write.as

“here,” jinhyuk mengulurkan tangannya. sang dokter menggeleng mantap “coach, nggak perlu rep—” “saya nggak keberatan,” potong jinhyuk lembut, memperhatikan bagaimana kelopak mata milik pria di hadapannya itu membuka dan menutup begitu cepat—_fight or flight_. ini masih juga membuat hatinya sedikit mencelos: sebegitu mengancam, kah, keberadaannya di sekitar sang dokter? semakin lama, semakin ingin sekali rasanya menarik gurauan yang kelewatan itu di kali pertama jinhyuk berinteraksi dengannya. “saya justru senang kalau dokter mau dipakaikan liontinnya sama saya.” meskipun itu artinya membiarkan satu-satunya peninggalan mendiang suami begitu dekat dengan detak jantung dan urat nadi sang dokter, ya. terhitung sampai saat ini pun, jinhyuk masih belum tahu juga apakah ada ruang kosong untuknya di dalam sana. apakah _akan_ ada ruang untuknya di dalam sana. tapi bagian yang paling lucunya adalah, itu sama sekali tidak menghentikan jinhyuk melakukan hal yang sama kepada sang dokter tiap kali mereka sepakat untuk bertemu di atas sini: menawarkan sekotak kukis untuk dikudap sepanjang percakapan, kemudian memakaikan liontin yang hampir tidak pernah dikalunginya itu, untuk suatu alasan tertentu. tapi sang dokter tidak pernah menolak. pria itu terlihat penuh resolusi hanya di beberapa menit pertama, sebelum akhirnya menghembuskan napas panjang dan menaruh liontin itu di telapak tangan jinhyuk dalam gestur menyerah. dan untuk kemurahan hatinya itu—atas segala partisipasi sang dokter dalam merespon intensi hati orang yang berusaha mendekatinya itu—jinhyuk tidak pernah lebih bersyukur, seberapapun ini akan terdengar begitu menyedihkan di telinga orang normal. “tahu apa yang lebih menyeramkan dari hell’s gate, dok?” tanya jinhyuk, sambil melingkarkan tali liontin sang dokter di lehernya. melarikan tangannya dari relung hati sang dokter ke tengkuknya, sengaja berlama-lama di bagian ini. “hm?” “menyaksikan dua head convenors yang paling jarang bertengkar, siang ini _menyumpahi_ satu sama lain,” ada tawa canggung yang lolos di sini. “kalau dokter ada di sana, mungkin dokter bakal bergidik dengarnya. terlepas dari asal-muasal perdebatan, interaksi kayak begini betul-betul sesuatu yang enggak pernah saya sangka bakalan terjadi.” gumam. “salah satunya convenor seungwoo, coach?” “kok, tahu?” jinhyuk menaikkan sebelah alis. “saya,” mulai sang dokter, sengaja memberikan jeda di sini. mungkin caranya memberitahu jinhyuk kalau ia sedang berpikir, dan tidak ingin ucapannya terdengar kasar. “...memang kurang senang dengan attitude convenor seungwoo.” “convenor seungwoo orang baik,” giliran jinhyuk yang bergumam. diusapnya kulit tengkuk sang dokter perlahan dengan ibu jarinya, membuat tali liontinnya mengilap kembali. dia paling benci bagian ini—bagian dimana ia harus memberi sinyal kepada sang dokter kalau liontinnya sudah terpakaikan. bagian dimana ia harus memposisikan dirinya kembali ke jarak yang lebih appropriate. jinhyuk melipat tangannya di depan dada, sambil bersandar pada pembatas atap memunggungi pemandangan. “saya tahu beliau paranoid, tapi kalau ingat baku tembak di houston setahun yang lalu dan siapa yang terlibat di sana, saya mau tidak mau selalu maklum, dok.” sang dokter melipat tangannya di atas pembatas. berkebalikan dengannya, memandang jauh ke depan. “selalu?” tanyanya kecil. “selalu,” ulang jinhyuk. diliriknya pria di sampingnya itu lamat. “saya tahu dokter sudah sering dibikin repot convenor seungwoo karena ini. tapi saya harap dokter juga enggak jadi menganggap saya terlalu lembek karena—” “enggak sama sekali,” pria itu menggeleng. jinhyuk mendapati napasnya sendiri tercekat menunggu sang dokter melanjutkan kalimatnya. “saya... paham, bagaimana rasanya jadi convenor seungwoo. coach... enggak perlu berdalih apa-apa ke saya. saya paham.” pundaknya melemas perlahan. kepada sepatunya sendiri, jinhyuk tersenyum. “saya sejujurnya juga kurang paham, dok. gimana harus menyikapi orang-orang yang sebegitu kuatnya, mencinta. sampai terkadang keluar jalur seperti itu. kayak convenor seungwoo,” jawab jinhyuk lagi. kali ini, meringis malu. “mungkin karena saya... juga belum pernah kali, ya. jadi objek yang sebegitu kuatnya disayang...” tatkala ia menolehkan kepala untuk melihat reaksi sang dokter, jinhyuk menemukan dirinya sendiri terdiam, ringisannya lama-lama pudar. “it’s amazing, coach,” bisik pria itu, masih memandang ke depan. dari caranya tak henti-henti juga mengusap mata liontin di dadanya, jinhyuk paham betul ke mana kepala yang bersangkutan sedang berkelana sekarang—nun jauh ke belakang, barangkali ke dalam pelukan mendiang suaminya. sang dokter melirih lagi, “it’s... really amazing.” jinhyuk merunduk memandang sepatunya kembali. (betul-betul tidak ada ruang, ya?) “—ouch,” ia terlonjak. pergelangan tangannya tidak sengaja menyeret di atas kawat usang bagian dari rangka pembatas atap yang mencuat keluar. selekit di dada jinhyuk dari memperhatikan ekspresi sang dokter sekonyong-konyong tergantikan oleh perih darah yang meleleh keluar dari kulit tangan yang sobek, kemudian sambil mengibas-ngibas tangannya yang terluka, “walah, hati-hati dok, bahaya banget bisa kena yang kayak gini—” apapun itu usahanya mengamankan sang dokter dari kawat yang sama di sekitar mereka, mati begitu saja di udara manakala ada tangan yang jauh lebih hangat berusaha menghentikan pergerakan tangan jinhyuk di udara. dokter wooseok membawa pergelangan tangannya di antara mereka berdua, mengeluarkan sebungkus tisu basah dari dompet kain yang selalu dibawanya. “tahan sebentar, coach,” ujar sang dokter, sambil mulai membersihkan luka tersebut, begitu atentif, tanpa banyak bicara lagi. “takutnya infeksi...” ⠀ ⠀ ⠀ *kayak gw bisa melawan dunia pake tangan kosong coach* ⠀ ⠀ ⠀ ah. ⠀ jinhyuk membiarkan lengannya bergetar di bawah sentuhan yang bersangkutan. terdiam, memperhatikan. tidak berani angkat suara, sebab entah hal bodoh apalagi yang bakalan keluar dari mulutnya, yang ditantang oleh jantungnya yang juga sama-sama ingin keluar lewat tenggorokan, setiap kali sang dokter melakukan hal-hal yang di luar ekspektasinya. “you have no idea, dok,” bisik jinhyuk, sejauh mungkin menolehkan wajahnya menghindari tatapan sang dokter, “what you’re doing to me.” “coach tidak sadar,” pria yang tengah mengusap tisu basah di sekitar lukanya itu mengulum senyum kecil, menuding pada langit yang membentang di hadapan mereka berdua. “tapi di belakang coach, ada bintang baru saja jatuh.” jinhyuk justru menolehkan kepalanya ke arah yang berlawanan. “i don’t care,” bisiknya lagi. ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀