BASE

‘BRAKK!!’

Terlihat Gibran membuka pintu kelas yang tengah tertutup itu dengan keras. Dan tentu saja, ia memasang ekspresi wajah paling sangar yang ia miliki.

“Yang namanya Yoga, maju sini,” ucapnya tenang, mencoba meredam emosi.

Beberapa murid yang berkerumun di belakang menunduk terdiam, enggan menjawab pertanyaanya. Mereka semua takut menatap Gibran yang juga sedang menatap mereka dengan tajam.

“Yang namanya Yoga ga jawab? Ga punya mulut apa gimana?” Tetap sunyi, tidak ada satupun yang berani menjawab.

Mata tajamnya dengan teliti membaca satu persatu tag nama yang tercantum pada dada kiri siswa kelas 10. Hingga akhirnya ia temukan tag nama bertuliskan ‘Yoga Prayogi’, membuat Gibran menghela nafas panjang dengan berat. Bocah itu tengah menyembunyikan dirinya dari amarah Gibran.

Dengan tiba-tiba, Gibran menarik kerah baju milik Yoga dan mencengkramnya dengan keras, amarahnya sungguh sedang berada di ujung tanduk saat ini.

“Dibayar berapa lo sama Aisha buat posting konten sampah kaya gitu, hah?!” bentak Gibran pada Yoga. Tetapi, Yoga enggan menjawab pertanyaan Gibran. Hal itu justru semakin menyulut emosi Gibran.

‘BUGGH!’

Gibran pukul pipi tegas milik Yoga dengan kencang, akibatnya memar berwarna merah keunguan terlihat.

“Dibayar berapa, gue tanya?!”

“M-maaf bang,” jawabnya lirih menahan lara.

“Gue ga butuh maaf lo sekarang brengsek! Jawab dulu pertanyaan gue, dibayar berapa?!” Gibran eratkan cengkraman tangannya pada kerah Yoga.

“Dua j-juta bang, ampun bang, maaf!”

‘Cuih!’

Gibran meludah kesebelah kanan, lalu menatap muka memar Yoga.

“Bayaran sedikit begitu lo terima buat nyebarin beruta gituan?”

Yoga diam tak berkutik, air matanya perlahan menetes. Tak lama dari itu dengan tiba-tiba dari arah kanan, Asa datang dengan nafas tak beraturan. Menatap takut pada Gibran.

Gibran melirik ke arah Asa, dengan segera ia lepaskan cengkaraman pada kerah Yoga lalu berjalan menjauh menuju UKS. Meninggalkan Yoga dengan luka lebam di wajahnya.

Dengan segera Asa berlari menuju UKS, mengikuti Gibran dari belakang. Setelah sampai di UKS, Asa melihat Gibran tengah merebahkan dirinya di atasa salah satu kasur berwarna biru tersebut. Dapat di lihat juga melalui mimik wajahnya bahwa, Gibran tengah mencoba untuk meredam amarah yang tadi sempat dibuat memuncak.

“Kenapa berantem, Gib? Sama adik kelas lagi,” tanya Asa sembari memberanikan diri berjalan pelan menuju kasur Gibran.

“Gapapa, lagi pengen mukul orang aja,” jawab si dominan dengan helaan nafas pelan di akhir.

“Pasti ada alasannya, gamungkin tiba tiba mukul aja”

“Ngga, gue lagi pengen mukul orang aja”

“Terserah, nanti aku cari tahu, terus juga kenapa kamu yang kesini?”

“Ya gapapa, emang gue gaboleh kesini?” jawab Gibran sembari menatap wajah Asa dengan datar.

“Harusnya yang kamu gebukin yang kesini, bukan kamu”

“Yaudah, udah deh gue mau ke kelas dulu, siap siap di panggil BK” Gibran tinggalkan Asa sendiri di ruang UKS dengan perasaan bingung yang menyelimuti dirinya.