write.as

Kediaman Keluarga Bae. Wendy membunyikan bel sambil membawa sebuah tupperware biru di tangannya. Dingdong! Pintu dibuka dari dalam dan wajah Eyang Bae pun muncul dari balik pintu. "Selamat sore, Eyang." "Sore. Wanda ya?" "Wendy, Eyang," ucap Wendy dengan sopan, "Saya cuma mengantarkan nasi goreng buatan mami saya." "Oh." Eyang Bae tertegun sejenak sebelum tersenyum lebar. Jika dilihat sekilas, senyumnya mirip seperti Irene. "Sini, masuk dulu," ucap Eyang Bae dengan mata berbinar. "Oh, tidak usah, Eyang. Saya cuma mampir sebentar," tolak Wendy dengan sopan sembari menyerahkan tupperware biru dan sekantong plastik hitam di atasnya. "Ini apa?" tanya Eyang. "Salep pereda bengkak untuk Irene." Eyang Bae tertegun kembali. 'Perhatian juga ini anak', batinnya. "Kamu kasih saja langsung ke Irene, dia di kamarnya." "Ngg, saya titip Eyang saja," tolak Wendy. Ya kali diminta masuk ke kamar anak gadis. Terlebih lagi, status mereka hanya teman biasa. "Sudah, ndak usah malu-malu. Paling dia lagi main game," ucap Eyang sambim menarik tangan Wendy. "Eyang mau makan dulu. Kamu langsung antar saja ke kamarnya. Pintu warna ungu." 'Aduh, kenapa susah banget nolak keluarga ini!' keluh Wendy dalam hati. ** Lantai 2 'Kamar dengan pintu warna ungu," batin Wendy sambil menghela napas sebelum mengetuk pintu. Toktok! "Siapa? Aku sibuk!" balas Irene dari dalam. "Ini Wendy. Ya sudah aku taruh salepnya di depan pintu km." Beberapa saat kemudian, terdengar suara gedebuk dari dalam sebelum pintu dengan cepat dibuka. "W-wendy? Kok kamu sudah sampai?? Katanya jam 2! Kan aku belum siap!" Wendy menatap Irene dengan pandangan ganjil. "Kaos kamu kebalik tuh," ucapnya. "OMG! Tunggu, jangan pergi! Aku benerin dulu!" "Eh? Aku cuma mau kasi ..." BAM! Pintu pun segera ditutup pintu kembali. ** Irene duduk di atas kasur sambil memejamkan mata. "Udah belum?" "Belum." ... ... "Udah?" "Belum! Ih cerewet banget, nih kamu pakai sendiri!" seru Wendy sambil menyodorkan salep yang susah payah ia buka ke tangan Irene. Awalnya dia ingin segera pergi, tapi Irene menyeret dia ke dalam kamar dan minta tolong dioleskan salep. Irene cemberut dan menggelengkan kepalanya. "Kalau mau berbuat baik jangan setengah-setengah dong." "Ya kamu diem, nanya mulu," gerutu Wendy dan mengoleskan secuil salep di jarinya. Kemudian, jari telunjuknya menyentuh pipi Irene yang masih bengkak dan perlahan bergerak untuk mengoleskan salep dengan rata. "Umm" Wendy yang awalnya fokus mengoleskan salep pun melirik Irene, "Kenapa kamu monyongin bibir? Mau disalepin juga itu bibir??" Pipi Irene memerah. "Ng-ngga sih." 'Aduh, malu. Ga sadar minta cium' keluhnya dalam hati. Wendy segera merapikan bungkus salep dan bangkit dari kasur. "Salepnya dipakai 2x sehari," ucapnya. "Udah ya, aku harus jemput Winter." "W-Wendy tunggu!" "Hmm?" Irene berjalan ke sisi Wendy sembari menggigit bibirnya dengan ragu. "Aku cuma mau bilang, aku serius sama kamu. Jadi, jangan ragu sama aku ya?" "..." "Aku harap kamu masih mau kasih aku kesempatan buat deketin kamu. Aku beneran suka sama kamu, Wen." Wendy menarik napas dalam-dalam dan menatap wajah Irene yang kelihatan pucat seperti sedang menahan boker. "Ya." Dia menepuk kepala Irene dengan lembut sebelum melangkah pergi. **