write.as

HELLO DOC!

CW//Blood.

Matahari sedang bersinar hangat-hangatnya. Namun enam orang mahasiswa kedokteran sudah berdiri di depan bangunan rumah sakit terpencil, jauh dari pusat kota.

“Aku tidak mau tahu. Pos jaga praktik harus dibagi adil.” Tampak ketegangan di wajah Na Jaemin, salah satu dari mahasiswa tersebut. Ia menyodorkan stoples plastik berisi tiga gulungan kertas undian.

“Aduuh, kau takut ya?” Han Jisung berkacak pinggang seraya mengejek rekannya itu.

“Kalau begitu kutanya, siapa yang mau ditempatkan di UGD?” Tantang Jaemin.

Semua bungkam tidak menjawab, membuat Jaemin tersenyum penuh kemenangan. Dari awal mereka rotasi praktik ke rumah sakit ini, hal sama yang diperdebatkan adalah: siapa yang akan berjaga di UGD?

Bukan apa-apa. Selain lebih lelah karena tugas UGD sebagai lini pertama menerima pasien, rumor dari para dokter senior mengatakan rumah sakit tempat mereka akan bertugas 10 minggu kedepan memiliki UGD dengan nuansa horor. Berbagai malapetaka pernah menimpa mahasiswa yang sempat bertugas disana, walaupun tidak dijabarkan secara rinci malapetaka dimaksud.

“Nah, cepat ambil sebelum jam jaga mulai.” Jaemin memerintah galak.

“Kelompokku dan Jaemin, biar aku wakili.” Haechan hendak memasukkan tangan ke dalam stoples, namun berhenti sesaat menatap Jaemin. “Jika kita yang dapat UGD bagaimana?”

“Kucakar kau.” Jaemin menyeringai buas, membuat Haechan memejamkan mata merapal doa sebelum meraih salah satu gulungan.

“Poliklinik penyakit dalam.” Ujarnya setelah membuka kertas dengan tangan bergetar. Haechan dan Jaemin langsung sujud syukur. Tinggal dua gulungan, salah satunya malapetaka.

“Kelompokku dan Jeongin, aku wakili.” Sebelum didahului oleh pasangan Seungmin-Kun, Han Jisung maju sembari menggerakkan kepala kiri kanan serta melemaskan jari-jemarinya.

“Tapi kak...” Jeongin yang notabene lebih muda setahun dari mereka, berusaha menahan. Mimpi buruk semalam agaknya membuatnya kurang yakin dengan keputusan Jisung mengambil undian. Namun sang senior tidak menggubris.

Setelah mengeluarkan jurus tenaga dalam, Jisung mengaduk stoples, mengambil salah satu kertas dan membuka di hadapan Jaemin. Seketika ia kesulitan menelan ludah.

“UGD.” Bisiknya parau.

Haechan dan Jaemin kompak menertawakan kesialannya, sementara Seungmin dan Kun saling tos dengan wajah datar.

“Ha, rasakan itu. Tupai banyak gaya.” Sahut Seungmin sadis.

Tinggal Jisung dan Jeongin saling tatap dengan wajah pucat.

“Mati kita.”

****

Namun saat memasuki UGD, yang mereka dapati sosok seorang dokter menyapa ramah, duduk di nurse station mengisi status pasien.

“Halo. Kalian dokter muda yang bertugas disini?”

Jisung sudah tersipu malu melihat dokter tampan yang disangkanya kepala UGD. Dengan tangan bergetar ia serahkan surat tugas pada pria bersurai cokelat tersebut.

“I..iya dokter—”

“Lee Minho.” Ujarnya sembari menerima surat dari Jisung.

“Sa...saya Han Jisung, dan ini Yang Jeongin.” Ujarnya seraya memperkenalkan Jeongin yang berdiri di sebelah.

“Baiklah dokter Han dan dokter Yang, selamat datang di UGD rumah sakit kami. Bagaimana jika keliling ruangan sebagai perkenalan?”

Jisung dan Jeongin mendesah lega. Agaknya ruangan ini tidak se horor bayangan. Mereka mengekor langkah Minho yang mengenalkan satu-persatu bilik di dalam UGD. Semua berjalan lancar sampai Jeongin menyadari sesuatu. Ia memicing curiga mendapati Jisung tiba-tiba sok kenal sok dekat dengan dokter Lee, acapkali bertingkah pura-pura lugu minta digampar. Belum selesai room tour, sebuah suara menginterupsi dari belakang.

“Dokter Lee.” Dengan nada dingin seseorang yang juga mengenakan jas putih seperti mereka mendekat. Ia mengamati wajah Jisung dan Jeongin dengan pandangan sulit diartikan.

“Mereka mahasiswa praktik yang dimaksud?” Tanyanya.

Minho menggangguk. “Dokter Han dan dokter Yang. Perkenalkan kepala UGD kami, dokter Hwang Hyunjin, konsulen bedah.”

Oh. Ternyata kepala UGD bukan dokter Lee.

“Tidak usah panjang lebar, aku mau salah satu dari mereka jadi asistenku.” Dokter Hwang menunjuk Jeongin. “Kau. Ikut aku.”

“Tunggu, aku bisa membantu. Mereka baru perkenalan, biarkan sebagai observer dulu.”

“Tidak bisa. Kau juga dapat pasien, dokter Lee.” Ucap Hyunjin seraya menyiapkan troli peralatan. “Ada kecelakaan beruntun, dua pasien belum terurus.”

Minho menepuk dahi setelah mengamati bilik depan. Ruangan yang tadi agak lengang, nyatanya langsung sudah terisi penuh. Tanpa basa-basi ia tarik Jisung, membantunya menyiapkan troli peralatan untuk dibawa ke depan.

Para dokter dan perawat yang bertugas rupanya sudah mengurus pasien masing-masing. Jeongin mengikuti langkah lebar dokter Hwang menuju laki-laki 19 tahun tergolek di brankar dengan luka robek pada kaki kiri.

“Siapkan lidokain.” Perintah Hyunjin datar sementara ia mengenakan sarung tangan karet, membersihkan luka. Jeongin agak berdebar mendapati luka yang begitu lebar, hanya mengangguk. Ia meraih alat suntik di atas troli. Cairan bius sudah berpindah ke tabung suntik.

“Tolong injeksikan. Aku segera kembali.” Tanpa menoleh, Hyunjin pergi ke ruang sebelah.

Pemuda manis itu menurut. Entah karena dihanyut pikiran mengenai cara Hyunjin akan menjahit luka rumit, jarum suntik yang dibuka kuat malah menyasar punggung tangannya. Jeongin menahan teriakan, segera mencabut jarum tersebut. Seolah tidak terjadi apa, ia mengganti jarum baru kemudian memasukkan ulang cairan lidokain, mulai menginjeksikan di sekeliling luka dengan tangan bergetar nyeri.

Sial. Baru hari pertama sudah seperti ini.

Tepat selesai menyuntikkan, Hyunjin kembali dan segera melakukan tugas. Agaknya cara kerja dokter Hwang yang lihai membuat Jeongin ingin mencoba melakukan teknik menjahit. Dituntut menyerap ilmu sebanyak-banyaknya, membuat pemuda itu berani menginterupsi sang konsulen.

“Dokter Hwang, boleh aku mencobanya?”

Ia pikir sang dokter sama seperti kebanyakan dokter senior yang selama ini senang hati mengajarkannya. Namun apa yang Jeongin dapati, berbeda dari prediksi. Dokter Hwang menghentikan kegiatan. Ia menatap tajam pada sang dokter muda.

“Sombong sekali ingin menjahit luka, menancapkan jarum ke pasien saja tidak becus. Asisten tak berguna!”

Susunan kata menusuk membentuk kalimat tentu saja membuat Jeongin merah padam di tempat. DARI MANA ORANG INI TAHU?!! Dokter Hwang ternyata mengetahui insiden jarum tadi. Agak beruntung tempat tidur pasien dibatasi tirai satu sama lain, jadi tidak ada yang tahu ia dimarahi. Faktanya, dokter satu ini tidak segan-segan memakinya di depan pasien.

“Ma... maaf dok.” Satu-satunya kalimat penyelamat dari amukan sang konsulen, Jeongin ucapkan. Selebihnya, ia dianggap tidak ada oleh Hwang Hyunjin. Kasa steril sudah diambilkan, malah diambil sendiri oleh sang dokter. Plester penutup luka sudah diguntingkan, malah digunting lagi. Dokter satu ini moodnya benar-benar harus dijaga.

Pelajaran pertama yang Jeongin dapat: jangan mau terjebak dengan dokter penguasa ruangan. Mereka sombong!

Maka dimulailah penderitaan mereka di UGD (minus Jisung yang selalu berlindung di bawah naungan ketiak Minho).

Hari berikutnya, pasien kecelakaan lain masuk. Kali ini Jeongin bersiap untuk mengekor di belakang dokter Lee, jika-jika pria itu butuh asisten. Namun lagi-lagi suara datar dari arah pintu depan memanggil namanya.

“Dokter Yang, asisten.”

Hyunjin masuk ke dalam dengan brankar yang didorong dua petugas di belakang. Maniknya menatap status pasien di tangan, tidak menoleh samasekali pada Jeongin.

“Baik dokter.” Jawab Jeongin pasrah. Padahal sudah sempat melakukan kesalahan, namun sang kepala UGD seperti tidak punya nama lain untuk disebut. Kali ini ia bekerja lebih hati-hati. Melakukan pengecekan tekanan darah, EKG, memasang oksigen, semua sesuai perintah dokter Hwang.

“Kandung kemih penuh.” Gumam Jeongin tanpa sadar saat meraba bagian perut bawah pasien.

“Pasang kateter.” Perintah Hyunjin, masih sibuk membaca hasil EKG.

Eh?

Jeongin berkedip linglung begitu disodori kateter. Ia samasekali belum pernah memasang kateter pada pasien perempuan. Jadilah benda itu hanya dipelototi beberapa menit, hingga Hyunjin selesai membaca hasil.

“Kenapa masih kau genggam?” Sang konsulen mengernyit tak suka pada Jeongin. Kepalang basah, pemuda manis itu hanya menghadiahi cengiran.

“Anu, dokter Hwang....”

“Tidak bisa ya?” Sinisnya.

Jeongin hanya mengangguk kaku.

“Kau ini...sebenarnya mahasiswa kedokteran atau orang-orangan sawah? Tidak berguna!” Sindirnya lagi sembari merebut kateter dari Jeongin.

'Hwang Hyunjin bajingan!' Maki Jeongin dalam hati. Tidak semua tindakan pernah diambil saat praktikum lab. Ia datang ke UGD dengan harapan menambah pengalaman, nyatanya malah jadi sasaran amukan. Untuk sesaat dokter Yang mulai paham kenapa para senior menyebut UGD rumah sakit ini adalah tempat horor.

Itu karena setannya adalah sang kepala UGD.

Maka di lain hari, Jeongin selalu kucing-kucingan dengan dokter Hwang jika kebetulan mendapat shift jaga sama. Ia masih berusaha mengekori dokter lain, sibuk dengan textbook tebal sambil mendiskusikan pasien, atau malah sengaja menunggui pasien yang sudah ditangani, pura-pura mencatat status.

Namun alam berkehendak lain. Seakan enggan membiarkannya lolos dari cengkeraman sang konsulen, Jeongin tidak bisa lama berkamuflase. Sebab setiap giliran shift, pasien selalu datang membludak. Dan ia akan berakhir jadi asisten Hwang Hyunjin lagi.

Rupanya arus pasien membludak jadi semacam anomali bagi Hyunjin yang sudah mengamati beberapa hari ketika mendapat jadwal jaga sama dengan Jeongin. Sang dokter baru saja datang untuk pertukaran shift malam, saat pasien sudah memenuhi ruang UGD hingga ke lorong-lorong. Terpaksa ia turun tangan lagi dan diasisteni Jeongin.

“Kulihat tiap jadwal jaga denganmu, pasien langsung membludak” Komentar dokter Hwang sembari menyiapkan alat. Jeongin mulai menegang.

'Apalagi sekarang,ha?!!' Batinnya jengkel.

“Sa... saya dok?” Dokter Yang pura-pura tidak paham.

“Ya. Kau dokter pembawa pasien. Setidaknya mandi yang bersih atau ritual tolak bala jika tidak mau dibombardir pasien terus-terusan setiap jaga. Aku ikut kerepotan.” Ujarnya sarkas.

Astaga dokter Hwang....di balik sikap arogan dan wibawanya sebagai kepala UGD, ternyata masih percaya takhayul sebagai pedoman.

Jeongin hanya bisa mengangguk lemah agar cepat selesai. Tidak sengaja dari ekor mata ia menangkap siluet Jisung yang sedang belajar jahit-menjahit pasien bersama dokter Lee.

Han Jisung bedebah! Dia yang membawa Jeongin ke dalam lubang neraka, malah hidup aman dan damai di balik dinding UGD. Sementara Jeongin harus berhadapan dengan segala sikap sarkas dan arogan dokter Hwang. Tanpa sengaja dokter Yang membanting gemas satu set peralatan stainless steel ke atas troli besi, menimbulkan suara nyaring mengalihkan seluruh atensi penghuni UGD.

“Eh?” Jeongin menatap linglung benda yang dibanting kemudian beralih pada dokter Hwang yang melayangkan tatapan mematikan padanya.

“Lakukan.” Sang konsulen yang sudah siap dengan peralatan jahit, menyerahkannya pada Jeongin.

“Tapi dokter Hwang, saya—”

“Kau muak jadi asisten terus kan? Ingin belajar menjahit seperti temanmu kan?” Tunjuk Hyunjin dengan dagu pada Jisung. Tanpa menunggu jawaban Jeongin, ia tarik pemuda itu mendekat, menggantikan duduk di tempatnya. Sang dokter muda segera mengenakan sarung tangan steril dan menyiapkan obat bius, walau tangan bergetar gugup karena....dokter Hwang berdiri tepat di belakang, mengawasi tiap gerak-geriknya.

Proses penyuntikan bius di sekitar luka berjalan lancar. Jeongin berusaha menguasa diri selama pria di belakangnya tidak memberi komentar apa. Jarum jahit dan benang ia ambil.

“Apa bagian yang saya tekan masih terasa?” Tanya Jeongin lembut pada pasien. Ia menekan luka yang hendak dijahit agak kuat, dan mendapat gelengan lemah dari pasien.

“Saya mulai ya.”

Jeongin memasukkan ujung jarum berbentuk setengah lingkaran tersebut agak di atas tepi luka sebagai simpul. Ia ingat sekali, dokter Hwang lebih suka menjahit luka dengan teknik jahitan terputus. Maka ia lanjutkan seperti yang diamati selama ini.

Sang konsulen tidak berkomentar sama sekali. Ia bersidekap dada, mengamati cara kerja Jeongin.

“Masukkan jarum di bawah luka.” Ujar dokter Hwang tiba-tiba saat Jeongin baru mengganti benang yang habis untuk melanjutkan penjahitan.

“Di bawah?” Lagi-lagi Jeongin melindur bingung. Hyunjin menghela napas pelan, kemudian mengungkung sang dokter muda dari belakang, menggerakkan kedua tangan pemuda manis itu untuk melakukan instruksinya.

“Begini.” Sambil mengarahkan tangan, Hyunjin menjelaskan pada Jeongin. Tidak tahu saja pemuda itu sedang berusaha menahan napas agar tangan tidak makin gemetar karena dibimbing konsulen galak. Setelah jarum masuk, bukannya membiarkan Jeongin bekerja sendiri, dokter Hwang masih menggerakkan tangan sang dokter muda...tetap dengan posisi memeluk dari belakang.

Bukan main. Kini seisi UGD mencuri pandang pada sang dokter fenomenal yang untuk pertamakali turun tangan mengajari mahasiswa.

Jeongin sendiri tidak berani menegur. Tremor pada tangan berangsur hilang. Namun sekarang gantian jantungnya yang tremor! Aroma parfum mahal sang konsulen lembut memasuki penciuman, membuat dokter Yang makin tidak keruan. Setelah beberapa saat pusing sendiri, jaritan luka akhirnya selesai. Dokter Hwang melepas kedua tangan Jeongin, membiarkan pemuda itu menutup luka dengan kasa dan plester.

“Walau payah, tapi lumayan.” Komentar Hyunjin dari belakang. Jeongin sudah pasrah saja akan dimaki lagi, namun ia mendapat tepukan pelan pada bahu.

“Kerja bagus.” Dokter Hwang meninggalkannya setelah melempar kalimat pujian singkat, membuat Jeongin terbengong.

“Dia memujiku?” Bisiknya seraya menunjuk diri sendiri.

Namun kemudian sayup-sayup ia mendengar omelan sang dokter berpindah pada Minho dan Jisung di sudut.

“Ajarkan yang benar pada anak buahmu. Jangan sibuk menempel terus, kalian berdua payah!”

Kontan dua orang itu mengkeret malu.

Berkaca dari pengalaman, Jeongin menyimpulkan bahwa dokter Hwang tidak seburuk kelihatannya....asal ia tidak membuat masalah. Otomatis dua hari kemudian saat shift malam dengan Hyunjin, dokter Yang sudah siaga dengan berbagai perlengkapan perang. Textbook ia hapalkan lagi, beberapa tindakan dasar kegawatdaruratan dipelajari. Namun hari ini ditunggu pun tak terlihat batang hidung pasien. Jeongin hanya duduk canggung di sebelah sang konsulen sementara pria itu sibuk mengisi kertas-kertas konsul yang berserakan.

“Dokter Hwang, ruangan kami sedang penuh. Aku titip pasien sebentar.” Salah seorang dokter senior dari bagian kebidanan dan kandungan masuk tergesa mendorong brankar dibantu perawat. Pasiennya seorang ibu muda yang hamil besar dalam posisi tidur miring kiri.

“Hm.” Hyunjin hanya memberi dehaman singkat, tidak menaruh atensi sedikitpun. Rupanya dua orang tadi langsung melesat meninggalkan UGD karena kekacauan di bagian kebidanan belum dibereskan.

Jeongin yang duduk kikuk berdua dengan sang konsulen, langsung bangkit mendekat pada pasien. Ia bermaksud menghindar dari aura Hyunjin yang mencekam. Lebih baik menunggui pasien bangsal kebidanan daripada terbengong.

“Selamat malam, saya dokter Yang. Apa nyonya ada keluhan sekarang?” Tanyanya ramah begitu di dekat pasien.

“Sakit.” Pasien hanya menjawab singkat sembari menyangga perut, masih dalam posisi tidur. Raut wajah terlihat kesakitan. Jeongin mengangguk paham, berinisiatif meletakkan tangannya di atas perut ibu. Ia merasakan kontraksi mendera. Sudah dalam fase aktif rupanya.

Karena tidak ada penunggu, Jeongin menggeret kursi ke dekat tempat tidur. Ia benar-benar memeriksa kontraksi, sesekali menggosok punggung sang ibu, membantu memberi minum, dan memantau denyut jantung janin, padahal itu bukan jobdesk nya sebagai babu UGD.

Dua jam berlalu, di sela kontraksi makin kuat, ketuban ibu pecah dengan sendirinya. Jeongin yang baru pertamakali melihat cairan merembes di tempat tidur, berbalik panik hendak melapor dokter Hwang, namun pria itu sudah berjalan mendekat dengan sarung tangan steril terpasang.

“Panggil orang-orang bodoh itu. Dasar tidak bertanggungjawab.” Perintahnya menahan marah.

Dokter yang menitip pasien tadi langsung dibombardir habis-habisan oleh Hyunjin.

“Kau tidak paham peraturan rumah sakit? Jangan pernah meninggalkan pasien sendirian! Bawa orang-orangmu untuk menunggui. Asisten muda ku ini sedaritadi kerepotan mengurus pasienmu! Kau akan dapat masalah jika tidak ada dia.” Dokter Hwang masih mengamuk namun sembari memuji Jeongin seolah dia pahlawan. Diperlakukan seperti itu jelas sang dokter muda menunduk malu, namun senang. Tidak menyangka kegiatannya diperhatikan detail oleh Hyunjin.

“Aku tidak akan mengizinkan dia menghandle pasien kalian lagi. Dia asisten pribadiku di UGD.” Sang konsulen menekan kalimat terakhir, membuat Jeongin berkedip .

Asisten pribadi katanya? Haha...ha.....

Jeongin mengorek kedua lubang telinga, takut salah dengar.

Kejadian tersebut menjadi berkah tersendiri bagi Jeongin. Dokter Hwang jadi lebih lunak kepada dokter Yang, membuat seisi UGD makin mendelik terheran-heran menyerempet iri. Keadaan berbalik, sekarang pasangan dokter Minho-Jisung yang jadi bulan-bulanan amukan dokter Hwang, padahal Minho termasuk salah satu dokter senior disana. Namun karena lebih sering berduaan daripada mengurusi pasien, keseniorannya tidak berpengaruh. Sang konsulen makin gencar membombardir.

“Dokteer, pasien baru!” Teriak perawat yang mendorong brankar dari pintu depan UGD. Sosok bersurai blonde dengan jaket dan celana panjang kulit mengerang kesakitan. Lengan kanannya ditekuk sebatas dada, disangga kain yang diikat menggantung leher.

“Aduh, help! It's too hurt, huhuhuhuu. My bone is broke!! Eric! I will die! Dieeeee!!!” Jeritnya pilu dengan bahasa inggris tidak keruan. Rengekan menyakitkan telinga membuat Eric, sang manajer memutar bola mata malas.

Namun jerit memalukan tersebut tiba-tiba terhenti, membuat Eric kebingungan. Tanpa diduga, sosok dokter manis yang menghampiri membuat Lee Felix sang pasien, terdiam dengan mulut menganga tidak elit.

“Tahan sebentar ya? Sebelah mana yang sakit?” Tanya Jeongin lembut sembari memeriksa pelan bagian tangan.

“No, no, no. It's okay now, because you are here, doc.” Felix si youtuber merangkap selebgram mulai memasang kuda-kuda rayuan gombal sembari menaik turunkan alis. Dasar laknat! Daritadi merengek kesakitan, sekarang berlagak kuat begitu disodori yang manis-manis. Jeongin hanya tersenyum menanggapi sembari melanjutkan anamnesa.

“Apa yang terjadi?”

“Orang ini dok.” Tunjuk Eric pada Felix. “Melakukan akrobat dari pohon sakura di atas bukit untuk konten. Dia menggelinding, aku rasa lengannya patah. Ngomong-ngomong, setelah menangis tiga puluh menit baru dibawa kesini.”

“Enak saja!” Felix menyergah galak begitu aibnya dibuka. “Jangan hiraukan dia doc, he's crazy! I am here just for check my arm if it's not okay. But totally im okay. Im strong man.” Ucap Felix kacau. Jeongin hanya geleng kepala.

“Anda content creator?”

Felix mengangguk antusias.

“Yes, yes! The channel is Lee Yongbox adventure! You pasti pernah dengar, of course! Im so famous!” Felix menggosok hidung bangga. “You want my sign?”

“Hehe, maaf. Tapi... saya tidak mengenal anda.” Jeongin menjawab jujur seraya menyiapkan bidai. Bagai tersambar geledek, Felix menatap Eric tak percaya.

“Wait... there's person who doesn't know me? This cute doctor doesn't know me??? Why?!” Ia berbisik Jengah pada Eric, namun ditanggapi dingin.

“Tidak semua orang harus mengenalmu, bodoh.”

Felix tidak menghiraukan sang manager. Ia terus-terusan menatap Jeongin penuh puja.

“So, cutie. What's your name? Where are you from? Do you want doing collab with me??” Tanyanya sambil menaik turunkan alis, melempar senyum laknat. Namun Jeongin lagi-lagi tersenyum pasrah, membuat Felix makin berani menggoda. Sampai mereka tidak sadar, dokter Hwang mendekat. Ia sedaritadi menguping dari tirai sebelah, agak jengah dengan kehadiran pasien menyebalkan.

“Dokter Yang, lakukan hecting pada pasien sebelah.” Sang konsulen mengoper Jeongin untuk menangani pasiennya yang luka ringan.

“Hei, hei you. I just want that doctor for checking my arms. I dont want you, please let him here with me.” Felix protes pada Hyunjin sembari menunjuk Jeongin yang hendak pergi.

“Dia dokter muda, belum bisa mengambil tindakan untuk pasien fraktur. Jadi.... kau akan bersamaku.” Hyunjin menjawab dingin sembari mengulas seringai samar. Ia mengode Jeongin untuk segera pergi.

“Wait! I don't even know your name! Oh, your phone number too. Wait—-aaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkk!!!!!” Felix yang fokus merengek pada Jeongin tiba-tiba menjerit seram saat lengan patahnya diluruskan oleh Hyunjin untuk dipasang bidai.

“No phone number for now, Mr Lee. Your arm is broke.” Balas Hyunjin datar menirukan bahasa inggris Felix yang kacau.

****

'Sakura sedang bagus-bagusnya di atas bukit. Ayo ambil jatah libur dan pergi kesana.'

Ya... atas dasar ide dari Jaemin, Jisung dan Jeongin memantapkan diri mengambil jadwal jaga nonstop 2 hari penuh agar bisa mengambil libur H-1 sebelum pindah stase ke rumah sakit lain. Mereka ingin menikmati hanami di sebuah bukit sakura daerah mereka praktik.

Di sela kegiatan, nampak raut sedih kentara dari Jisung yang sedang menulis status pasien.

“Lusa sudah pindah stase ya...” Gumamnya menerawang.

“Memang kenapa kak?” Tanya Jeongin sekadar. Ia masih menulis rekapan pasien pada jurnal jaganya.

“Aku sudah kerasan disini. UGD sudah seperti rumahku.” Jawabnya muram.

“UGD... atau dokter Lee yang sudah seperti rumahmu?”

Ditembak seperti itu bukannya merengut malu, justru si tupai centil makin mewek.

“Jeonginie.”

Ah...panggilan khusus yang hanya diucapkan satu orang. Jeongin bangkit, menghampiri dokter Hwang yang tadi memanggilnya pelan. Ia langsung menyiapkan tindakan sementara sang konsulen masih berdiskusi dengan keluarga pasien.

“Lakukan.” Perintah Hyunjin begitu Jeongin di sebelahnya. Ia sekarang diberi keleluasaan untuk memberi tindakan pada pasien, tidak seperti saat pertamakali menginjakkan kaki di UGD. Sang konsulen galak hanya berdiri di belakang, mengamati.

“Kerja bagus.” Ujarnya saat Jeongin selesai memberi tindakan. Pemuda manis itu balas tersenyum senang, sudah biasa diberi pujian sekarang. Hyunjin bahkan lebih banyak mengobrol dengannya dibanding rekan-rekan sesama pegawai UGD. Ah, benar kata Jisung...UGD adalah tempat ternyaman sekarang.

Ia menatap punggung dokter Hwang yang sedang memastikan kondisi pasien stabil. Entah kenapa....rasanya agak berat memikirkan perpisahan dengan orang yang menjadi partner kerja selama hampir 10 minggu. Hyunjin tidak pelit ilmu. Ia justru mengajarkan teknik menangani kegawatdaruratan khusus dan memberi nilai sempurna pada saat ujian stase. Jeongin mengerti. Ia mendapati Hyunjin marah karena sang dokter tidak ingin rekannya membahayakan pasien.

“Pulang lebih awal, istirahatlah.” Hyunjin yang merasa ditatap dari belakang, berkata pelan pada Jeongin sambil mengatur tetesan infus.

“Eh, itu.... saya hari ini full shift, dokter Hwang.”

Jawaban Jeongin membuat Hyunjin berbalik. Ia mengernyitkan dahi.

“Kau sudah full shift sejak kemarin. Hari ini juga?”

Jeongin mengangguk kecil.

“Saya berencana liburan besok. Jadi, untuk memenuhi jadwal, kami memutuskan mengambil full shift selama 2 hari.”

Nampaknya Hyunjin tidak bisa berkomentar lagi. Ia hanya mengangguk paham.

“Jaga kondisimu. Salah-salah bisa sakit nanti.” Pesannya sebelum meninggalkan Jeongin. Diperhatikan seperti itu tentu saja membuat dokter Yang senang.

“Tentu dokter!”

“Aduh, senangnya diperhatikan dokter kepala. Kenapa bersamaku dia selalu marah-marah?” Jisung mendekat seraya bergumam iri dengki. “Ayo istirahat dulu. Kak Minho menitipkan makanan tadi.”

Jeongin memutar bola mata, malas. “Dasar tidak berkaca.”

Malam itu pasien datang bertubi-tubi, membuat Jisung dan Jeongin harus begadang semalaman lagi.

Keesokan hari, dokter Hwang yang baru datang untuk shift pagi mengernyit mendapati ruangannya penuh. Ia berinisiatif mencari keberadaan Jeongin yang ternyata sedang merapikan alat di belakang.

“Shift malam diserbu pasien?” Tanyanya sembari menepuk bahu yang lebih muda. Jeongin berbalik, mendapati Hyunjin di belakangnya.

“Iya dok.” Jawabnya mengulas senyum lemah. Hyunjin mengernyit khawatir.

“Pulang.” Perintah sang konsulen tegas.

“Eh? Tapi dok—”

“Kau pucat. Pulang.”

Ah.... tampaknya Jeongin memang sedikit sakit. Ia merasa sangat pusing efek tidak tidur dua hari berturut turut. Mengangguk pelan, dokter Yang selesaikan bilasan pada alat yang sudah dipakai. Belum sempat tangan menyentuh keran, tubuhnya limbung ke belakang, ditangkap tepat waktu oleh dokter Hwang.

****

Jeongin membuka kelopak mata saat jam dinding menunjukkan pukul satu siang. Ia mengedarkan pandangan, menatap ruangan asing tempatnya berbaring. Ada 3 single bed berjajar di sebelahnya dan satu meja kayu di ujung tempat tidur. Ruangan temaram karena jendela di ujung kiri tertutup tirai. Pandangan Jeongin beralih pada lengan tertancap jarum infus.

Sebenarnya ia ada dimana?

Belum terjawab, pintu ruangan terbuka, menampilkan dokter Hwang yang menatap teduh dengan gurat khawatir pada wajah.

“Sudah baikan?” Tanyanya sembari mendekat. Jeongin mengangguk seraya mencoba duduk di tempat tidur. Kepalanya sudah tidak pusing lagi. Dokter Hwang menyodorkan sebotol air mineral untuknya.

“Kelelahan dan dehidrasi. Seharusnya kau tidak memaksakan diri mengambil full shift berturut-turut hanya untuk melihat sakura.” Nasehat Hyunjin pelan. Jeongin melotot kaget.

“Aku tahu dari dokter Han.” Seolah membaca pikiran, sang konsulen segera menjawab. Ia mengusak pelan surai hitam dokter Yang.

“Jangan memaksakan diri lagi. Lebih baik kau minta izin libur langsung padaku.” Tatapannya menerawang pada wajah Jeongin yang sudah terlihat lebih baik.

“Me.. memangnya dokter mengizinkan?”

Hyunjin mengangguk.

“Kau sudah bekerja dengan baik. Aku akan menghargai itu.” Ia menurunkan tangan dari surai Jeongin. “Tapi sekarang, sepertinya kau tidak bisa melihat sakura bersama teman-temanmu. Bahkan Han Jisung sudah mendahului pamit.” Bohong Hyunjin. Padahal ia sendiri yang mengusir Jisung pergi dengan dalih Jeongin butuh istirahat.

Dokter Yang menatap nanar jam di dinding. Janji mereka pergi pukul 10 pagi. Padahal sudah susah mengambil full shift, malah berakhir seperti ini. Tapi ia lebih kasihan jika teman-temannya membatalkan acara karena kondisinya. Maka Jeongin hanya mengangguk lemah.

“Aku mau pulang.” Ucapnya kemudian.

“Tidak ingin menonton sakura berguguran?”

Pertanyaan dokter Hwang membuat Jeongin mendongak. “Tapi aku,—”

“Kau tidak perlu kemana mana.” Sang konsulen berjalan pelan ke ujung kiri, menarik tirai yang menutupi jendela. Jeongin menganga takjub mendapati pemandangan dibaliknya. Sebuah pohon sakura dengan bunga berguguran.

“Kamar jaga khusus UGD ini memiliki pemandangan pohon sakura. Tidak banyak yang tahu karena letaknya di pojok belakang.” Hyunjin menjelaskan sembari membantu Jeongin berdiri. Pemuda itu jelas kegirangan, apalagi setelah jendela geser tersebut dibuka. Ada dek kayu untuk duduk menonton sakura. Sang dokter muda duduk disana setelah dokter Hwang membantu membenahi tiang infus.

“Terimakasih, dokter Hwang.” Ucap Jeongin tulus saat Hyunjin juga membuka kotak bekal yang dibelinya tadi beserta kaleng teh. Desir angin sepoi-sepoi membawa beberapa helai guguran bunga ke arah mereka. Dokter Yang memejamkan mata, menikmati wangi tipis sakura terbawa angin.

“Setelah ini pindah kemana?” Dokter Hwang bertanya sembari memusatkan maniknya pada pohon. Kaleng teh di tangan ia putar pelan.

“Rumah sakit pinggir kota. Stase kebidanan.” Jawab Jeongin. Hyunjin hanya terdiam setelahnya.

“Kapan berangkat?”

“Lusa.” Ada nada sedih dalam kalimat Jeongin.

“Hari ini terakhir di UGD?”

Dokter Yang melirik sang konsulen yang masih termenung.

“Dokter Hwang...”

“Hm?”

“Saya... akan merindukan anda.”

Jeongin sudah menunduk sembari mengigiti bibir bawah. Tanpa pikir panjang ia malah melontarkan kalimat terdengar macam seorang penggoda. Namun dokter Yang tidak bohong. Ia akan merindukan jadi asisten seorang konsulen handal yang sempat dikiranya pemarah. Jeongin...akan merindukan sosok tampan dokter Hwang yang dingin namun perhatian.

“Aku... juga.”

Jawaban pelan dari bibir Hyunjin membuat Jeongin mendongak. Netra mereka bertemu. Pria itu tengah memandangnya dengan wajah sedih samar. Namun sang dokter kemudian tersenyum tipis.

“Jadi seorang dokter tidak mudah. Kau bertanggungjawab terhadap nyawa pasien. Belajar yang rajin. Serap ilmu dari para senior di tiap stase, lulus tepat waktu dan jangan kecewakan orangtuamu.” Hyunjin sekali lagi mengusak surai Jeongin. Pesan sederhana yang disampaikan, malah membuat netra pemuda manis itu memanas. Guguran sakura entah kenapa membuat otaknya makin kuat merekam memori bersama dokter Hwang untuk dikenang.

“Boleh aku memelukmu?”

Tawaran Hyunjin tentu tidak disia-siakan Jeongin. Ia langsung memeluk sang konsulen erat, sementara dokter Hwang mengusap punggungnya menenangkan. Ia tidak pernah punya mahasiswa praktik se istimewa Jeongin. Ini pertamakali.... Hyunjin memberi perhatian lebih pada seorang dokter muda bernama Yang Jeongin. Ada keinginan dalam hati kecil Hyunjin yang ingin diungkapkan. Jadi ia coba utarakan.

“Jeonginie, aku—”

“Dokter Hwang!” Suara seorang perawat mengetuk pintu ruang jaga. “Ada pasien gawatdarurat!”

“Aku segera kesana!” Jawab Hyunjin. Terpaksa ia telan kembali kalimat.

“Pulanglah setelah cairan infusmu habis.” Hyunjin melepas pelukannya seraya menatap wajah Jeongin yang hampir menangis. Ia berdiri, berjalan dari dek kayu menuju pintu kamar.

“Good luck... I guess?” Hyunjin berhenti sebentar melirik pada Jeongin. Pemuda itu menggeleng.

“No....Good luck and see you again, dokter Hwang.”

****

2 tahun kemudian.

“Dokter Hwang, pasien kecelakaan!” Teriak perawat dari arah depan. Hyunjin memijat pelipis sembari berjalan menyongsong pasien. Kuncup sakura baru saja melejit, namun pasien benar-benar macam air bah. Setelah menganamnesa, ia mulai melakukan tindakan penjahitan.

“Kasa.” Pintanya pada asisten di belakang yang langsung menyerahkan kasa steril ke tangan sang dokter.

“Pinset.” Dokter Hwang sangat serius, hingga tidak menoleh sedikitpun.

“Plester.” Jaritan selesai, Hyunjin meminta plester sebagai penutup luka.

“Terimakasih, suster.” Ujarnya begitu selesai melakukan tindakan.

“Sama-sama.”

Dokter Hwang mematung. Itu bukan perawat, melainkan suara yang dikenalnya. Ia berbalik, menemukan Jeongin dengan setelan kemeja dan jas putih, serta tanda pengenal baru khusus pegawai rumah sakit tersemat di dada. Dokter Yang tersenyum.

“Jeonginie?” Hyunjin bergumam tidak percaya.

“Halo dokter Hwang, saya pegawai baru UGD yang direkrut kemarin. Mohon bantuannya!”

“Bagaimana bisa?”

“Ah, saya sudah lulus tahun lalu dan sengaja mengikuti tes untuk penempatan di rumah sakit ini. Sekaligus ingin memastikan sesuatu.”

Dokter Hwang menunggu kalimat yang akan diucapkan Jeongin.

“Saya masih penasaran dengan apa yang akan anda ucapkan di kamar jaga dulu. Tolong beritahu saya.”

Hyunjin berkedip tidak percaya. “Kau...bekerja disini agar bisa menanyakan itu?”

Jeongin menggeleng.

“Karena saya juga merindukan anda.” Gumamnya dengan suara kecil.

Hyunjin tersenyum simpul. Ah....jadi ada kesempatan juga.

“Kau mau tahu...yang ingin kukatakan saat itu?”

Jeongin mengangguk antusias.

“Ayo kita kencan...dokter Yang.”

****