write.as

BLANK SPACE

Marcel sudah menghabiskan hampir tiga puluh menit di tempat duduk sambil sesekali meneguk beer dan menyesap sigaret miliknya, sementara matanya sibuk berselancar pada benda pipih yang ia pegang, tidak mempedulikan teman-temannya yang berceloteh ria atau sesekali terjun ke lantai dansa yang dipenuhi spesies kita; manusia.

“Cel, lagi nonton bokep ya lu?” celetuk Alief dengan suara yang cukup keras tapi terdengar samar karena kalah oleh dentuman musik kencang.

“Apaan?!”

“LU LAGI NONTON BOKEP?” ulang Alief selanjutnya terdengar lebih kencang sampai mengundang gelak tawa teman-teman Marcel yang lain.

“Kenapa, mau?” ujarnya tampak serius membuat tawa berhenti, Jinan yang kala itu duduk di samping Marcel sampai memanjangkan leher untuk mengintip layar ponsel milik temannya, memastikan benar nonton bokep atau tidak.

“Yah Cel, lagi begini jangan nonton bokep, noh tinggal pilih.” Arkan menambahi sambil melirik kelima gadis yang sedang asik berjoget di lantai dansa; disana ada Wina, Sena, Maria, dan dua orang lain yang Marcel lupa namanya.

“Wes bos, yang itu udah punya gua, jangan lu santap juga.” ujar Alief menunjuk Maria, maklum cinta belum selesai.

“Sena oke juga, Cel.” Theodore nimbrung, matanya tak lepas dari Sena yang saat itu tidak jauh dari pendangan mereka, membuat Marcel ikut memperhatikan fokus Theo.

“Coy, Sena kan udah gua duluan.” Arkan komplain, “Cari yang lain aja lu.”

“Sembarangan lu.” Marcel melempar kaleng soda kosong ke arah Arkan, menandakan bentuk difensif ia akan Sena mengundang ledekan dari teman-temannya.

“Jadi berlabuh ke Sena nih?” “Oh, Sena ternyata.” “Anjay akhirnya tobat lu.” “Jangan lupa Abangnya, Cel.”

Duh, bagaimana ya. Marcel ‘kan hanya menjalankan amanah untuk menjaga Sena.

Ledekan yang terus dilemparkan pada Marcel mungkin tidak akan berhenti kalau Wina tidak datang dan duduk membelah jarak antara Jinan dan dirinya. Gadis itu tidak henti mendapatkan kembali perhatian Marcel sejak keduanya putus, sepeti sekarang yang dilakukan Wina, menggandeng tangan Marcel, terus menggoda sampai masuk perangkap.

“Cel, pulangnya ke tempat gue ya? Gue sendirian nih.” ucap Wina dengan suara yang begitu manja sesekali mengusakan wajah ke lengan Marcel.

Pemandangan itu sudah biasa; Marcel dan wanita-wanitanya, bukan suatu yang mengejutkan untuk Wadesta Nyos (nama geng mereka) jika setelah ini Marcel pergi bersama Wina untuk menghabiskan malam panas; walaupun sebelumnya Sena lah yang digadang sebagai perempuan yang sedang didekati Marcel. Marcel itu tidak teguh pendirian soal wanita; ia bisa seolah-olah mencintai siapapun untuk berakhir ditiduri.

How about the balcony? Kita belum pernah coba disana, Cel.” jemari lentik itu bergerak di dada Marcel, ia tahu kemana topik itu akan bermuara.

“Kangen banget sama kamu.” tidak mendapat penolakan dari Marcel, Wina semakin gencar menggodanya, perempuan itu bahkan sudah berani mengecup rahang tegas milik Marcel hingga meninggalkan bercak merah dari lipstick yang dipakai, membuat Marcel bergerak resah.

“Udeh, Cel, bawa aja Wina, si Sena biar kita yang jagain.” Jinan menyeringai diangguki oleh Arkan.

Dari tempatnya duduk Marcel bisa melihat Sena yang tengah asik berjoget dengan Maria, tampaknya Maria benar-benar menjalankan tugas dari Marcel untuk menjaga Sena agar gadis itu tidak mabuk dan pingsan. “Tolong temenin Sena, jangan sampe dia passed out.” kurang lebih seperti itu ucapan Marcel pada Maria, walaupun sempat menimbulkan banyak tanya dari Maria tentang kenapa harus menjaga Sena, Marcel berhasil membungkamnya dengan tas Chanel keluaran terbaru.

“Marcel, ayo pergi sekarang ajaa.” suara itu kembali menyapa indera pendengarannya, sebelas dua belas dengan Sena, Wina itu juga tidak pantang menyerah. Marcel tetaplah laki-laki normal, melihat Wina yang tak henti menggodanya tentu saja membuat ia tergiur — sebelum seseorang disebrang panggilan menyadarkan pikirannya.

“MARCEEEEL. UDAH TIGA PULUH MENIT.” “BAWA SENA PULANG.” “SEKARANG.”

Seperti biasa, tidak ada sapaan hai atau basa basi lain, sosok disebrang sana langsung mengeluarkan rentetan kalimat penuh dengan emosi tidak lupa dibumbui sumpah serapah, membuat senyum Marcel mengembang. — Atra yang galak, benar-benar berbeda.

“Iyaa, ini gua balik sekarang.” suara musik di tempat itu memang sangat kencang, tapi suara lembut Marcel teruntuk sosok disebrang telfon tidak luput dari pendengaran kawan-kawannya; belum lagi senyum Marcel yang membuat Wadesta terheran sekaligus penasaran dengan siapa Marcel berbicara.

Sambungan terputus.

“Sorry, gua balik duluan. Sena biar sama gua aja.” dengan cepat ia berdiri dari duduknya seperkian detik setelah telfon dimatikan.

“Serius langsung balik lu?” “Siapa yang telfon?” “Lah bocahnya pergi.”

Marcel memilih untuk meninggalkan teman-temannya dengan pertanyaan tak terjawab, juga, meninggalkan Wina yang sudah sangat kesal disana. Ia menghampiri Sena, membawa gadis itu pergi setelah berpamitan dengan Maria.

“Marcel telfonan sama siapa?” mereka hanya bisa menggeleng menjawab pertanyaan Jinan.