KEMBALI

“Udah siap?” tanya Gibran sembari memberikan helm yang dulunya merupakan hal wajib yang ia bawa setiap hari sebelum berangkat sekolah.

“Udah kok,” timpalnya lalu tak lupa mengucapkan terima kasih saat ia menerima benda bulat tersebut. Helm ber merk Cargloss dengan warna hitam legam sudah melekat di kepalanya. Ia pun menaiki motor besar milik Gibran dengan hati-hati, sungguh ini adalah salah satu motor yang ia benci milik Gibran.

Oh ya, hampir lupa untuk menyebutkan bahwa Gibran merupakan pengkoleksi motor. Terdapat 15 motor yang ia koleksi, tertata rapi di garasi rumahnya. Motor-motor tersebut ia pakai bergantian, kadang juga ayah gibran juga meminjam motor sang anak untuk bepergian.

“Yaudah gue gas ya.” Ucapnya sembari memutar gas motor dengan kecepatan normal, Asa hanya mengangguk pelan. Gibran dapat melihatnya dari spion kanan motor nya. Ia sebenarnya juga menunggu satu hal yang ia harap akan dilakukan oleh Asa. Memeluk pinggangnya seperti dulu. Namun nihil, sepertinya Asa enggan melakukannya. Berakhir Gibran menyetir dalam diam dan menghardik betapa awkwardnya moment saat ini.

Tak lama dari itu, mereka telah sampai di SMA tempat mereka menambah ilmu atau SMA ALASKA. Saat mereka berdua memasuki pintu gerbang, seluruh mata menatap Gibran dan Asa dengan tampang heran.

Banyak siswa dan siswi tengah berbisik pelan, seolah tak percaya apa yang sedang mereka lihat. Beberapa menanggap bahwa Gibran hanya menebengi Asa, namun beberapa dari mereka juga bahagia, karena mereka kembali menjadi sepasang kekasih lagi.

Saat sampai di parkiran, semua mata tetap tertuju pada mereka. Oh, kini terdengar suara jepretan kamera handphone, tinggal menunggu beberapa jam lagi base sekolah akan dipenuhi oleh wajah mereka berdua.

“Ya ampun, masih aja kaya gini ternyata.” ucapnya pada Gibran yang sedang mengunci motornya.

“Emang kaya gini, dari dulu ga berubah,” timpalnya.

“Eh udah boleh pakai aku-kamu kan?” tanya nya sembari menatap yang lebih kecil. Si kecil mengangguk pelan dan tersenyum. Dalam hati Asa, ia sedikit nervous, mengingat bahwa Aisha merupakan salah satu siswa berpengaruh di sekolah.

Oh ya, tak lupa sebelum mereka pergi menuju kedalam sekolah, Gibran sengaja mengaitkan tangannya dengan tangan Asa. Tentu saja, tangan Asa masih nyaman di genggam. Sama persis seperti dulu.

Berjalanlah mereka berdua melewati lorong demi lorong, saat mereka melewati lorong ke tiga, tempat dimana Gibran dan Asa akan berpisah, tiba tiba Gibran dan Asa berpapasan dengan Aisha lengkap dengan tatapan sinis yang tentu saja ia berikan untuk Asa.