맠동

Red String.


Itu adalah awal musim dingin.

Di menit-menit terakhir keputus-asaan seorang Mark, ia melihat gumpalan asap di tangan kirinya semakin menebal. Untaian benang merah di jari kelingkingnya memanjang mengikuti satu arah.

Mark diserang panik mendadak. Detak jantungnya berdetak cepat, seolah akan meledak saat itu juga. Dan ketika dia merasa benang merahnya tertarik, mau tidak mau, Mark mengangkat kepalanya.

Seorang pemuda berdiri diam tidak jauh darinya. Mata bertemu Mata. Di dalam situasi ini, Mark mengagumi mata indah dari sosok tersebut. Kemudian ia melirik pergelangan tangan kiri pemuda itu. Gumpalan asap putih juga ada di sana.

Dan benang merah merekaㅡmenyatu.

Tatapan itu serta merta menyihir Mark. Seakan-akan siap mengambil alih seluruh dunianya. Mark merasa tercekik oleh atmosfer yang sungguh meresahkan hati. Rasanya juga sesak sekali.

Dia adalah Lee Haechan. Pemuda manis yang beberapa hari terakhir sering ia perhatikan sebab eksistensinya yang selalu ada di sekitar Mark.

Dia adalah Lee Haechan, belahan jiwa Mark.

My Heart

“Kita kedatangan tetangga baru,”

“Sudah tau.”

“Bunda bilang, anaknya seumuran sama kamu, loh.”

“Sudah tau juga, dari Mama.”

Mark berhenti mendribel bola. Ia berdiri di tengah lapangan basket yang khusus di buat oleh Ayahnya itu dengan napas yang sedikit tersengal. Haechan duduk di pinggir lapangan, dengan kaki terlipat dan tatapan yang fokus pada iPadnya. Menghiraukan Mark yang sedari tadi mengajaknya untuk mengobrol.

“Kamu lagi buat apaan sih? Serius sekali.”

Ketika Mark mulai berjalan ke pinggir lapangan, Haechan sontak menutup iPadnya. Mark mengerutkan kening, padahal ia baru berjalan beberapa langkah. Apa yang sedang Haechan buat di iPad kesayangannya itu sampai-sampai Mark tidak boleh melihatnya?

“Kakak nggak boleh tau apa yang kamu buat?”

“Nggak boleh.”

“Kenapa?”

“Karena ini rahasia Haechan dan coco saja.”

coco itu adalah nama iPad miliknya.

Mark hanya bisa tertawa gemas sembari mengusak rambut Haechan. Dan yang diperlakukan seperti itu hanya bisa mendengus malas.

Kini Mark duduk tepat di sebelah Haechan. Bola basket yang ia dribel ke sana kemari tergeletak begitu saja di tengah lapangan. Embusan angin sore yang terasa dingin, membuat keringat di badannya perlahan mengering. Aroma pepohonan, tanah lembab, dan wangi bayi dari pemuda di sampingnya, adalah perpaduan yang menenangkan hati. Mark menyukai semua itu, terlebih apa yang ada pada Haechan.

“Kak, mendung.”

Mark menengadah. Benar saja, langit di atas sana telah berubah menjadi abu-abu. Pantas saja embusan angin sedikit lebih dingin dari biasanya.

“Mau pulang sekarang?” Tanya Mark. Tidak yakin, tetapi ia tetap bertanya.

Ada sedikit kesedihan yang terpancar dari raut wajah si manis. Mark menangkapnya dengan jelas.

Mendung membawa sendu.

Mark tau, Haechan masih ingin di luar. Ia belum ingin pulang sebab dirinya masih enggan, pun hatinya. Peran Mark saat ini, sebagai seorang kakak dan sahabat adalah membawa Haechan keluar dari kubangan rasa sedih itu.

“Mau bermain hujan bersama?”

Mark menawarkan tanpa rasa ragu.

“Kakak serius?” Haechan menatap Mark dengan keraguan.

“Kenapa enggak? Lagian, udah lama semenjak terakhir kali kita mandi hujan bersama. Sepuluh tahun yang lalu? Apa sembilan? Huh kakak lupa.”

Haechan menggigit bibir bawahnya. Masih ragu dengan ajakan Mark.

“Mama bakalan marah kalau aku pulang basah-basah...”

“Tidak masalah, kamu bisa mengganti baju di rumah kakak. Ada beberapa baju kamu tuh di lemari kakak, belum kamu ambil. Gimana?”

Haechan menyetujui pada akhirnya. Sebelum hujan benar-benar turun, mereka naik ke atas rumah pohon (yang juga dibuat khusus oleh Ayah Mark). Rumah pohon itu, walau tidak besar, tetapi cukup untuk menampung empat orang dan melindungi mereka dari hujan.

Haechan menyimpan iPadnya dan Mark meletakkan bola basketnya di sana, lalu setelahnya turun kembali.

Sore itu, mereka habiskan dengan bermain bersama di bawah guyuran air hujan yang lebat. Memanggil memori-memori masa kecil mereka yang pernah tercipta, di tempat yang sama.

Mereka tertawa, berlari ke sana kemari, melepas segala sendu yang menempel di hati.

Tanpa Mark sadari, bahwa air mata Haechan sempat mengalir, bersatu dengan air hujan yang membasahi wajahnya.