write.as

Suara bel apartemen Mingyu menggema di lorong dimana Wonwoo lagi berdiri sekarang. Suaranya mirip bel pulang sekolah waktu Wonwoo masih SD. Wonwoo inget ngerasa excited dan heboh sendiri karena pingin cepet-cepet nonton Pedro di serial Amigos tapi perutnya juga mules karena di tas spiderman warna merah yang udah bocel-bocel itu ada kertas ulangan bahasa Indonesia yang nilainya jeblok. Kalau disuruh mendeskripsikan perasaannya sekarang, mungkin Wonwoo akan bilang seperti itu. Tapi nggak ada yang nyuruh dan Wonwoo terpaksa gelut sama pikirannya sendiri. Wonwoo cuma sendirian di lorong itu tapi dia nggak betah buat nggak lirik kanan kiri kayak maling. Serius, wonwoo bakal balik badan kalau Mingyu nggak buka pintunya sekarang! Pintu di depannya terbuka and there he goes the devil himself. Tinggi, ganteng, dan nyengir nunjukkin gigi taring yang nggak pernah gagal bikin Wonwoo adem panas. “Hai.” “Hai,” balas Wonwoo kaku sambil ngangkat satu tangannya. Iya, karena Wonwoo bego dan masih korslet. “Yuk masuk.” Mingyu menarik tangan Wonwoo dan nuntun tamunya itu ke dalam apartemen. Tangan Mingyu yang besar kerasa berat di pinggang Wonwoo yang ramping. Melewati kabinet, pintu-pintu, meja makan, dan terakhir, ruang berisi sofa empuk dan TV dimana transaksi sepertinya bakalan terjadi malam ini. Wonwoo nelen ludah kasar. Mingyu yang merhatiin ini tersenyum menenangkan. “Nggak ada yang maksa lo ada disini, Kak. Lo bisa mundur kapan aja. Lo tau kan?” Masih meremas-remas tangannya, Wonwoo memandang cowok yang lebih tinggi darinya itu dan dan maksain senyum, yang hasilnya kayak orang foto KTP. Kaku. “No, gue mau kok. Cuma nervous aja.” “Kalo gitu, gimana kalo ciuman dulu? Biar lo nggak canggung.” Ide bagus. Wonwoo mengangguk, maka Mingyu merengkuh pinggang cowok yang lebih kecil itu dan melumat bibirnya. Ciuman tanpa gesa yang berhasil menenangkan Wonwoo. Mendesah lirih, jarinya ada di rambut pendek Mingyu, meremas pelan, sementara lengan Mingyu yang kokoh makin ketat di pinggangnya. Sampai wonwoo lah yang pertama mengakhiri ciuman mereka. “Did it work?” tanya Mingyu, matanya nggak lepas dari bibir Wonwoo yang sekarang merah. Wonwoo mengangguk singkat, masih terengah. “Oke. Sebelum kita mulai. Jadi bakal ada saat dimana gue bakal nyuruh lo macem-macem. Nothing too extreme. Kalo lo nggak nyaman, tinggal bilang aja. Paham?” Wonwoo narik nafas panjang. “Oke, Mingyu.” “Good. Sebagai permulaan, lo bisa mulai dengan ngelepas celana lo. Semuanya. Gue tunggu disana,” Mingyu nunjuk sofa besar empuk yang keliatan nyaman itu dan duduk disana. Tinggallah Wonwoo yang lagi memulai pertunjukkan solo di depan penonton tunggalnya. Mingyu nyandar di punggung sofa, keliatan super besar dan sangar buat Wonwoo yang kakinya sekarang polosan. “No,” Wonwoo mendongak dari kesibukannya ngelepas kaos kaki putihnya, memiringkan kepala seolah bertanya. “Leave the socks on.” Oh. Wonwoo, setengah telanjang, menarik-narik ujung sweater yang berhenti di pangkal pahanya. Mencoba nutupin miliknya yang mulai keras. Tanda bahwa dia diam-diam juga excited sama permainan yang dimulai cowok itu. Matanya beredar liar kemanapun kecuali ke arah Mingyu yang lagi ngawasin dia kayak predator. Canggung. Rasanya lama banget sampai akhirnya Mingyu memecah keheningan. “Sini,” Mingyu menekuk dua jari dan melambai agar Wonwoo jalan ke arahnya. Kayak anak kucing, Wonwoo cuma bisa nurut. Mingyu menarik tangan Wonwoo dan menggiring tubuh itu agar duduk di pangkuannya. Lampu padam. Sumber cahaya hanya berasal dari TV yang lagi mutar film yang Wonwoo nggak tahu menahu judulnya dan Mingyu yang juga nggak repot-repot cerita. Mingyu keliatan fokus ke jalan cerita film jadi Wonwoo mencoba hal serupa. Tekankan di kata mencoba karena dengan tangan Mingyu yang mulai jalan-jalan ke paha polos Wonwoo ditambah punya Mingyu yang mulai terasa keras di pinggul Wonwoo...intinya susah. “Cuma duduk nemenin gue nonton film kan, kak? Nggak susah kan.” Mingyu berbisik di telinga Wonwoo. Tangannya sekarang di paha bagian dalam Wonwoo, meraba-raba, lalu tanpa aba-aba kaki Wonwoo dibuka lebar dan diangkat ke kedua sisi paha Mingyu yang terbuka. “Ah!” Duduk diem nemenin bulshit. “Anjing… lo tuh bersih banget ya kak, mulus. Persis yang gue bayangin. Sebelum kesini lo siap-siap buat gue ya?" “Iya Mingyu. Khusus buat lo.” Tapi bohong, Wonwoo emang suka aja jaga kebersihan. Apalagi area kaki sama yang dibawah sana. Ada snack, botol bir, Parliament, kondom dan lube di meja depan Wonwoo. Mingyu ngambil yang terakhir, membasahi dan mulai menjari di lubang Wonwoo yang diumbar kayak lukisan di pameran. Satu jari masuk di lubangnya yang nggak siap. Wonwoo merintih dan ngelempar kepalanya ke belakang, nabrak kepala Mingyu yang mulutnya sekarang menjajah leher Wonwoo yang terekspos. Satu dua tiga jari dan Wonwoo cuma tinggal remahan snack di meja Mingyu alias berantakan. Mingyu narik sweater Wonwoo ke atas dan memilin pucuk dadanya yang mengeras, seirama dengan tusukan tiga jari Mingyu yang kian cepat dan cepat. Punggung Wonwoo merosot di dada Mingyu. Kakinya gemetaran demi mempertahankan posisinya yang terbuka. Sementara milik Wonwoo terabaikan di perutnya, keras sempurna dan mulai keluar precum. “Nghh Mingyu…,” rengekan vulgar lolos dari bibir Wonwoo waktu Mingyu mencubit keras putingnya. “Lo tuh…berisik ya. Gue kan jadi nggak fokus nonton filmnya. Gimana kalo lo dibawah aja?” Tanpa disuruh, Wonwoo merosot dan menurunkan celana Mingyu. Wonwoo butuh sesuatu…apa aja untuk mulutnya yang gatal karena jari Mingyu rasanya nggak cukup. Punya Mingyu besar. Besar dan terasa berat di mulutnya dan Wonwoo suka. Satu tangan Wonwoo bergantian dari lubangnya sendiri lalu mengocok miliknya kemudian balik lagi. Sementara tangan satunya lagi sibuk mengocok milik Mingyu yang nggak sanggup dia masukin semua di mulut… Di tengah-tengah kerja keras Wonwoo menjejalkan seluruh kepunyaan Mingyu ke mulutnya, yang berakhir dengan bencana karena Wonwoo langsung mual, Mingyu hilir-mudik menyisir rambut Wonwoo. “Masih oke?” Wonwoo cuma bisa mengangguk karena mulutnya penuh. Manis. Wonwoo pikir sangat manis gimana perlakuan Mingyu padanya yang memastikan kalau Wonwoo masih nyaman dengan apa yang mereka lakukan sampai saat ini. Mingyu mendesis keras di atasnya, pertanda bagi Wonwoo buat ngelepas kulumannya. Wonwoo mengawasi Mingyu yang mengawasinya balik, roman mukanya merah, berkeringat. Matanya sayu. Wonwoo nggak tau mana yang lebih indah: wajah Mingyu yang mengerut waktu orgasme atau cairan putih yang sekarang ngalir berantakan di tangan Mingyu. ‘Lo udah keluar?” suara Mingyu terdengar di sela-sela deru nafasnya. Wonwoo cuma ngangguk nggak peduli, matanya terpusat pada milik Mingyu yang masih melepaskan muatannya. Wonwoo milih mendengarkan suara hatinya jadi ia menjilat-jilat sedikit yang jatuh di paha Mingyu. Mingyu misuh-misuh. “Next time lo harus telen semuanya, oke?” Mingyu mengelus rambut Wonwoo yang basah karena keringat. Wonwoo kayaknya rela nelen batu asalkan Mingyu yang nyuruh. Setelah bersih-bersih, mereka lanjut nonton film. Jagoan Mingyu tewas dan seisi kebun binatang keluar lagi tapi kali ini Wonwoo nyium bibir kotor yang hobi misuh itu dan Mingyu langsung diem. Sekitar tengah malam, Wonwoo yang akhirnya ketiduran di paha Mingyu rasanya denger ada suara mendesak yang manggil-manggil namanya. Wonwoo terbangun dan yang dia lihat pertama adalah wajah Mingyu diatasnya. Mengucek-ucek matanya, Wonwoo berbisik parau. “Mingyu?” “Boleh buka kaki lo sebentar? Sorry tapi gue udah nggak tahan.” Mingyu membuka kakinya untuk kali kedua malam itu. Wonwoo, masih mengantuk, ingat merasakan sensasi dingin di bagian bawah tubuhnya dan tersentak sedikit. Mingyu menggumam maaf tapi Wonwoo masih belum sadar betul. Selanjutnya ada suara plastik dirobek dan kemudian punya Mingyu yang nusuk lubangnya. “Ahh…!” “Ssh ssh. Just lay back and take it.” Wonwoo nggak tau apa-apa lagi kecuali berat tubuh Mingyu diatasnya. Tubuhnya nyaris ditekuk jadi dua. Kakinya di bahu Minpgyu. Wajah Mingyu sembunyi di ceruk lehernya, masih menggumam kalimat asing buat Wonwoo. Tangannya lembek di sisi sofa, tak berdaya. Lalu ada rasa nyeri hebat di antara kedua kakinya yang cepat digantikan dengan nikmat ketika milik Mingyu menumbuk prostatnya berkali-kali. Kalau ini mimpi, sumpah Wonwoo nggak mau bangun lagi. Antara lelap dan sadar, Wonwoo mendengar isak tertahan. Bukan dari mulutnya yang sesekali mendesah. Bukan. Wonwoo yakin suaranya datang dari atas dan terdengar sangat putus asa. “finally, finally…” Kasihan, Wonwoo harap itu bukan Mingyu. Ah, tapi tau apa sih Wonwoo? dia kan lagi mimpi. Tapi kalau memang iya, sepertinya bukan cuma Wonwoo saja yang nervous malam ini.