aclinomaniaxx

kembali

#Kembali .

.

.

.

.

Sorry for typos ^^


Safirnya membelak kaget ketika menangkap kehadiran sosok yang ia rindukan kehadirannya belakangan ini. Kawasaki w175 terparkir rapih di depan fakultasnya dengan sosok berambut mullet dengan warna senada dengan es krim milik brand ternama itu duduk diatasnya, menunggu seseorang sepertinya.

Ingin rasanya Sanzu berbesar kepala bahwa presensinya disini adalah untuk menemui dirinya, namun mengingat pertengkaran mereka Sanzu memilih menundukkan kepalanya dan melenggang pergi dari sana. Mustahil dia disini untuk mencarinya.

Namun sebuah teriakan yang menyerukan namanya menghentikan Sanzu untuk melangkah lebih jauh lagi. Sanzu berbalik dan melangkah mendekat untuk memastikan bahwa benar dirinya lah yang dipanggil beberapa saat lalu.

“Lo manggil gue?” Sanzu menundukkan kepalanya menatap kerikil yang tersebar atau apa saja selain pemuda di hadapannya ini.

“Kalau diajak ngomong itu tatap lawan bicaranya dong.” Suara berat yang ia rindukan itu mengalun lembut menyapa indra pendengarannya, jauh berbeda dengan teriakan yang ia dengar saat pertengkatan mereka.

Sanzu beranikan dirinya untuk dongakkan kepalanya, pertemukan safir miliknya dengan sepasang violet yang tidak pernah gagal menarik perhatiannya.

“Ayo sini naik, cari makan terus muter-muter bentar mau gak?” Sebuah helm diulurkan pada Sanzu, menandakan dia benar-benar mengajak Sanzu untuk pergi bersamanya.

“Tapi kan ini lo sama gua la-

“Jawabannya cuma mau atau enggak?” maka Sanzu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Dipakainya helm yang tadi diulurkan padanya, kemudian menaiki jok belakang dengan tergesa; tidak ingin membuat pemiliknya menunggu lebih lama lagi. Sanzu mantapkan hatinya bahwa dia harus menyelesaikan masalahnya hari ini, jika dia beruntung mungkin setidaknya mereka masih bisa berteman. Jika pun tidak bisa berteman kembali, setidaknya Sanzu ingin dimaafkan.

Berkendara dibawah hamparan langit jingga, mencari apapun yang bisa dimakan sembari melepas penat seusai kuliah seperti saat ini membawa Sanzu pada kenangan yang lalu dimana kedekatan mereka juga berawal dari sini, pulang kuliah dan makan berdua di soto langganan Rindou.

“Mau bakso gak?” Tanya Rindou sedikit keras agar terdengar oleh Sanzu di belakangnya.

“Boleh, gue makan apa aja kok.” Tidak ada jawaban selain anggukan singkat yang Sanzu dapatkan.

Sanzu menatap punggung lebar nan kokoh itu, berkecamuk dengan pikirannya. Ingin sekali ia memulai pembicaraan, namun bingung harus memulai dari mana.

“Ayo turun, kok malah bengong.” Terlalu larut kebingungan, Sanzu tidak menyadari bahwa Rindou telah memarkirkan motornya di depan sebuah ruko kecil dengan antrean manusia yang membuat Sanzu meringis saking panjangnya.

Sanzu berada di sebelah Rindou ketika mereka mengantre di barisan yang kesekian, dongakkan kepalanya untuk menatap pemuda yang lebih tinggi. Sanzu terheran dibuatnya, antrean begitu panjang namun bagaimana bisa Rindou tetap begitu sabarnya menunggu.

“Udah laper banget? Sabar ya bentar lagi dapet ini.” Rindou memecah hening yang sedari tadi memerangkap mereka, Sanzu melihat antrean yang sudah berkurang setengah dan menangguk mengiyakan ucapan Rindou.

“Lo mau apa aja, Zu?” Tanya Rindou ketika sudah giliran mereka namun mangkuk Sanzu masih kosong, sedikit berbeda dengan miliknya yang sudah hampir penuh.

Sedikit canggung, Sanzu mengambil sebuah bakso urat besar dengan dua bakso halus yang kecil serta satu buah tahu putih dan kemudian bergabung dengan Rindou yang yang sedang mengantre untuk mendapatkan kuah dan juga membayar pesanan.

“Gitu doang? gak mau nambah? Gorengannya enak loh apalagi paru gorengnya, atau nambah lontong kek biar kenyang.” Tawar Rindou kembali namun hanya dibalas gelengan kecil oleh Sanzu.

“Jadi satu mas? Totalnya tiga puluh satu ribu.” Baru saja Sanzu akan membayar namun Rindou sudah menyerahkan sejumlah uang pas terlebih dahulu.

“Yahh di dalem udah penuh nih, Zu. Ngemper di trotoar depan mau gak?” Tawar Rindou ketika menyadari meja yang ada di dalam sudah dipenuhi oleh pengunjung lain.

“Gapapa kok, ayo.” Sanzu keluar terlebih dahulu sembari membawa mangkuk yang telah lengkap berisi mie, bawang goreng, daun bawnag serta kuah dan juga segelas es jeruk.

“Agak mendung gak sih ini?” Tanya Sanzu ketika mereka sudah duduk bersila di bawah satu payung besar yang tersedia di trotoar. Belum sempat Rindou menjawab, namun suara guruh yang menggelegar serta kilat yang saling menyambar sudah menjawab terlebih dahulu.

“Anjing kok tiba-tiba hujan sih, ayo dah Zu cepetan makannya. Tai lah mana kita di luar.” Rindou mulai memasukkan suapan pertamanya sedikit terburu.

“Ih seger banget deh es jeruknya.”

“Enak banget sih ini baksonya, keren banget dah lo bisa tau tempat tempat kek gini.”

Begituah ocehan Sanzu yang dengan semangat mengapresiasi rasa enak dari seporsi bakso yang ia nikmati, sebelum akhirnya dibungkam oleh tetasan air yang turun cukup deras. Rindou dibuat terkekeh ketika melihat Sanzu yang kini tidak berhenti memaki dengan mulut penuh.

Sanzu tidak membutuhkan makanan mewah, seperti yang kebanyakan orang inginkan. Makan dipinggiran, dengan Rindou saja sudah lebih dari cukup. yang Sanzu inginkan hanyalah Rindou.

“Aduh baju gue basah ih.” Sanzu terperanjat ketika tetesan air mulai mengenai sebelah sisi pakiannya.

“Deketan sini coba” Ujar Rindou agar Sanzu lebih mendekat ketengah, kearahnya.

“Yeee ya sama aja dong, lo juga basah dong kalau gitu.” Sebenarnya Sanzu mau-mau saja lebih dekat dengan Rindou, senang malah. Namun dia berusaha sadar diri agak tidak memperburuk keadaan mereka.

“Ih sumpah kesel banget deh, es jeruk gue udah gak seger lagi. Ini apa kecampur air hujan ya?” Walapun sedikit protes berkata bahwa sudah tidak enak lagi Sanzu tetap saja menghabiskan es jeruk miliknya hingga tegukan terakhir.

“Tumben cepet makannya?” Sedikit terheran, Sanzu yang biasanya membutuhkan waktu lama untuk menghabiskan makanannya kini dihadapan mereka hanya ada dua mangkuk dan gelas kosong.

“Enak banget terus hujan juga keburu dingin nanti baksonya.” Sanzu menggosok-gosok kedua telapak tangannya, udara dingin ketika hujan di kotanya benar-benar menusuk. Dilihatnya Rindou menyalakan sebatang tembakau di belah bibirnya, biarkan aroma tembakau melebur jadi satu dengan aroma hujan.

“Ini kota kalo hujan dinginnya beneran bikin orang beku, kalau panas kayak mau saingan sama Bekasi, maunya ap-

Omelan Sanzu terpotong oleh kilat yang tiba-tiba menyambar. Terlampau kaget, Sanzu secara refleks memegang lengan Rindou dan menyembunyikan dirinya pada dada Rindou. Cukup lama mereka bertahan pada posisi ini, ketika Sanzu sudah lebih tenang dan mulai tersadar dengan posisi mereka, dengan cepat ia berusaha melepaskan diri, namun satu tangan Rindou yang tidak mengapit batang tembakau menahannya untuk tetap pada posisinya.

“Kalau masih takut, gini aja dulu.” Satu tangannya melepaskan ikatan pada surai perak milik Sanzu, biarkan surai panjang itu tergerai bebas dan mengusap-usap pucuk kepalanya. Setelahnya hening kembali menguasai, dengan tangan Sanzu yang memeluk Rindou lebih erat.

“Rin, lo apa gak kesel sama gue?” Suara Sanzu terdengar parau, air mata telah menggenang di pelupuk matanya.

Lama tidak ada jawaban, Sanzu tidak kuasa lagi untuk menahan air matanya. Ia biarkan lolos butiran itu basahi pipinya. Memaki dalam diri, sudah jelas Rindou membencinya, untuk apa ia bertanya kembali. Baru saja ingin melepaskan diri, Sanzu rasakan kecupan singkat di pucuk kepalanya.

“Kesel, Zu gue marah, marah banget malah. Tapi sayang gue ke elo lebih besar gue rasa. Jadi pas gue berusa benci sama lo, rasanya sakit banget.” Suara Rindou terdengar lebih berat di telinga Sanzu.

“Rin, gue ikhlas loh kalo lo benci sama gue. Karena ya gue kekanak-kanakan banget. Gue pas itu sengaja hapus tugas lo karena gue cemburu banget lo bikin tugas ini sama Souya. Gue beneran brengsek banget gak bisa menghargai orang. Jadi mending lo marahin gue, lo benci gue gapapa.” Air mata mengalir lebih deras, mulai basahi kaus hitam yang Rindou kenakan.

Rindou matikan batang tembakau miliknya. “Gue marah sama lo, tapi gue cuma bisa menghindar dari lo doang. Gue marah banget, Zu tapi gue gak bisa nyakitin orang yang gue sayang. Cukup gue lepas kontrol banting gelas di kamar itu aja. Gue tolol banget ya? Setelah semua yang lo lakuin ke gue, gue masih disini. Bahkan rasa sayang gue ke elo gak berkurang, Zu. Masih sama sejak pertama kali lo gabung sama kita di kontrakan. Rasa gue ke elo terlalu kuat, Zu.” Tidak ada yang bisa Sanzu ucapkan selain kata maaf dan juga isakan yang semakin pilu terdengar. Sanzu benar-benar menyesali sikapnya selama ini?

“Jangan gitu lagi ya, Zu. Kalo lo cemburu atau apapun, langsung ngomong ke gue. Gue bukan orang yang paham sama kode-kode gitu, jadi biar gak salah paham omongin ke gue langsung ok? Lagian kok bisa sih mikirnya gue ada apa-apa sama Souya, Souya tuh pacarnya Hakkai.” Lagi, tanpa permisi Rindou mengecup pucuk kepalanya.

“Rindou maafin Sanzu? Kita masih temenan kan?” Sanzu mendongak, perlihatkan raut kacaunya. Muka yang memerah dengan jejak air mata dimana-mana.

“Maafin dong. Maaf juga ya udah kasar pas itu sama ngilang kek pengecut. Kok temenan? Apa gak mau jadi pacar aja?” Rindou tersenyum dengan tengilnya dan dihadiahi gigitan oleh Sanzu di lengannya.

“Jangan minta maaf, Rindou gak salah. TERUS JANGAN BERCANDA DONG KOK TIBA-TIBA NGAJAK PACARAN???” Teriakan Sanzu mengundang beberapa pasang mata untuk melirik kearah mereka.

“Loh gak mau? Katanya juga suka? Gimana sih ini, sama-sama suka kok gak pacaran?” Sanzu yang merasakan pipinya semakin panas, memaksakan diri untuk lepas dari rengkuhan Rindou. Mengambil tasnya dan menaiki jok motor Rindou, meninggalkan Rindou yang masih terkekeh pada tempatnya.

“Pedelpop jelek, ayo balik mumpung hujannya agak redaan.” Panas di pipinya tak kunjung hilang, malah semakin bertambah ketika Rindou memasangkan helm padanya.

Rindou nyalakan mesin motornya dan membayar uang parkir sebelum melajukan motornya menuju kontrakan.

“Dingin banget, peluk dong.” Tanpa menunggu jawaban Sanzu, Rindou membawa kedua tangan Sanzu untuk dilingkarkan pada perutnya. Rindou memelankan laju motornya. Rindou menyetir dengan satu tangan, sedangkan satu tangannya lagi mengusap-usap tangan Sanzu yang ada diperutnya.

“Lemes banget nih meluknya, kek gak ada tenaga.” Rindou terkekeh melihat Sanzu yang memerah seperti kepiting rebus dari spion motornya.

Tanpa aba-aba, Sanzu mengeratkan pelukannya dan menyandarkan kepalanya di punggung lebar milik Rindou. Rindou tersenyum tipis dinuatnya.

“Pedelpop jelek.” Sanzu memilih untuk penjamkan matanya, menikmati aroma hujan dan aroma maskulin milik Rindou. Biarkan sensasi menenangkan ini meantarkan dirinya pulang. .

.

.

.

.

.

.

Ah, sepertinya memang benar rasa yang Rindou miliki begitu kuat. Pun dengan Sanzu.

#Kembali

Sorry for typos ^^ .

.

.

.

.

Betul kata abangnya kemarin bahwa pemuda dengan surai pink sebahu itu tidak sedang baik-baik saja, senyum yang biasanya ia tunjukkan pada orang-orang sekitarnya lenyap entah kemana digantikan oleh tatapan kosong dari dua safir miliknya.

Setelah memberikan sambutan terakhir kepada 40 orang yang mengikuti program Bina Desa, Sanzu mengarahkan mereka untuk bersiap dengan bocengan masing-masing dan segera berangkat menuju lokasi.

“Ambil, makan ini dijalan. Gue tau lo belum sarapan.” Rindou memberikan kantong plastik yang bersi dua buah roti dan juga sekotak susu coklat berukuran sedang kepada Sanzu yang duduk di jok belakang Kawasaki w175 miliknya.

Sanzu menerimanya dan memberi anggukan singkat pada Rindou. Setelahnya mereka berangkat meninggalkan kampus menuju lokasi.

.

.

.

.

.

.

.

Dari spion motornya sering kali Rindou curi-curi pandang melihat bagaimana mulut penuh Sanzu berusaha mengunyah roti dan bagaimana tenggorokannya naik turun menelan roti dan juga susu yang ia berikan tadi. Lucu batin Rindou.

Hening menemani perjalanan mereka. Sesekali Rindou lah yang iseng bertanya kemana selanjutnya jalan yang harus ia tempuh padahal rombongan di depannya sudah cukup menjadi pemandu arah, biarlah Rindou berusaha.

Rindou merasa canggung selama perjalanan karena Sanzu benar-benar tidak memberikan respon apapun. Tidak memeluk pinggangnya seperti hari yang lalu, untuk sekedar bertukar suara pun tidak. Sanzu tetap bungkam, tidak ia jelaskan kemana ia menghilang selama 5 hari terakhir, bagaimana kabarnya, dan apa yang telah ia alami. Sanzu bisu, pun Rindou tak bernyali bertukar cerita. Rindou tahu, Sanzu sedang tidak baik-baik saja.

.

.

.

. Butuh sekitar dua jam perjalanan bagi mereka untuk sampai pada tempat tujuan setelah melewati hutan dan juga jalan yang berkelok. Agak pelosok memang.

Setelah memakirkan kendaraan dengan rapi dihalaman rumah yang nantinya akan mereka tinggali, mereka bergotong royong menata barang barang yang mereka bawa dan beres-beres dirumah tersebut sebelum menuju balai desa setelahnya.

Pukul 10.00 mereka sedang bersiap di Balai Desa setempat untuk melakukan acara pembukaan bersama Kepala Desa, Ketua PKK, dan juga warga setempat. Setelah semua persiapan siap maka semua duduk pada posisi masing-masing dan saling membaur pada tempat yang telah disiapkan, kecuali Sanzu yang mana berdiri di depan memberikan pidato sambutan untuk membuka acara sebagai ketua pelaksana dan juga chifuyu sebagai koordinator sie acara yang akan menjelaskan rundown acara lebih lanjut.

Dengan berakhirnya sambutan dari Kepala Desa, maka secara remsi dimulailah acara Bina Desa 20xx dengan para panitia dan pesertanya yang menyebar sesuai tugas mereka.

Sanzu tersenyum kepada Kepala Desa dan jajarannya yang sedang duduk bersantai menikmati kopi dan jajanan pasar yang mereka sediakan sebelum permisi pamit untuk mengunjungi para panitia dan juga peserta, melihat bagaimana interaksi mereka dengan warga desa.

Sanzu melihat bagaimana kumpulan dua sampai tiga orang yang familiar baginya berbaur dengan warga desa melakukan kegiatan untuk mengembangkan potensi yang ada.

Disebelah selatan Balai Desa bisa ia lihat bagaimana seriusnya Rindou, Draken, dan Mikey mengajarkan sebagian laki-laki yang ada disana untuk membuat lubang biopori guna memberdayakan sampah organik yang ada sebagai pupuk.

Di sisi lain ia lihat bagaimana anak-anak desa setempat tertawa terbahak-bahak dalam permainan yang mereka lakukan bersama Baji, Kazutora, dan juga Hakkai. Tidak jauh dari sana terlihat juga beberapa rekannya mengajar baca, hitung, dan tulis pada anak-anak lainnya. Sanzu tersenyum dibalik maskernya melihat bagaimana bahagianya interaksi di depannya.

Kemudian beberapa perempuan yang tergabung dalam acara Bina Desa duduk membentuk lingkaran di sebuah Pendopo yang ada di luar Balai Desa bersama Ibu-ibu PKK dan sejumlah anak muda untuk mengajarkan bagaimana membuat kerajinan dan cara yang tepat untuk mempromosikannya.

Setelahnya ia berjalan menuju perkebunan yang tadi sempat dibicarakan oleh Kepala Desa, Sanzu melihat bagaimana Ran sharing terhadap para petani yang ada disana terkait dengan bagaimana trik- trik meningkatkan kualitas komoditi unggulan setempat. Sanzu terkagum pada seniornya itu, Ran bukan berasal dari jurusan Pertanian namun ia bisa berbagi ilmu seolah ia adalah mahasiswa Pertanian.

Melihat tidak ada kendala disana, Sanzu langkahkan tungkainya menuju dapur darurat yang mereka bangun secara dadakan untuk memasak makan siang, bisa ia dengan dari kejauhan suara senda gurau dari beberapa warga dan sisa rekannya disana. Ia putuskan untuk mengecek sekaligus membantu sedikit disana.

Lagi-lagi Sanzu terseyum. Sanzu merasakan sedikit kelegaan dalam dirinya, tidak ia sangka bahwa dengan berbagi seperti ini bisa menjadi self healing terbaik yang pernah ia rasakan.

#Kembali

Sorry for typos ^^ .

.

.

.

.

Betul kata abangnya kemarin bahwa pemuda dengan surai pink sebahu itu tidak sedang baik-baik saja, senyum yang biasanya ia tunjukkan pada orang-orang sekitarnya lenyap entah kemana digantikan oleh tatapan kosong dari dua safir miliknya.

Setelah memberikan sambutan terakhir kepada 40 orang yang mengikuti program Bina Desa, Sanzu mengarahkan mereka untuk bersiap dengan bocengan masing-masing dan segera berangkat menuju lokasi.

“Ambil, makan ini dijalan. Gue tau lo belum sarapan.” Rindou memberikan kantong plastik yang bersi dua buah roti dan juga sekotak susu coklat berukuran sedang kepada Sanzu yang duduk di jok belakang Kawasaki w175 miliknya.

Sanzu menerimanya dan memberi anggukan singkat pada Rindou. Setelahnya mereka berangkat meninggalkan kampus menuju lokasi.

.

.

.

.

.

.

.

Dari spion motornya sering kali Rindou curi-curi pandang melihat bagaimana mulut penuh Sanzu berusaha mengunyah roti dan bagaimana tenggorokannya naik turun menelan roti dan juga susu yang ia berikan tadi. Lucu batin Rindou.

Hening menemani perjalanan mereka. Sesekali Rindou lah yang iseng bertanya kemana selanjutnya jalan yang harus ia tempuh padahal rombongan di depannya sudah cukup menjadi pemandu arah, biarlah Rindou berusaha.

Rindou merasa canggung selama perjalanan karena Sanzu benar-benar tidak memberikan respon apapun. Tidak memeluk pinggangnya seperti hari yang lalu, untuk sekedar bertukar suara pun tidak. Sanzu tetap bungkam, tidak ia jelaskan kemana ia menghilang selama 5 hari terakhir, bagaimana kabarnya, dan apa yang telah ia alami. Sanzu bisu, pun Rindou tak bernyali bertukar cerita. Rindou tahu, Sanzu sedang tidak baik-baik saja.
.

.

.

. Butuh sekitar dua jam perjalanan bagi mereka untuk sampai pada tempat tujuan setelah melewati hutan dan juga jalan yang berkelok. Agak pelosok memang.

Setelah memakirkan kendaraan dengan rapi dihalaman rumah yang nantinya akan mereka tinggali, mereka bergotong royong menata barang barang yang mereka bawa dan beres-beres dirumah tersebut sebelum menuju balai desa setelahnya.

Pukul 10.00 mereka sedang bersiap di Balai Desa setempat untuk melakukan acara pembukaan bersama Kepala Desa, Ketua PKK, dan juga warga setempat. Setelah semua persiapan siap maka semua duduk pada posisi masing-masing dan saling membaur pada tempat yang telah disiapkan, kecuali Sanzu yang mana berdiri di depan memberikan pidato sambutan untuk membuka acara sebagai ketua pelaksana dan juga chifuyu sebagai koordinator sie acara yang akan menjelaskan rundown acara lebih lanjut.

Dengan berakhirnya sambutan dari Kepala Desa, maka secara remsi dimulailah acara Bina Desa 20xx dengan para panitia dan pesertanya yang menyebar sesuai tugas mereka.

Sanzu tersenyum kepada Kepala Desa dan jajarannya yang sedang duduk bersantai menikmati kopi dan jajanan pasar yang mereka sediakan sebelum permisi pamit untuk mengunjungi para panitia dan juga peserta, melihat bagaimana interaksi mereka dengan warga desa.

Sanzu melihat bagaimana kumpulan dua sampai tiga orang yang familiar baginya berbaur dengan warga desa melakukan kegiatan untuk mengembangkan potensi yang ada.

Disebelah selatan Balai Desa bisa ia lihat bagaimana seriusnya Rindou dan Draken mengajarkan sebagian laki-laki yang ada disana untuk membuat lubang biopori guna memberdayakan sampah organik yang ada sebagai pupuk.

Di sisi lain ia lihat bagaimana anak-anak desa setempat tertawa terbahak-bahak dalam permainan yang mereka lakukan bersama Baji, Kazutora, dan juga Hakkai. Tidak jauh dari sana terlihat juga beberapa rekannya mengajar baca, hitung, dan tulis pada anak-anak lainnya. Sanzu tersenyum dibalik maskernya melihat bagaimana bahagianya interaksi di depannya.

Kemudian beberapa perempuan yang tergabung dalam acara Bina Desa duduk membentuk lingkaran di sebuah Pendopo yang ada di luar Balai Desa bersama Ibu-ibu PKK dan sejumlah anak muda untuk mengajarkan bagaimana membuat kerajinan dan cara yang tepat untuk mempromosikannya.

Setelahnya ia berjalan menuju perkebunan yang tadi sempat dibicarakan oleh Kepala Desa, Sanzu melihat bagaimana Ran sharing terhadap para petani yang ada disana terkait dengan bagaimana trik- trik meningkatkan kualitas komoditi unggulan setempat. Sanzu terkagum pada seniornya itu, Ran bukan berasal dari jurusan Pertanian namun ia bisa berbagi ilmu seolah ia adalah mahasiswa Pertanian.

Melihat tidak ada kendala disana, Sanzu langkahkan tungkainya menuju dapur darurat yang mereka bangun secara dadakan untuk memasak makan siang, bisa ia dengan dari kejauhan suara senda gurau dari beberapa warga dan sisa rekannya disana. Ia putuskan untuk mengecek sekaligus membantu sedikit disana.

Lagi-lagi Sanzu terseyum. Sanzu merasakan sedikit kelegaan dalam dirinya, tidak ia sangka bahwa dengan berbagi seperti ini bisa menjadi self healing terbaik yang pernah ia rasakan.