write.as

“Piii ... ni awo ni awo ni awo!” jerit Petir sambil berlari menghampiri Jiva yang baru saja menyapa dan mempersilahkan Japa duduk.

“Mau ni awo ni awo!!!” Petir menyerahkan ponselnya ke Jiva untuk membantu memutar video di Youtube lagu ice cream Mixue. Video yang akhir-akhir ini Petir minati.

“Hhm...” Jiva pun membatu membuka aplikasi Youtube dan mencari video tersebut, lalu menyerahkan ponselnya kembali ke Petir.

Dengan senang hati Petir menerima ponselnya, mengikuti lagu tersebut dengan suara cedalnya. Berdiri dan bersandar ke kaki Jiva, tidak memperlihat sekelilingnya jika di samping papinya ada tamu yakni ayah kandungnya.

Sudut pandang Jiva melihat Japa yang terlihat lelah, kurang tidur, pucat, kini sedang menatap pria kecilnya, Petir. Jiva yang kini tidak dalam kondisi terkejut seperti malam lalu saat pertemuannya kembali dengan Japa, ia hanya sedikit mengangkat sudut bibirnya dan berkata dalam hati, “Ke sambar petir lo datang ke sini?” kata yang akan ia ucapkan jika seandainya hubungan keduanya baik-baik saja.

Namun Jiva tak ingin berlama-lama berdiam karena sampai detik ini Japa hanya diam menatap Petir.

“Ada apa, Pa?” tanya Jiva menanyakan kedatangannya. Bukan pertanyaan seputar kabar beberapa tahun ini, meminta penjelasan, maupun permintaan maaf sudah pergi tanpa kabar dan menyembunyikan kehamilannya. Bahkan nanda bicara Jiva terkesan santai, tidak ada emosi ataupun kesedihan. Seperti layaknya teman baik.

“Namanya Petir ......”

Ucapan Japa terhalang dengan ocehan Petir yang tiba-tiba kembali bernyanyi.

“Ni awo ni wooo ... Woooo es klim es klim....”

“Mm, namanya Petir. Dek, ayo kenalan dulu, main handphone-nya nanti lagi....”

“Ndak mau ndak mau .... Ni awo ni wooo ci ci ci ci ...”

“Duh...” Jiva memijat pelan pelipisnya, pasrah.

Petir tetap akan mengganggu obrolannya dengan Japa karena ia tipe tetap akan menyanyi dengan jeritannya jika sesuatu yang disukai berada di hadapannya. Bahkan sebentar lagi akan banyak mengajak bicara mengenai ice cream yang ia tonton. Petir akan kesal juga jika papinya tidak menanggapi perkataannya.

“Japa, kayaknya kalo lo mau tanya-jawab hal penting bakalan ke ganggu sama Petir deh. Anaknya emang kayak gini kalo lagi aktif-aktifnya,” jelas Jiva.

“Pi, ini es klim jeluk, stobeli, dingin hiiii.....”

“Enggak ganggu kok. Va, gue ....”

“Piiiiii.....”

“Iya itu ice cream rasa jeruk sama stroberi. Ice cream-nya dingin sekali ...”

“Ckk....” Japa terkekeh pelan melihat tingkah lucu Petir yang tidak ingin diabaikan Jiva.

“Japa, gue nggak mau basa-basi. Gue denger dari Moran kalo lo udah tau tentang Petir sama kepergian gue. Lo juga harus balik besok, kan? Gue nggak tau apa yang lo pikirin, tapi gue di sini nggak bakalan melarang lo buat ketemu Petir. Tapi kalo lo nggak mau ketemu ataupun terlibat status dengan Petir, kasih tau gue, ya?”

“Papi, Papi, ini piano? Papiiiiiii....”

“Iya, sayang, itu piano ....”

“Wwaaaa ni awo ni awo indah sekaliii...”

“Ckkk, Petir lucu,” sahut Japa. “Mm, besok gue harus balik karena ada pertemuan dadakan. Minggu depan gue balik ke sini buat ketemu Petir. Va, gue ke sini memang mau bilang apa boleh kenal lebih dekat sama Petir?”

“Iya boleh. Nggak usah ke sini. Lo udah ke sini, dan gue yakin orangtua lo tau ini kan? Bakalan nggak sopan lagi kalo gue diam aja nggak nyapa. Minggu depan gue ke sana buat minta maaf sama orangtua lo karena kepergian gue yang nggak bilang-bilang.”

“Sendiri?”

“Nggak mungkin gue pergi sendiri tanpa Petir. Nanti gue ajak mbaknya aja, biar Petir sama mbak kalo gue ketemu orangtua lo.”

“Petir dibawa aja boleh? Mama sama ayah tau kalo mereka udah punya cucu.”

Jiva terdiam sejenak. Terkejut apa yang baru saja Japa katakan, dan hanya menanggapi dengan, “Ohh, oke....”

“Petir mau jalan-jalan nggak?” ucapan pertama yang Japa katakan kepada Petir.

“Dek, main handphone-nya nanti lagi, oke? Mau ice cream nggak? Nanti beli ice cream, tapi ayo kenalan dulu.” Jiva mengambil alih ponsel dari genggaman tangan Petir.

Petir yang mendapat tawaran ice cream pun memancarkan kebahagiaanny, dengan cepat mengulurkan tangannya menjabat tangan Japa dan berkata dengan suara cedalnya, “Petil, Om....”

“Barkha Petir Okeanos,” jelas Jiva membenarkan namanya.

Japa maupun Jiva sama-sama terkejut oleh panggilan ‘om’ yang dilontarkan Petir. Japa yang berpikir memang baru ditemui mungkin ‘om’ sapaan yang kerap Petir sebut. Sementara Jiva sedari tadi bingung ingin mengenalkan Japa sebagai siapa karena belum ada pembicaraan lebih lanjut.

Pertemuan pertamanya tidak ada yang mendalam. Mereka bertiga hanya jalan-jalan di sekitar rumah untuk membeli ice cream dan makan siang. Obrolan mereka juga tidak banyak karena kegirangan Petir yang sedang menyantap ice cream dan kembali mengoceh bernyanyi lagu mixue.

[]