write.as

NEW ROMANTICS

Tidak tahu sudah berapa jam Marcel terlelap, cairan alkohol cukup membantunya beberapa hari ini dikala kantuk tidak jua menghampiri. Benar kata Theodore — efek yang ditimbulkan sang mantan memang luar biasa, Marcel sudah mencoba untuk bersikap cuek dan menomor duakan rasa patah hatinya, tapi sulit, bayangan Atra selalu muncul, dimanapun, kapanpun, sampai ia berpikir akan hampir gila.

“Anjing.” desis tak tertahan tatkala pening menghujam, di atas tempat tidur, Marcel masih duduk termenung, perlahan mengumpulkan nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, tidak sadar kalau kamar tidurnya sudah berubah; lebih bersih dan layak huni. Tidak ada lagi sampah kaleng, atau bekas botol minuman, dan baju baju yang berserakan.

Di tempat lain — Atra masih setia berkutik dengan bahan bahan masakan yang ia temui di dalam kulkas. Sup jagung instan menjadi pilihannya, karena bumbu itu hampir expire jika di diamkan lebih lama.

“Haduk pelan dengan api kecil.” Atra mengulang kalimat tersebut sambil terus mengaduk sup yang sudah berada di panci kecil.

“Anying kalo begini kapan matengnya?!” gerutuan terdengar karena tidak ada tanda-tanda akan matang dari sup yang ia haduk.

Plak!

Dengan cepat fokus Atra teralih saat mendengar suara barang jatuh dari belakang, panik ada banyak, namun tak sampai lama — karena ketika pandangan mereka bertemu, isi kepalanya seolah kosong, bibirnya tidak mampu berucap barang satu kata sekali pun, perasaannya campur aduk. Ini pertama kali, Atra melihat Marcel lagi; setelah perpisahan malam itu.

“Hai.” Atra lebih dulu memecah keheningan, Marcel masih diam membisu.

“Oh, gua kesini mau kasih titipan Bunda,” Atra menggeleng, mengoreksi kalimatnya, “Titipan nyokap lu, itu ada di ruang tengah.”

Marcel masih diam di tempat, pandangannya tidak putus dari sosok di hadapannya yang kini hanya berjarak kurang dari dua meter.

“Ini sorry, tadi gua liat kayanya gak ada makanan di tempat lu, jadi gua coba masakin yang ada.” Atra mulai gugup, sedikit banyak jantungnya berdegup tidak karuan.

Bagaimana tidak?! Saat ini Marcel benar-benar diam seribu bahasa sementara Atra sudah sejak tadi mengobrak-abrik Apartemennya, dasar kurang ajar.

“Oke…” masih tidak ada jawab, perlahan Atra mamatikan kompor di belakangnya, untuk segera berpamitan. Sungguh — Marcel yang hanya diam tanpa ekpresi yang tidak terbaca seperti ini membuat Atra bingung dan tidak enak hati.

“Gua pamit, ini supnya tinggal diaduk-aduk aja. Sorry ganggu, Cel.” — pamit, kata itu tidak sesuai dengan aksinya, karena Atra masih berdiri disana, berharap sebuah respon dari Marcel. Kalau Marcel memintanya untuk tetap tinggal — Atra bersumpah tidak akan pergi, ia tidak akan pergi, lagi.

“Tra?”

“Ya?”

Marcel membawa langkahnya mendekat membuat Atra terpaku di tempat; tatapan itu masih sama, tidak pernah berubah sekalipun Atra mengores banyak luka, Marcel tetap memandangnya penuh kasih.

“Cel, gue minta maa-” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tubuh Atra terhuyung ke dalam pelukan Marcel — sangat erat.

“Kalo cuma mimpi jangan biarin gua bangun plis plis plis.” gumam Marcel berulang dengan kalimat yang sama, teramat kecil tapi bisa Atra dengar cukup jelas. — Sekacau itukah?

“Jangan bangun, jangan bangun.” ucapannya terus berulang, membuat hati Atra tercabik.

“Cel,” belaian lembut pada tengkuk Marcel membuatnya berhenti melafalkan kalimat berulang tersebut, “Lu gak mimpi, gua disini.”

Sebut Marcel gila, mengapa terasa sulit baginya membedakan yang nyata atau tidak. Ia terlalu sering berharap Atra kembali dalam peluknya tapi tidak kunjung terjadi — namun sekarang? Bukankah ini mimpi? Bagaimana jika setelah ia melepas pelukannya, Atra akan hilang?

“Jangan pergi Tra, maafin gua.”

Bagaimana bisa Marcel tetap memohon setelah Atra menyakitinya begitu dalam? Sialan, Atra merasa tidak pantas untuk ini.

“Cel,” sedikit paksa akhirnya pelukan itu terlepas, Atra menangkup pipi Marcel, menatap laki-laki di hadapannya.

“Maafin gua, gua salah. Harusnya gua gak ngomong hal yang nyakitin perasaan lu.”

“Maaf, maafin gua- gua takut, kemarin gua takut, gua gak tau kalo kata-kata gua bakal nyakitin lu kaya gini. Gua nyesel.” suaranya lirih.

“Maafin aku…”

Kalimatnya berantakan, Atra merindukan Marcel sebanyak Marcel merindukannya, ia tidak mau membuat Marcel pergi lagi.

Atra menundukan kepala, tidak sanggup menatap Marcel terlalu lama, dan entah sejak kapan, kedua tangannya sudah menggenggam ujung kaos Marcel begitu erat sempai buku-buku jemarinya memerah.

Are you happy?

Atra menggeleng.

I’m not.

“Tapi, kalo kamu masih belum bisa lupain kejadian kemarin, aku paham Cel.” ada perasaan sesak yang mengganjal.

“Kata-kata aku waktu itu,” bohong, “I do love you, aku sayang kamu. Maaf, maaf udah buat kamu kecewa.”

“Kalopun kita gak bisa kaya sebelumnya, aku cuma mau kamu tau, aku sayang sama kamu.” sampai detik ini.

“Aku tau. Aku tau kamu bohong, aku cuma butuh denger semuanya langsung dari kamu.” satu tangan Marcel menangkup pipi Atra. Setelah kejadian itu Marcel selalu mayakinkan dirinya sendiri, kalau ucapan Atra malam itu hanya bualan belaka, namun meyakinkan diri sendiri tidaklah cukup — sampai Atra mengatakannya langsung.

Can we start… all over again?