari itu", Mingyu menarik nafasnya setelah menjelaskan isi pikirannya dalam satu tarikan nafas. "Dan sekarang semuanya udah terlanjur berantakan, aku bener-bener gatau beresinnya gimana" Mingyu terdiam, memberikan waktu bagi Wonwoo untuk meresponnya. Dan Wonwoo mencerna dengan apa yang baru saja Mingyu katakan dan jelaskan. Dan sungguh, saat ini keduanya sedang tidak baik-baik saja untuk memutuskan apapun. "Gyu, baiknya kita sendiri-sendiri dulu ya?", akhirnya Wonwoo bersuara. "Wonwoo, please dong jangan siksa aku kaya gini?", kata Mingyu yang akhirnya menatap Wonwoo, memelas dan mengharap Wonwoo menarik kembali ucapannya. "Kamu pikir aku disini ga tersiksa, Gyu? Dan sekarang aku tau kamu sekacau itu tapi aku disini udah terlanjur kacau duluan. Aku ga bisa bantuin kamu dengan semua kekacauan kamu. Kamu disana juga punya urusan-urusan yang kamu perlu lurusin sendiri, yang jelas-jelas ga ada energi tersisa buat ngerespon kesulitan aku disini. Apa bakal berhasil hubungan kaya gini, Gyu? Yang kita bahkan ga bisa ada buat satu sama lain?" "Solusinya bukan sendiri-sendiri lah, Won" "Terus apa?", tantang Wonwoo. "Apa? Kamu punya solusi lain ga?" Dan Mingyu hanya terdiam. Dan mereka kembali terdiam. Dengan kini suara isak tangis Wonwoo yang terdengar jelas menggema di mobil Mingyu. "Kalo aku biarin kamu sendiri, kamu bisa lebih tenang, Won?" "Yang aku tau, itu yang aku butuhin saat ini" "Berapa lama?" "Aku gatau" "Sakitnya kaya waktu kamu mau batalin Nabda, Won. Tapi kali ini aku ga bisa nahan kamu lagi" Wonwoo terdiam, mencoba mengontrol isak tangisnya agar tidak ia keluarkan semua. Ia punya waktu banyak nanti untuk meluapkan semua perasaannya. Tapi untuk saat ini, setidaknya ia harus terlihat yakin agar Mingyu mau menuruti permohonannya. "Aku cuma mau kamu tau, Won. Aku lanjut ke Korea bukan karena aku pilih mereka. Aku lanjut ke Korea karena aku mau nyelesaiin apa yang aku tunda buat nikahin kamu kemaren, dan aku akan balik buat ngelanjutin rencana aku. Kecuali kamu udah nemuin kebahagiaan kamu tanpa aku" Wonwoo tidak merespon Mingyu, ia hanya bersiap untuk keluar dari mobil Mingyu. "Dan maaf aku tadi udah bentak kamu", kata Mingyu. "Bye, Gyu. Have a safe flight" Dan Mingyu hanya bisa menyaksikan punggung Wonwoo yang bergerak semakin jauh dari pandangannya. Dan ketika Wonwoo merasa sudah cukup jauh dari letak mobil Mingyu, ia berjalan ke arah pohon di dekatnya, menyenderkan tangannya agar bisa menopang dirinya yang sudah tidak sanggup berdiri. Tubuhnya perlahan semakin merendah karena tubuhnya yang sudah tidak kuat untuk berdiri, ia berjongkok untuk meluapkan seluruh tangisnya, memaki hidupnya yang kacau untuk saat ini. When half of me is gone How can I live as one??