write.as

Perdamaian

Setelah diantar Hari untuk pulang kerumah mengambil buku pelajaran dan baju sekolah, Tiara kembali ke rumah sakit untuk menebus rasa bersalahnya. Yang dikatakan oleh Daren benar, Tiara yang menyebabkan Tara kembali tertidur.

Tiara masuk keruangan ICU, untuk mencoba membangunkan Peterpan yang sedang berjalan jalan sendirian ke Neverland tanpa dirinya.

Tiara meringis saat melihat keadaan lelaki kesayangannya seperti ini. Ia terisak pelan.

Perempuan itu lalu mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan kepala Tara. Meghantara sangat senang mengusap kepala Tiara saat hanya berdua dengannya.

Tiara tersenyum pilu, saat mengetahui bahwa rambut tebal milik Tara kini sudah perlahan menghilang.

Lagi-lagi ia menangis.

“Kak, kenapa Lo lakuin ini? Gue marah sama Lo! Tapi bukan karena penyakit lo, karena Lo maksain ketemu gue ditengah tengah perawatan Lo kak. Kenapa gak pernah bilang ?” Ucap Tiara sambi terus mengusap Tara.

“Katanya lo bakal baik-baik aja kak?”

“Kak Tara maaf, harusnya kemarin Lo ga maksain pergi. Lo pasti menderita sendirian, ya?” Tiara terisak.

Sakit sekali melihat keadaan Tara saat ini. Pria yang biasanya selalu ada buat Tiara, pria yang biasanya begitu bersemangat saat bertemu perempuannya. Kini ia hanya terbaring dengan berbagai alat menempel di tubuhnya.

Tiara menghela napasnya, berusaha meredakan tangisannya. “kak Tara, Gue gak bakal nangis lagi, Gue harus kuat, kan? Demi kak Tara iya,kan? Sekali lagi gue minta maaf karena gue yang nyebabin Lo tidur lagi...”

“Kak, ayo bangun, gue disini, kesayangan lo disini. Lo sumber kebahagiaan gue kak. Kalau Lo pergi, gue gatau harus gimana. Jadi, ayo bangun kak, jangan ninggalin gue sendirian, ya? Gue sayang banget sama Lo kak, jadi ayo bangun kak Tara...”

Tiara pun tertidur disamping Meghantara Prakasa. Walaupun esok hari ia harus menghadapi ujian nasional, namun isi otaknya sangat berantakan saat ini. Tak apa, setidaknya dia tau kalau Tara sangat penting saat ini. Persetan ujian nasional baginya.


Berbeda dengan ketiga sahabat Tara, mereka tidur di kantin rumah sakit. Ditambah Daren sangat tidak ingin melihat muka Tiara. Menurutnya, Tiara lah penyebab kejadian kemarin.

“Heh, Lo jangan kaya gitu. Dia sama sama kepukul kaya kita.” Hari menyenggol Daren yang sedang merokok. Iya, Daren merokok ketika mencapai puncak stress.

“Diem, gue gamau ngomong.” Daren menjawab namun tidak melihat kearah Hari

“Lah itu Lo bales...”

“Ren, lo tau kan kalau dia mau UN. Kita udah janji sama Tara, kita yang bakal jagain Tiara. Dengan Lo bersikap kaya gini, bener bener nyusahin. Don't be childish lah. Yang terjadi kemarin bukan salah Lo, bukan salah Tiara. Gue gamau nyalahin tuhan sih, tapi ya itu skenario nya. Jalanin aja.” Revin datang dan merangkul pundak Daren secara tiba tiba.

“Lepasin anjing, gue gamau ngomong sama siapa siapa. Iya gue tau salah udah bentak dia. Udah lah gue mau tidur.” Daren berdiri dan melempar sisa puntung rokok ditangannya.

Revin dan Hari tau, ini bukan salah keduanya. Ini semua hanya kehendak semesta yang tidak bisa dihindar.


Pagi ini, diantara semuanya yang terlelap di kantin, hanya Daren yang bangun lebih awal. Semua hal yang ada di kepalanya saat ini benar benar membuatnya terjaga semalaman. Ia duduk dan kembali merokok di Taman Rumah Sakit. Tanpa ia sadari, seseorang telah berjalan mendekatinya.

“Nih, kalau ngerokok, kayaknya pas pake kopi.” Tiara memberikan kopi yang ia beli di kantin rumah sakit

“Sekolah sama, ngapain kesini.” Daren menatap Tiara dengan netra kekesalan. Tiara pun tau, Daren sangat amat kesal dengan dirinya. Sudah sepantasnya Tiara mendapatkan ini semua.

“Gue dapet sesi ke 2 kok, tenang aja. Ka, Lo udah tau duluan kan penyakit ka Tara? Gimana rasanya kak pas tau kalau sahabat Lo sakit begini?” Tiara duduk disebelah Daren

“Kalau boleh gue jujur, gue kaget sekaget kagetnya orang. Dikira gue, kemarin akan jadi hari bahagia dia. Tapi malah sebaliknya. Gue gatau harus marah ke dia yang udah bohongin gue atau gue harus menerima semuanya. 10 bulan dia ngelewatin ini semua dibelakang gue. Dia sosok yang berusaha tegar tapi dalamnya rapuh.” Tiara menundukkan kepalanya sambil memegang kopi yang ditolak mentah mentah oleh lelaki itu

“Kalau gue boleh minta ke tuhan, gue aja yang sakit. Gue gabisa ngeliat ka Tara menerima hal yang menyakitkan lagi. Masa kecilnya, kehidupan keluarganya, dan sekarang semestanya.”

“Tara sosok yang keras kepala. Dia sempet sempetnya masih bertahan kerja di cafe gue demi biaya kemo. Kalau ditanya perihal kaget atau engga, gue lebih ke nyesel aja. Nyesel Karena tau dia sakit belum lama ini. Kalau Lo mau kecewa sama dia, Lo salah. Lo alasan dia bertahan selama ini.” Daren melihat pohon rindang didepannya.

“Dan gue minta maaf udah ngebentak Lo semalam. Ga seharusnya gue ngelakuin itu...”

“Gpp kak, emang seharusnya gue dimarahin kok.”

“UN apa hari ini?” Ujar Daren

“Bahasa Indonesia kak...”

“Udah belajar? Gue liat semalam Lo masih ngobrol sama Tara sampe larut.”

“Udah kok kak, makasih. Ka Tara selalu ngirimin kisi kisi walau lagi sibuk.”

“Lo mau masuk kuliah jurusan apa kalau boleh tau?”

“Ehm, tadi nya mau ngambil Sastra Inggris gitu. Tapi kayaknya, mau kaya kalian aja deh, ngambil kedokteran.”

“Kenapa berubah?”

“Ehm, Gpp. Ngeliat Ka Tara sakit, gue pengen jadi dokter aja. Pengen nyembuhin dia nantinya. Ya walau dia duluan jadi dokter sih.” Ucap Tiara

Mereka berdua berbincang seperti tidak terjadi apa apa. Dalam kata lain, Daren memikirkan Tiara juga. Memikirkan apa yang teman temannya bilang.

Matahari tiba tiba menghampiri mereka berdua dengan membawa kunci motor milik Tara.

“Gue cariin juga, ternyata disini. Ayo, gue anter sekolah. Anak kecil harus UN.”

“Yaudah Ka Daren, nih diminum ya. Gue mau kesekolah dulu. Nanti telat. Makasih ya kak udah maafin gue.”

Tiara meninggalkan Daren di taman dengan beberapa buku dipelukannya.