write.as

“oke, oke,” convenor seongwoo membetulkan posisi duduknya di sofa, sembari dia berhenti sebentar untuk menyesap gelas anggur di tangannya. “jadi begini, guys. jadi begini ceritanya—”

“ong, ngomong sekali lagi—”

“—lo diem lah, asu. jadi gua dan coach jaehwan lagi mampir di diner dekat S.T.A.R. Labs, kan? ini mampir sebentar, buat takeaway doang sebelum pulang. kebetulan,” belum apa-apa, otot wajah yang bersangkutan sudah mulai berkedut-kedut menahan tawa. tepat di sampingnya, perapian itu berdesis hangat. pria itu melanjutkan lagi, “kebetulan, deket kami duduk ada cewek sendirian. cakep lah, intinya, sama-sama lagi nunggu makan. biasa, lah, coach jaehwan ini, kayaknya iseng banget—”

“sikat, coach,” serobot coach jinhyuk, yang hanya dihadiahi semprotan sebatas gak usah ikut-ikutan lah, coach, dari sang kolega.

“—kemudian disamperin, lah, si cewek itu. diajak ngobrol, a la coach jaehwan, paham gak sih yang gua omongin? biasanya kalau coach jaehwan lagi dalam mode iseng,” convenor seongwoo meletakkan gelas anggurnya di meja dekat sofa. hendak menirukan gerak-gerik kolega di sebelahnya, dia pura-pura berdehem. sikunya bertengger di atas lengan sofa, memperagakan seseorang tengah meletakkan lengannya di atas meja konter diner. “sendirian aja, kayak gitu. sumpah, rugi kalian gak bisa membayangkan coach jaehwan kalau lagi iseng kayak apa, itu literally komedi banget.”

“paham, paham,” sahut pria yang duduk di samping sang convenor, menuding gelas anggurnya kepada oknum di cerita. “alisnya naik-turun, terus suaranya dibikin-bikin lebih berat gitu, kan.”

coach jaehwan berdecak sambil menggeleng, “wah, fitnah—”

lingkaran obrolan itu kecil, hangat, dan rapat—dan di sela-sela senda dan gurau keempatnya, wooseok menemukan celah untuk keluar dari ruang tamu. meskipun dia menikmati pemandangan orang-orang itu berkelakar seperti mereka bukan tiga dari enam suara tertinggi S.T.A.R. Labs, tetap saja ada sesuatu dari lingkaran itu yang membuat wooseok merasa ia tidak bisa terus-terusan mendengarkan masing-masing dari mereka bernostalgia. pipinya kebas, terlalu banyak memaksakan senyum atas sesuatu yang tidak dialaminya—mau dilihat dari sisi manapun juga, tempatnya memang bukan di sana.

maka begitulah cara wooseok mengendap, sesekali menoleh lewat bahu untuk memastikan tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari kepergiannya. barulah setelah itu, ia mulai menelusuri kediaman convenor seongwoo dan suaminya, menjauhi hingar-bingar ruang tamu.

kerap kali, wooseok mendapati lantai kayu rumah itu berderit pelan di bawah kaus kaki wool-nya. hampir seluruh sudut di rumah itu dilapisi wallpaper motif floral vintage dan dipenuhi oleh perabot antik. ini menarik. karena untuk seseorang seperti convenor ong seongwoo, wooseok kira yang bersangkutan akan punya selera yang jauh lebih minimalis—siapa juga yang pernah menyangka bahwa di balik facade metroseksualnya itu, sang convenor justru memilih untuk tinggal di cottage house a la queen victoria di area toledo yang paling rural, jauh dari pusat kota bersama suaminya.

suatu saat lo juga akan ketemu, teks dari kogyeol dua malam yang lalu memenuhi rongga kepalanya, orang yang bikin lo merasa berani.

mungkin, ya. mungkin.

pigura foto yang berjejer dipajang mengikuti tinggi tangga itu menarik perhatiannya. wooseok menemukan langkahnya perlahan menjejaki anak tangga tersebut satu demi satu, sambil mengamati foto di tiap-tiap pigura. satu-dua pigura itu berisi foto sendiri, tapi kebanyakan adalah foto berdua—di dalam rumah, di paris, berlatar air terjun niagara, di S.T.A.R. Labs.

ibu jarinya dilarikan kepada salah satu pigura yang paling mencolok baginya: convenor ong seongwoo dan suaminya berbalut tuksedo di altar. senyumnya retas—di foto itu, mereka berdua terlihat masih muda sekali. convenor seongwoo dengan lesung pipitnya yang penuh, bersanding dengan senyum di sekeliling fitur wajah sang suami yang akan mengingatkanmu akan seekor rubah, kalau itu bahkan mungkin. wooseok bisa merasakan hampir semuanya pada ujung jemari yang menyentuh foto tersebut: euforia pernikahannya, terik matahari siang itu. iringan musik swing-nya, bahagianya semua orang hari itu.

“cuma beberapa orang saja yang tahu,” sahut sebuah suara di bawah, yang membuat wooseok menarik tangannya dari pigura tersebut secepat kilat. “tapi mereka bertengkar hebat malam sebelumnya.”

coach lee jinhyuk bersandar di pegangan tangga paling bawah, mengaduk segelas eggnog di tangannya. dagunya menuding pada pigura yang sama.

“malam,” wooseok menelan ludah, “malam sebelumnya, coach?”

“di foto itu,” yang bersangkutan mulai menaiki tangga, lantas berhenti tepat satu anak tangga sebelum wooseok. “mereka kelihatan bahagia sekali, karena literally paginya baru berbaikan setelah bertengkar semalaman. saya kebetulan best man bersama coach jaehwan hari itu, makanya tahu,” lanjutnya, tanpa diminta. wooseok bergumam

bagi wooseok, ini momen yang cukup aneh, sebetulnya—ia berdiri bersisian dengan coach jinhyuk, hanya terpaut jarak satu anak tangga, mengamati foto pernikahan orang lain. bau cologne sang pria sampai tercium dari sini. tetapi untuk suatu alasan tertentu, wooseok tidak bisa menghentikan dirinya sendiri menimpali cerita itu.

“must have been an amazing day,” jawabnya, menoleh kepada coach jinhyuk.

“it was,” yang bersangkutan balas menoleh selama beberapa saat, sebelum kembali memandangi foto tersebut sambil menyesap eggnog dari cangkirnya. “kenapa merayakan natal sendirian, kim wooseok?”

ah.

terpaksa, wooseok memalsukan seutas senyum. tahu pria di sampingnya tengah mengamati gerak-geriknya meski hanya dari sudut mata saja. “saya sama halnya dengan semua orang yang merantau di sini, coach.”

coach jinhyuk sepertinya kurang puas dengan jawaban itu.

“and?”

“and,” beo wooseok, merasakan kuku-kuku tangannya menusuk masuk telapak tangan saat ia mengepal keduanya. bisa-bisanya percakapan yang seperti ini dilakukan on the fly, di anak tangga rumah orang pula. wooseok menata napasnya sebelum melanjutkan, “saya... belum bertemu keluarga lagi sejak pertama kali masuk S.T.A.R. Labs, coach.”

(karena pilihannya untuk jadi bagian dari organisasi ini tidak didukung sama sekali.)

(karena orangtuanya ingin ia meneruskan jejak sang ayah menjadi dokter.)

(karena ia telah menghabiskan lima tahunnya mengejar gelar yang bahkan tidak tahu mau digunakannya untuk apa.)

kali ini, coach jinhyuk yang bergumam.

“jangan sungkan untuk minta ditemani ong kalau sedang kesepian, lho, kim wooseok,” tukas yang bersangkutan, seraya berbalik kemudian menuruni tangga. dia berhenti di anak tangga terakhir hanya untuk menyesap cangkir eggnognya lagi. “percaya atau tidak, dia paling senang kalau presensinya dibutuhkan. gitu-gitu, dia juga kesepian berhubung suaminya sudah resign. makanya kerjaannya cari ribut dengan head convenor departemen lain terus.”

wooseok terdiam. alasan convenor seongwoo selalu cari ribut dengan convenor seungwoo adalah karena dia kesepian? ini informasi baru.

“i... will,” jawabnya pelan, kepalan tangannya perlahan-lahan membuka. telapak tangannya jadi bernapas lagi. “i guess.”

dari bawah, coach jinhyuk tersenyum kepadanya.

“come on,” katanya lagi, menuding kembali pada ruang tamu yang mayoritas didominasi oleh tawa menggelegar si empunya rumah. “jangan mau kehabisan kue jahenya ong, nanti keburu dimakan coach jaehwan semua.”

wooseok mengangguk. ia menoleh kepada pigura foto pernikahan sang convenor untuk yang terakhir kalinya, sebelum turun dan mengekori coach jinhyuk kembali ke ruang tamu dimana coach jaehwan tengah dipasangi berbagai macam ornamen pohon natal di sekeliling badannya oleh convenor seongwoo. di sampingnya, suami yang bersangkutan hanya bisa geleng-geleng kepala, menyendok lebih banyak eggnog ke dalam cangkirnya.

wooseok mendapati dirinya sendiri berhenti di ambang ruang tamu, ragu. lingkaran itu kecil, hangat, dan rapat—wooseok tidak tahu apakah dia boleh masuk ke sana. tapi coach jinhyuk menoleh lewat bahu sekali lagi untuk memastikan wooseok tetap berada di belakangnya, dan bohong kalau wooseok bilang yang bersangkutan berhasil menemukan keraguan di balik matanya. coach jinhyuk cuma bisa berdecak sambil dia memposisikan dirinya sendiri di belakang wooseok, kedua tangan di bonggol bahu, lantas mendorongnya masuk ke ruang tamu yang lebih dekat dengan perapian.

ayo, kim wooseok, katanya.

dan kalau wooseok masih bisa merasakan kedua tangan itu di bahunya hingga malam menjelang—itu mungkin cuma perasaannya saja.