write.as

Death By A Thousand Cuts

Jantungnya berdegup kenceng, tanpa sadar Atra menahan napas saat jemarinya bergerak menekan empat kode pintu masuk ke Apartemen milik Marcel, harap cemas, semoga saja sang pemilik belum mengganti kode pintunya.

Ting!

Terbuka.

Buku-buku jemari Atra semakin kencang menggenggam map cokelat yang berada di pelukannya, pintu kembali tertutup, Atra berbalik, tubuhnya mematung di tempat — tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia mendapati seorang laki-laki yang juga ikut mematung berdiri di depan sofa ruang tamu; mereka saling bertukar pandang tanpa mengeluarkan kata.

Tidak bisa dipungkiri kalau kaki Atra sudah terasa lemas, darahnya berdesir kencang menuju ujung kepala hingga menimbulkan pening yang luar biasa. — Harusnya Atra sudah mempersiapkan diri untuk ini, statusnya dan Marcel sudah selesai, ia tidak seharusnya merasa kaget dan kecewa saat mendapati sosok lain yang berhasil menggantikan posisinya.

Laki-laki yang tidak Atra ketahui namanya; memilik paras manis, surai hitam legam hampir menutupi mata, pinggang yang ramping (walaupun tertutup kaos), juga mata bulat yang indah, sekarang berdiri di depan sofa yang sudah berantakan dengan selimut dan beberapa butir pakaian yang bercacar — Atra tahu itu milik Marcel; ia bukan anak kecil lagi, ia tahu apa yang mereka lakukan. Mungkin mereka habis melakukannya di sofa? Marcel dan dunianya bukan sesuatu yang baru bagi Atra. Tapi — kenapa secepat ini?

Sorry ganggu, gua cuma mau kasih ini. Tolong sampein ke Marcel ini titipan dari nyokapnya.” map cokelat yang berada dalam pelukannya berpindah cepat ke atas meja kecil; Atra ingin segera keluar sebelum Marcel melihat kedatangannya.

“Lo Atra ya?”

“Hah?”

“Lo Atra kan? Kita satu kampus, gue adek tingkat lo.” too much information Atra tidak punya kesabaran sebesar itu untuk melakukan basa basi, ia ingin segera keluar dan memukul apapun yang nanti berada di dekatnya untuk menyalurkan rasa kesal — tidak tahu kesal kenapa.

“Oh. Oke.”

Sosok itu menelisik penampilan Atra dari ujung kaki sampai ujung rambut, membuat kesabaran Atra terguncang — ia tidak suka di tatap seperti itu.

“Gue gak tau lo sama Marcel lagi ada masalah apa,” tangannya terlipat di depan dada, “Gue ketemu dia di club semalem, dia mabok berat terus ngajak gue balik, ya gue kira dia butuh pelepasan, we almost did that, disini.” matanya melirik sofa berantakan tersebut.

“Tapi dia tetep nyebut nama lo setiap kita hampir ngelakuin, gue gak enak hati main sama orang yang punya pasangan.”

Tanpa sadar Atra menghembuskan napasnya — sedikit lega. Manik Atra beredar kepenjuru ruangan, yang ditangkap jelas oleh sosok di hadapannya.

“Marcel di kamar, belom keluar dari semalem. Dia gak izinin gue masuk kesana tapi dia nyuruh gue stay disini karena kebetulan semalem ujan deres.”

“Karena lo udah disini, gue izin balik.” sosok itu menyisir rambutnya dengan jari jari, melangkah maju menuju pintu keluar, tak selang beberapa langkah, sosoknya berhenti dan berbalik menatap punggung Atra yang membelakanginya.

“Bukan gue mau ikut campur,” kalimatnya terjeda, menatap pintu kamar Marcel yang tertutup rapat, “I think he needs help.

Tubuh Atra masih diam sampai suara pintu yang ditutup terdengar. Sekarang ia sendiri; pandangannya menatap nanar ke arah pintu kamar Marcel yang tertutup rapat.

Benar kata Sena, don’t think — kali ini Atra membiarkan hatinya yang mengambil keputusan, saat batinnya bergemuruh untuk melihat kondisi Marcel, Atra akan membiarkan itu terjadi. Seperti sekarang, saat langkahnya berhenti di depan pintu kamar Marcel; perlahan ia menekan knop hingga terdengar decitan pintu terbuka; gelap, hanya ada sedikit cahaya yang masuk dari sela-sela gorden, tak selang beberapa lama, keningnya menyerngit ketika bau alkohol yang begitu menusuk menyapa indera penciumannya.

Tangan Atra terulur mencari posisi saklar untuk menjemput cahaya; namun, alangkah terkejutnya saat bertumpuk botol alkohol kosong, serta beberapa bekas minuman kaleng, dan baju-baju berserakan memenuhi ruangan; ini… kacau.

Di tempat tidur, Marcel masih bergelung disana, tidak tahu berapa banyak botol yang menemaninya; tapi ini adalah gambaran Marcel yang paling kacau, yang pernah Atra lihat. Pukul setengah tiga siang, sudah berapa lama ia terlelap?

“Cel…” tidak ada jawab.

Atra mendekat ke arah kasur, sebisa mungkin melangkah tanpa menimbulkan suara, perlahan menghindari tumpukan kaleng yang berserakan — kenangan itu masih disana, enam bulan bukanlah waktu yang sebentar, kamar ini, tempat tidur itu, masih memiliki banyak kenangannya bersama Marcel; namun sekarang, Atra melihat Marcel sendiri disana, pasti sepi.

“Marcel,” bisiknya dengan lembut, tangan Atra tidak tahan untuk terulur menyisir pelan rambut hitam milik Marcel yang sudah mulai panjang.

Tidak tahu mimpi apa yang sedang menemani Marcel saat mata itu terlelap, tetapi melihat dari bagaimana rautnya yang gelisah saat matanya terpejam sudah cukup menjadi wajab; kalau tidurnya tidak pernah nyenyak.

Jemarinya menyusuri wajah Marcel, sesak memenuhi dada; kalau Marcel begini karena perkataannya, sumpah demi Tuhan, ini akan menjadi mimpi buruk bagi Atra seumur hidupnya.

Sleep tight, Cel.

Sekali lagi, ia butuh kesempatan sekali lagi — Atra ingin menjadi orang pertama yang Marcel lihat ketika ia membuka mata, pesetan, jika Marcel sudah membencinya, Atra hanya ingin melihat binar itu, untuk memastikan Marcel baik-baik saja.

Atra akan menunggu.