ajes


Si emosional hampir menangis, menendang batu kerikil yang berada disekitaran kakinya. Sudah hampir— 45 menit— lamanya ia menunggu kendaraan umum untuk pulang, sialnya, sudah lama menunggu tidak menghasilkan apapun. Akhirnya yang bisa ia lakukan hanya jongkok sambil menenggelamkan kepalanya di sela sela lutut. Berharap keajaiban datang.

Pikirannya sedang berkelana, memikirkan skenario terbaik hingga terburuk. Tapi ia tidak terlalu mementingkan skenario buruk, dirinya malah asik terlena dengan skenario-skenario indah seperti di film atau sinetron yang biasanya jika si tokoh utama sedang dilanda kebingungan tidak ada kendaraan umum maka si first lead akan muncul secara tiba-tiba entah dengan keajaiban apa untuk menolong dan mengantar pulang. Klise sekali pemikirannya, ya?

Namanya, Alindra D'Lusia panggil saja Al atau bisa juga Alin kehadirannya disini bisa dibilang untuk menuntun kisah cerita pada awal pembukaan hingga penutupan. Sebut saja dia si tokoh utama dicerita kali ini.

Si tokoh utama masih diam memeluk lutut dengan jarinya menggambar pola abstrak di atas tanah ditambah sedikit hiasan daun juga batu kerikil. Entah sudah berapa lama si tokoh utama berdiam diri disini, terlena hingga lupa langit sudah menunjukkan sisi kegelapannya.

“Kayaknya cerita hidup gue kurang menarik deh... Udah hampir sejam gue nunggu disini ngga ada tuh kejadian hal hal ajaib, misal... ada yang tiba-tiba nganter gue pulang, gitu?? Alin mendesah frustasi, miris dengan jalan ceritanya yang bisa dibilang flat tidak seperti apa yang ia bayangkan. Dengan berat hati, Alin mengarahkan kakinya menyusuri jalan diikuti langit hitam tanda sudah memasuki malam hari.

Satu hal yang menarik perhatiannya kini tertuju kepada lelaki yang mungkin sebaya dengannya yang entah darimana asalnya bisa jalan berdampingan dengannya. Panik, takut jadi satu. Pikirannya tidak melulu tertuju pada scene romantis di film film yang biasanya si cowo ini bakal nolong dia. Ngga. Alin sudah kepalang panik karna realitanya disini sudah memasuki malam hari, ia juga seorang wanita yang akan was-was jika didekati seperti ini.

Langkah kaki mereka berbarengan, Alin sudah panik setengah mati, ditambah suasana sepi disekitarnya. Akhirnya memutuskan untuk bicara karna cowo disampingnya hanya diam sembari menyesuaikan derap langkah Alin yang kini menjadi lebih cepat, “Arah sini juga?” Alin berdeham, berbicara tanpa menoleh. Yang ditanya malah menoleh, “Siapa? Gue? Iya.” Jawabnya.

Alin mengubah kecepatan derap langkahnya, menjadi sedikit melambat agar bisa leluasa mengobrol dengan cowok disebelahnya. Bisa diajak ngobrol kayaknya batin Alin. Dengan segala pemikiran klise nya, kini ia tersenyum menyungging, berlagak menjadi tokoh utama pada serial ber-genre romantis.

“Komplek sini juga? Kok gue gatau ya.. siapa namanya?”

“Baru pindah seminggu yang lalu.”

“Oh... Siapa namanya?”

Tak kunjung dapat respon, Alin menoleh, si cowo ikut menoleh. Mata keduanya bertemu.

“Ghazi.. Ghazi Albiru.” Akhirnya Ghazi yang pertama kali melepaskan kontak matanya dengan Alin setelah memperkenalkan diri singkat. Alin mengangguk, lalu berbicara antusias.

“Gue Alin D'Lusia, kalo susah panggil Alin aja gapapa. Komplek gue di blok E, jadi masih agak jauh... Ohiya sekarang gue udah kelas 11 nih, kalo lo Zi, gimana? Kali aja kita seumuran.”

Alin merasa kecewa sekaligus kesal, karna ucapan perkenalannya tidak digubris. Ghazi secara tiba-tiba mengubah arah jalannya, tanpa sepatah kata.

“GHAZIIIII RUMAH LO DI BLOK A?” Alin sedikit berteriak melihat punggung Ghazi yang kini sudah mulai pudar di telan kegelapan. Tidak dapat jawaban juga. Alih alih mengangguk, pertanyaan Alin hanya dianggap angin lalu.

Ia kira sudah saatnya ia menjadi tokoh utama dengan jalan cerita yang mulus juga romantis. Dengan knop cerita diatasnya Ditemani pulang dengan orang baru hingga sampai rumah nyatanya malah ditinggal tengah jalan. Cerita Alin kali ini cukup dilabeli Romantik(Amatir)-Komedi.

— © elationdelight


Si emosional hampir menangis, menendang batu kerikil yang berada disekitaran kakinya. Sudah hampir— 45 menit— lamanya ia menunggu kendaraan umum untuk pulang, sialnya, sudah lama menunggu tidak menghasilkan apapun. Akhirnya yang bisa ia lakukan hanya jongkok sambil menenggelamkan kepalanya di sela sela lutut. Berharap keajaiban datang.

Pikirannya sedang berkelana, memikirkan skenario terbaik hingga terburuk. Tapi ia tidak terlalu mementingkan skenario buruk, dirinya malah asik terlena dengan skenario-skenario indah seperti di film atau sinetron yang biasanya jika si tokoh utama sedang dilanda kebingungan tidak ada kendaraan umum maka si first lead akan muncul secara tiba-tiba entah dengan keajaiban apa untuk menolong dan mengantar pulang. Klise sekali pemikirannya, ya?

Namanya, Alindra D'Lusia panggil saja Al atau bisa juga Alin kehadirannya disini bisa dibilang untuk menuntun kisah cerita pada awal pembukaan hingga penutupan. Sebut saja dia si tokoh utama dicerita kali ini.

Si tokoh utama masih diam memeluk lutut dengan jarinya menggambar pola abstrak di atas tanah ditambah sedikit hiasan daun juga batu kerikil. Entah sudah berapa lama si tokoh utama berdiam diri disini, terlena hingga lupa langit sudah menunjukkan sisi kegelapannya.

“Kayaknya cerita hidup gue kurang menarik deh... Udah hampir sejam gue nunggu disini ngga ada tuh kejadian hal hal ajaib, misal... ada yang tiba-tiba nganter gue pulang, gitu?? Alin mendesah frustasi, miris dengan jalan ceritanya yang bisa dibilang flat tidak seperti apa yang ia bayangkan. Dengan berat hati, Alin mengarahkan kakinya menyusuri jalan diikuti langit hitam tanda sudah memasuki malam hari.

Satu hal yang menarik perhatiannya kini tertuju kepada lelaki yang mungkin sebaya dengannya yang entah darimana asalnya bisa jalan berdampingan dengannya. Panik, takut jadi satu. Pikirannya tidak melulu tertuju pada scene romantis di film film yang biasanya si cowo ini bakal nolong dia. Ngga. Alin sudah kepalang panik karna realitanya disini sudah memasuki malam hari, ia juga seorang wanita yang akan was-was jika didekati seperti ini.

Langkah kaki mereka berbarengan, Alin sudah panik setengah mati, ditambah suasana sepi disekitarnya. Akhirnya memutuskan untuk bicara karna cowo disampingnya hanya diam sembari menyesuaikan derap langkah Alin yang kini menjadi lebih cepat, “Arah sini juga?” Alin berdeham, berbicara tanpa menoleh. Yang ditanya malah menoleh, “Siapa? Gue? Iya.” Jawabnya.

Alin mengubah kecepatan derap langkahnya, menjadi sedikit melambat agar bisa leluasa mengobrol dengan cowok disebelahnya. Bisa diajak ngobrol kayaknya batin Alin. Dengan segala pemikiran klise nya, kini ia tersenyum menyungging, berlagak menjadi tokoh utama pada serial ber-genre romantis.

“Komplek sini juga? Kok gue gatau ya.. siapa namanya?”

“Baru pindah seminggu yang lalu.”

“Oh... Siapa namanya?”

Tak kunjung dapat respon, Alin menoleh, si cowo ikut menoleh. Mata keduanya bertemu.

“Ghazi.. Ghazi Albiru.” Akhirnya Ghazi yang pertama kali melepaskan kontak matanya dengan Alin setelah memperkenalkan diri singkat. Alin mengangguk, lalu berbicara antusias.

“Gue Alin D'Lusia, kalo susah panggil Alin aja gapapa. Komplek gue di blok C, jadi masih agak jauh... Ohiya sekarang gue udah kelas 11 nih, kalo lo Zi, gimana? Kali aja kita seumuran.”

Alin merasa kecewa sekaligus kesal, karna ucapan perkenalannya tidak digubris. Ghazi secara tiba-tiba mengubah arah jalannya, tanpa sepatah kata.

“GHAZIIIII RUMAH LO DI BLOK A?” Alin sedikit berteriak melihat punggung Ghazi yang kini sudah mulai di telan kegelapan. Tidak dapat jawaban juga. Alih alih mengangguk pertanyaan Alin hanya dianggap angin lalu.

Ia kira sudah saatnya ia menjadi tokoh utama dengan jalan cerita yang mulus juga romantis. Dengan knop cerita Ditemani pulang dengan orang baru hingga sampai rumah nyatanya malah ditinggal tengah jalan. Cukup sampai disini, cerita Alin kali ini cukup dilabeli Romantik(Amatir)-Komedi. karna tidak sesuai kenyataan.

—© elationdelight


Si emosional hampir menangis, menendang batu kerikil yang berada disekitaran kakinya. Sudah hampir— 45 menit— lamanya ia menunggu kendaraan umum untuk pulang, sialnya, sudah lama menunggu tidak menghasilkan apapun. Akhirnya yang bisa ia lakukan hanya jongkok sambil menenggelamkan kepalanya di sela sela lutut. Berharap keajaiban datang.

Pikirannya sedang berkelana, memikirkan skenario terbaik hingga terburuk. Tapi ia tidak terlalu mementingkan skenario buruk, dirinya malah asik terlena dengan skenario-skenario indah seperti di film atau sinetron yang biasanya jika si tokoh utama sedang dilanda kebingungan tidak ada kendaraan umum maka si first lead akan muncul secara tiba-tiba entah dengan keajaiban apa untuk menolong dan mengantar pulang. Klise sekali pemikirannya, ya?

Namanya, Alindra D'Lusia panggil saja Al atau bisa juga Alin kehadirannya disini bisa dibilang untuk menuntun kisah cerita pada awal pembukaan hingga penutupan. Sebut saja dia si tokoh utama dicerita kali ini.

Si tokoh utama masih diam memeluk lutut dengan jarinya menggambar pola abstrak di atas tanah ditambah sedikit hiasan daun juga batu kerikil. Entah sudah berapa lama si tokoh utama berdiam diri disini, terlena hingga lupa langit sudah menunjukkan sisi kegelapannya.

“Kayaknya cerita hidup gue kurang menarik deh... Udah hampir sejam gue nunggu disini ngga ada tuh kejadian hal hal ajaib, misal... ada yang tiba-tiba nganter gue pulang, gitu?? Alin mendesah frustasi, miris dengan jalan ceritanya yang bisa dibilang flat tidak seperti apa yang ia bayangkan. Dengan berat hati, Alin mengarahkan kakinya menyusuri jalan diikuti langit hitam tanda sudah memasuki malam hari.

Satu hal yang menarik perhatiannya kini tertuju kepada lelaki yang mungkin sebaya dengannya yang entah darimana asalnya bisa jalan berdampingan dengannya. Panik, takut jadi satu. Pikirannya tidak melulu tertuju pada scene romantis di film film yang biasanya si cowo ini bakal nolong dia. Ngga. Alin sudah kepalang panik karna realitanya disini sudah memasuki malam hari, ia juga seorang wanita yang akan was-was jika didekati seperti ini.

Langkah kaki mereka berbarengan, Alin sudah panik setengah mati, ditambah suasana sepi disekitarnya. Akhirnya memutuskan untuk bicara karna cowo disampingnya hanya diam sembari menyesuaikan derap langkah Alin yang kini menjadi lebih cepat, “Arah sini juga?” Alin berdeham, berbicara tanpa menoleh. Yang ditanya malah menoleh, “Siapa? Gue? Iya.” Jawabnya.

Alin mengubah kecepatan derap langkahnya, menjadi sedikit melambat agar bisa leluasa mengobrol dengan cowok disebelahnya. Bisa diajak ngobrol kayaknya batin Alin. Dengan segala pemikiran klise nya, kini ia tersenyum menyungging, berlagak menjadi tokoh utama pada serial ber-genre romantis.

“Komplek sini juga? Kok gue gatau ya.. siapa namanya?”

“Baru pindah seminggu yang lalu.”

“Oh... Siapa namanya?”

Tak kunjung dapat respon, Alin menoleh, si cowo ikut menoleh. Mata keduanya bertemu.

“Ghazi.. Ghazi Albiru.” Akhirnya Ghazi yang pertama kali melepaskan kontak matanya dengan Alin setelah memperkenalkan diri singkat. Alin mengangguk, lalu berbicara antusias.

“Gue Alin D'Lusia, kalo susah panggil Alin aja gapapa. Komplek gue di blok C, jadi masih agak jauh... Ohiya sekarang gue udah kelas 11 nih, kalo lo Zi, gimana? Kali aja kita seumuran.”

Alin merasa kecewa sekaligus kesal, karna ucapan perkenalannya tidak digubris. Ghazi secara tiba-tiba mengubah arah jalannya, tanpa sepatah kata.

“GHAZIIIII RUMAH LO DI BLOK A?” Alin sedikit berteriak melihat punggung Ghazi yang kini sudah mulai di telan kegelapan. Tidak dapat jawaban juga. Alih alih mengangguk pertanyaan Alin hanya dianggap angin lalu.

Ia kira sudah saatnya ia menjadi tokoh utama dengan jalan cerita yang mulus juga romantis. Dengan knop cerita Ditemani pulang dengan orang baru hingga sampai rumah nyatanya malah ditinggal tengah jalan. Cukup sampai disini, cerita Alin kali ini cukup dilabeli Romantik(Amatir)-Komedi. karna tidak sesuai kenyataan.

#####— © elationdelight


Si emosional hampir menangis, menendang batu kerikil yang berada disekitaran kakinya. Sudah hampir— 45 menit— lamanya ia menunggu kendaraan umum untuk pulang, sialnya, sudah lama menunggu tidak menghasilkan apapun. Akhirnya yang bisa ia lakukan hanya jongkok sambil menenggelamkan kepalanya di sela sela lutut. Berharap keajaiban datang.

Pikirannya sedang berkelana, memikirkan skenario terbaik hingga terburuk. Tapi ia tidak terlalu mementingkan skenario buruk, dirinya malah asik terlena dengan skenario-skenario indah seperti di film atau sinetron yang biasanya jika si tokoh utama sedang dilanda kebingungan tidak ada kendaraan umum maka si first lead akan muncul secara tiba-tiba entah dengan keajaiban apa untuk menolong dan mengantar pulang. Klise sekali pemikirannya, ya?

Namanya, Alindra D'Lusia panggil saja Al atau bisa juga Alin kehadirannya disini bisa dibilang untuk menuntun kisah cerita pada awal pembukaan hingga penutupan. Sebut saja dia si tokoh utama dicerita kali ini.

Si tokoh utama masih diam memeluk lutut dengan jarinya menggambar pola abstrak di atas tanah ditambah sedikit hiasan daun juga batu kerikil. Entah sudah berapa lama si tokoh utama berdiam diri disini, terlena hingga lupa langit sudah menunjukkan sisi kegelapannya.

“Kayaknya cerita hidup gue kurang menarik deh... Udah hampir sejam gue nunggu disini ngga ada tuh kejadian hal hal ajaib, misal... ada yang tiba-tiba nganter gue pulang, gitu?? Alin mendesah frustasi, miris dengan jalan ceritanya yang bisa dibilang flat tidak seperti apa yang ia bayangkan. Dengan berat hati, Alin mengarahkan kakinya menyusuri jalan diikuti langit hitam tanda sudah memasuki malam hari.

Satu hal yang menarik perhatiannya kini tertuju kepada lelaki yang mungkin sebaya dengannya yang entah darimana asalnya bisa jalan berdampingan dengannya. Panik, takut jadi satu. Pikirannya tidak melulu tertuju pada scene romantis di film film yang biasanya si cowo ini bakal nolong dia. Ngga. Alin sudah kepalang panik karna realitanya disini sudah memasuki malam hari, ia juga seorang wanita yang akan was-was jika didekati seperti ini.

Langkah kaki mereka berbarengan, Alin sudah panik setengah mati, ditambah suasana sepi disekitarnya. Akhirnya memutuskan untuk bicara karna cowo disampingnya hanya diam sembari menyesuaikan derap langkah Alin yang kini menjadi lebih cepat, “Arah sini juga?” Alin berdeham, berbicara tanpa menoleh. Yang ditanya malah menoleh, “Siapa? Gue? Iya.” Jawabnya.

Alin mengubah kecepatan derap langkahnya, menjadi sedikit melambat agar bisa leluasa mengobrol dengan cowok disebelahnya. Bisa diajak ngobrol kayaknya batin Alin. Dengan segala pemikiran klise nya, kini ia tersenyum menyungging, berlagak menjadi tokoh utama pada serial ber-genre romantis.

“Komplek sini juga? Kok gue gatau ya.. siapa namanya?”

“Baru pindah seminggu yang lalu.”

“Oh... Siapa namanya?”

Tak kunjung dapat respon, Alin menoleh, si cowo ikut menoleh. Mata keduanya bertemu.

“Ghazi.. Ghazi Albiru.” Akhirnya Ghazi yang pertama kali melepaskan kontak matanya dengan Alin setelah memperkenalkan diri singkat. Alin mengangguk, lalu berbicara antusias.

“Gue Alin D'Lusia, kalo susah panggil Alin aja gapapa. Komplek gue di blok C, jadi masih agak jauh... Ohiya sekarang gue udah kelas 11 nih, kalo lo Zi, gimana? Kali aja kita seumuran.”

Alin merasa kecewa sekaligus kesal, karna ucapan perkenalannya tidak digubris. Ghazi secara tiba-tiba mengubah arah jalannya, tanpa sepatah kata.

“GHAZIIIII RUMAH LO DI BLOK A?” Alin sedikit berteriak melihat punggung Ghazi yang kini sudah mulai di telan kegelapan. Tidak dapat jawaban juga. Alih alih mengangguk pertanyaan Alin hanya dianggap angin lalu.

Ia kira sudah saatnya ia menjadi tokoh utama dengan jalan cerita yang mulus juga romantis. Ditemani pulang dengan orang baru hingga sampai rumah nyatanya malah ditinggal tengah jalan. Nyatanya, cerita Alin kali ini cukup dilabeli Romantik(Amatir)-Komedi. karna tidak sesuai kenyataan.

##### — © elationdelight

Disini gue sekarang, duduk hadap-hadapan dengan cowok atau bisa dibilang crush gue di pojok kantin biar bisa bicara empat mata secara leluasa.

Sebenernya gak bisa, gak efektif ya gimana coba bayangin aja di kantin ini siswa siswi rombongan ngeliatin gue sama Ghazi yang lagi diem diem-an belum ada yang buka suara. Karna kehalang suara ricuh penonton.

Gue gak habis pikir sama jalan pikiran Ghazi, pasalnya, gue udah nyuruh dia buat ngobrol di belakang sekolah aja! Alasannya, biar gak jadi bahan tontonan!

Muka gue udah merah padam entah karna alasan yang mana— Malu diliatin orang atau duduk hadap-hadapan sama ekhem— yang pasti gue mau teriak aja rasanya, guna mengusir gerombolan manusia manusia kepo haus keingintahuan.

Gue ngelirik Ghazi sesekali, dia cuma diem nundukin kepala sambil mainin kedua jarinya. Hadahhhh giliran begini ciut lu Zi. Alhasil gue memberanikan diri untuk buka suara, “Ekhem, kalian kalo rombongan kesini cuma mau tau alasan Ghazi nyium kening gue mending kalian balik ke kelas masing-masing.” Ghazi yang tadinya menunduk sontak mendongak ngeliat gue yang lagi susah payah ngusir rombongan manusia kepo.

“Lo kenal gue?” Sahutnya.

Duh apes, gue baru inget kalo disini posisi kita harusnya ngga saling kenal! Gue sama Ghazi beda kelas beda ekskul beda semuanya deh!

Begitu keadaan udah mulai sepi dan gak ricuh, gue hela nafas dan balik duduk hadap-hadapan. Sekarang Ghazi gantian ngeliatin gue.

Gue hela nafas, balik lurusin asal masalahnya. “Ghazi Albiru, siapa sih yang ngga kenal lo?...” Gue sekarang bales natap Ghazi, “Mungkin lo gak kenal gue? Jadi langsung aja jelasin kenapa lo tiba-tiba nyium gue?!.”

Gue sedikit ninggiin nada biacara gue, gatau karna kesel atau emosional di tatap dengan sangat sentimental.

“Sorry, gue emang gak kenal lo.. gue cuma tau muka gak tau nama. Gimana kalo kenalan dulu? Nama? Kelas? Jurusan?—”

Sebelum pertanyaannya makin banyak gue udah duluan nyaut, “Gue Nabila Azra, Kelas 11 IPS 5.” Ghazi mengangguk angguk paham. “Oke, so, Nabila gue minta maaf?.” Ada sedikit nada keraguan dari cara bicaranya, gue gak yakin nih orang beneran mau minta maaf!

“Duh nih ya Zi, nama gue Nabila, panggilannya Abil. A B I L. Abil. Paham? Terus kenapa lo keliatan ragu banget buat minta maaf??!.” Gue sontak protes. Sang empu malah tertawa.

“Abil? Lo lucu banget.”

SIAL

SIAL

SIAL

Tolong sadarin gue kalo cowok yang ada dihadapan gue itu biang masalah! Gak boleh gini. HARUSNYA GAK BOLEH SALTING.

“To the point aja please...”

“Okay, pertama gue minta maaf karna nyium lo tiba-tiba. Kedua, gue minta maaf karna gue malah gak tau siapa yang gue cium. Ketiga, maaf karna bikin lo salting?—

Oh shittt, point ke tiga kenapa bisa tepat sasaran?!

— Jadi, gue tadi lagi taruhan sama Jaden. Kita bikin deal yang paling sedikit masukin bola ke ring bakal dapet challenge. Ternyata gue yang dapet. Jaden nyuruh gue cium kening random person yang ada di lapangan.”

Kalian tau? Dia jelasin itu semua dengan tampang polos kayak orang gak punya SALAH. Watados cuma bisa nyengar nyengir, oh God.

“Make sense, jadi lo milih gue karna gue ada di lapangan saat itu? Okay. Thanks Ghazi, masalah kita selesai, ya.”

“Oh, satu lagi. Hati-hati, jangan nyium sembarang orang apalagi lo gak kenal orangnya.”

@ elationdelight

Disini gue sekarang, duduk hadap-hadapan dengan cowok atau bisa dibilang crush gue di pojok kantin biar bisa bicara empat mata secara leluasa.

Sebenernya gak bisa, gak efektif ya gimana coba bayangin aja di kantin ini siswa siswi rombongan ngeliatin gue sama Ghazi yang lagi diem diem-an belum ada yang buka suara. Karna kehalang suara ricuh penonton.

Gue gak habis pikir sama jalan pikiran Ghazi, pasalnya, gue udah nyuruh dia buat ngobrol di belakang sekolah aja! Alasannya, biar gak jadi bahan tontonan!

Muka gue udah merah padam entah karna alasan yang mana— Malu diliatin orang atau duduk hadap-hadapan sama ekhem— yang pasti gue mau teriak aja rasanya, guna mengusir gerombolan manusia manusia kepo haus keingintahuan.

Gue ngelirik Ghazi sesekali, dia cuma diem nundukin kepala sambil mainin kedua jarinya. Hadahhhh giliran begini ciut lu Zi. Alhasil gue memberanikan diri untuk buka suara, “Ekhem, kalian kalo rombongan kesini cuma mau tau alasan Ghazi nyium kening gue mending kalian balik ke kelas masing-masing.” Ghazi yang tadinya menunduk sontak mendongak ngeliat gue yang lagi susah payah ngusir rombongan manusia kepo.

“Lo kenal gue?” Sahutnya.

Duh apes, gue baru inget kalo disini posisi kita harusnya ngga saling kenal! Gue sama Ghazi beda kelas beda ekskul beda semuanya deh!

Begitu keadaan udah mulai sepi dan gak ricuh, gue hela nafas dan balik duduk hadap-hadapan. Sekarang Ghazi gantian ngeliatin gue.

Gue hela nafas, balik lurusin asal masalahnya. “Ghazi Albiru, siapa sih yang ngga kenal lo?...” Gue sekarang bales natap Ghazi, “Mungkin lo gak kenal gue? Jadi langsung aja jelasin kenapa lo tiba-tiba nyium gue?!.”

Gue sedikit ninggiin nada biacara gue, gatau karna kesel atau emosional di tatap dengan sangat sentimental.

“Sorry, gue emang gak kenal lo.. gue cuma tau muka gak tau nama. Gimana kalo kenalan dulu? Nama? Kelas? Jurusan?—”

Sebelum pertanyaannya makin banyak gue udah duluan nyaut, “Gue Nabila Azra, Kelas 11 IPS 5.” Ghazi mengangguk angguk paham. “Oke, so, Nabila gue minta maaf?.” Ada sedikit nada keraguan dari cara bicaranya, gue gak yakin nih orang beneran mau minta maaf!

“Duh nih ya Zi, nama gue Nabila, panggilannya Abil. A B I L. Abil. Paham? Terus kenapa lo keliatan ragu banget buat minta maaf??!.” Gue sontak protes. Sang empu malah tertawa.

“Abil? Lo lucu banget.”

SIAL

SIAL

SIAL

Tolong sadarin gue kalo cowok yang ada dihadapan gue itu biang masalah! Gak boleh gini. HARUSNYA GAK BOLEH SALTING.

“To the point aja please...”

“Okay, pertama gue minta maaf karna nyium lo tiba-tiba. Kedua, gue minta maaf karna gue malah gak tau siapa yang gue cium. Ketiga, maaf karna bikin lo salting?—

Oh shittt, point ke tiga kenapa bisa tepat sasaran?!

— Jadi, gue tadi lagi taruhan sama Jaden. Kita bikin deal yang paling sedikit masukin bola ke ring bakal dapet challenge. Ternyata gue yabg dapet. Jaden nyuruh gue cium kening random person yang ada di lapangan.”

Kalian tau? Dia jelasin itu semua dengan tampang polos kayak orang gak punya SALAH. Watados cuma bisa nyengar nyengir, oh God.

“Make sense, jadi lo milih gue karna gue ada di lapangan saat itu? Okay. Thanks Ghazi, masalah kita selesai, ya.”

“Oh, satu lagi. Hati-hati, jangan nyium sembarang orang apalagi lo gak kenal orangnya.”

@ elationdelight

Disini gue sekarang, duduk hadap-hadapan dengan cowok atau bisa dibilang crush gue di pojok kantin biar bisa bicara empat mata secara leluasa.

Sebenernya gak bisa, gak efektif ya gimana coba bayangin aja di kantin ini siswa siswi rombongan ngeliatin gue sama Ghazi yang lagi diem diem-an belum ada yang buka suara. Karna kehalang suara ricuh penonton.

Gue gak habis pikir sama jalan pikiran Ghazi, pasalnya, gue udah nyuruh dia buat ngobrol di belakang sekolah aja! Alasannya, biar gak jadi bahan tontonan!

Muka gue udah merah padam entah karna alasan yang mana— Malu diliatin orang atau duduk hadap-hadapan sama ekhem— yang pasti gue mau teriak aja rasanya, guna mengusir gerombolan manusia manusia kepo haus keingintahuan.

Gue ngelirik Ghazi sesekali, dia cuma diem nundukin kepala sambil mainin kedua jarinya. Hadahhhh giliran begini ciut lu Zi. Alhasil gue memberanikan diri untuk buka suara, “Ekhem, kalian kalo rombongan kesini cuma mau tau alasan Ghazi nyium kening gue mending kalian balik ke kelas masing-masing.” Ghazi yang tadinya menunduk sontak mendongak ngeliat gue yang lagi susah payah ngusir rombongan manusia kepo.

“Lo kenal gue?” Sahutnya.

Duh apes, gue baru inget kalo disini posisi kita harusnya ngga saling kenal! Gue sama Ghazi beda kelas beda ekskul beda semuanya deh!

Begitu keadaan udah mulai sepi dan gak ricuh, gue hela nafas dan balik duduk hadap-hadapan. Sekarang Ghazi gantian ngeliatin gue.

Gue hela nafas, balin lurusin asal masalahnya. “Ghazi Albiru, siapa sih yang ngga kenal lo?...” Gue sekarang bales natap Ghazi, “Mungkin lo gak kenal gue? Jadi langsung aja jelasin kenapa lo tiba-tiba nyium gue?!.”

Gue sedikit ninggiin nada biacara gue, gatau karna kesel atau emosional di tatap dengan sangat sentimental.

“Sorry, gue emang gak kenal lo.. gue cuma tau muka gak tau nama. Gimana kalo kenalan dulu? Nama? Kelas? Jurusan?—”

Sebelum pertanyaannya makin banyak gue udah duluan nyaut, “Gue Nabila Azra, Kelas 11 IPS 5.” Ghazi mengangguk angguk paham. “Oke, so, Nabila gue minta maaf?.” Ada sedikit nada keraguan dari cara bicaranya, gue gak yakin nih orang beneran mau minta maaf!

“Duh nih ya Zi, nama gue Nabila, panggilannya Abil. A B I L. Abil. Paham? Terus kenapa lo keliatan ragu banget buat minta maaf??!.” Gue sontak protes. Sang empu malah tertawa.

“Abil? Lo lucu banget.”

SIAL

SIAL

SIAL

Tolong sadarin gue kalo cowok yang ada dihadapan gue itu biang masalah! Gak boleh gini. HARUSNYA GAK BOLEH SALTING.

“To the point aja please...”

“Okay, pertama gue minta maaf karna nyium lo tiba-tiba. Kedua, gue minta maaf karna gue malah gak tau siapa yang gue cium. Ketiga, maaf karna bikin lo salting?—

Oh shittt, point ke tiga kenapa bisa tepat sasaran?!

— Jadi, gue tadi lagi taruhan sama Jaden. Kita bikin deal yang paling sedikit masukin bola ke ring bakal dapet challenge. Ternyata gue yabg dapet. Jaden nyuruh gue cium kening random person yang ada di lapangan.”

Kalian tau? Dia jelasin itu semua dengan tampang polos kayak orang gak punya SALAH. Watados cuma bisa nyengar nyengir, oh God.

“Make sense, jadi lo milih gue karna gue ada di lapangan saat itu? Okay. Thanks Ghazi, masalah kita selesai, ya.”

“Oh, satu lagi. Hati-hati, jangan nyium sembarang orang apalagi lo gak kenal orangnya.”

@ elationdelight

Disini gue sekarang, duduk hadap-hadapan dengan cowok atau bisa dibilang crush gue di pojok kantin biar bisa bicara empat mata secara leluasa.

Sebenernya gak bisa, gak efektif ya gimana coba bayangin aja di kantin ini jsiswa siswi rombongan ngeliatin gue sama Ghazi yang lagi diem diem-an belum ada yang buka suara. Karna kehalang suara ricuh penonton.

Gue gak habis pikir sama jalan pikiran Ghazi, pasalnya, gue udah nyuruh dia buat ngobrol di belakang sekolah aja! Alasannya, biar gak jadi bahan tontonan!

Muka gue udah merah padam entah karna alasan yang mana— Malu diliatin orang atau duduk hadap-hadapan sama ekhem— yang pasti gue mau teriak aja rasanya, guna mengusir gerombolan manusia manusia kepo haus keingintahuan.

Gue ngelirik Ghazi sesekali, dia cuma diem nundukin kepala sambil mainin kedua jarinya. Hadahhhh giliran begini ciut lu Zi. Alhasil gue memberanikan diri untuk buka suara, “Ekhem, kalian kalo rombongan kesini cuma mau tau alasan Ghazi nyium kening gue mending kalian balik ke kelas masing-masing.” Ghazi yang tadinya menunduk sontak mendongak ngeliat gue yang lagi susah payah ngusir rombongan manusia kepo.

“Lo kenal gue?” Sahutnya.

Duh apes, gue baru inget kalo disini posisi kita harusnya ngga saling kenal! Gue sama Ghazi beda kelas beda ekskul beda semuanya deh!

Begitu keadaan udah mulai sepi dan gak ricuh, gue hela nafas dan balik duduk hadap-hadapan. Sekarang Ghazi gantian ngeliatin gue.

Gue hela nafas, balin lurusin asal masalahnya. “Ghazi Albiru, siapa sih yang ngga kenal lo?...” Gue sekarang bales natap Ghazi, “Mungkin lo gak kenal gue? Jadi langsung aja jelasin kenapa lo tiba-tiba nyium gue?!.”

Gue sedikit ninggiin nada biacara gue, gatau karna kesel atau emosional di tatap dengan sangat sentimental.

“Sorry, gue emang gak kenal lo.. gue cuma tau muka gak tau nama. Gimana kalo kenalan dulu? Nama? Kelas? Jurusan?—”

Sebelum pertanyaannya makin banyak gue udah duluan nyaut, “Gue Nabila Azra, Kelas 11 IPS 5.” Ghazi mengangguk angguk paham. “Oke, so, Nabila gue minta maaf?.” Ada sedikit nada keraguan dari cara bicaranya, gue gak yakin nih orang beneran mau minta maaf!

*“Duh nih ya Zi, nama gue Nabila, panggilannya Abil. A B I L. Abil. Paham? Terus kenapa lo keliatan ragu banget buat minta maaf??!.” Gue sontak protes. Sang empu malah tertawa.

“Abil? Lo lucu banget.”

SIAL

SIAL

SIAL

Tolong sadarin gue kalo cowok yang ada dihadapan gue itu biang masalah! Gak boleh gini. HARUSNYA GAK BOLEH SALTING.

“To the point aja please...”

*“Okay, pertama gue minta maaf karna nyium lo tiba-tiba. Kedua, gue minta maaf karna gue malah gak tau siapa yang gue cium. Ketiga, maaf karna bikin lo salting?—

Oh shittt, point ke tiga kenapa bisa tepat sasaran?!

— Jadi, gue tadi lagi taruhan sama Jaden. Kita bikin deal yang paling sedikit masukin bola ke ring bakal dapet challenge. Ternyata gue yabg dapet. Jaden nyuruh gue cium kening random person yang ada di lapangan.”*

Kalian tau? Dia jelasin itu semua dengan tampang polos kayak orang gak punya SALAH. Watados cuma bisa nyengar nyengir, oh God.

“Make sense, jadi lo milih gue karna gue ada di lapangan saat itu? Okay. Thanks Ghazi, masalah kita selesai, ya.”

“Oh, satu lagi. Hati-hati, jangan nyium sembarang orang apalagi lo gak kenal orangnya.”

@ elationdelight

Berbagai keluhan sudah terlontarkan dari bibir manis pemuda pendek berambut hitam pekat, model rambut nya sedikit gondrong membuat kesan lucu melekat pada dirinya. Kaki dan tubuh nya masih sama sama menyeimbangkan gerakan di atas papan rata beroda. Sesekali senyum nya terukir tat kala si manis dapat lancar menaiki nya, dengan mata tertutup menikmati terpaan angin, rambut nya juga ikut berantakan saat di terpa angin.

“Aska, pelan pelan dong!.” Sang pemilik nama menoleh kebelakang, terkekeh gemas saat menyadari teman nya tertinggal lumayan jauh.

Jiaska dan Arkala, semat namanya. Sebut saja Aska dan Kala, keduanya gemar bermain skateboard bersama pada sore hari saat sinar orange terpacar indah. Seperti sudah terjadwal rapih, keduanya tidak pernah telat untuk bermain bersama di bawah nastabala indah nya kota Bandung.

Yang satu gaya nya sudah merasa paling benar, terkadang Kala merasa iri dan juga jengkel dengan sifat Aska yang terlalu menyombongkan dirinya. Pasalnya, Kala tidak terlalu pandai bermain skateboard padahal kedua nya sudah berlatih lama. Tidak adil, ya Kala. Satu nya lagi telalu banyak bicara dan mengeluh.

“Hei Kala sini sini! kita duduk disitu, aku capek.” Kala menenteng papan skateboard 'nya berjalan ke pinggir taman, netra nya menangkap bangku panjang. “Payah, kamu cepat sekali capek nya Kala.” Aska melangkah menuntun kaki panjang nya mengikuti sosok Kala yang sudah terduduk.

“Apa katamu?.” Kala menatap netra Aska nyeleneh, Aska terkekeh tangan nya ia bawa untuk mengusak gemas rambut hitam Kala, usak kan usak kan berubah menjadi elusan lembut. Sang empu sama sekali tidak menolak pergerakan tangan Aska. Toh, dia sangat suka di perlakukan seperti itu.

Baru saja Aska ingin menurunkan tangan dan memberhentikan aksi nya, dengan gerakan secepat kilat Kala menahan tangan Aska di kepalanya, “Jangan diturunin tangan nya.”

Aska dan Kala menikmati suasana sore hari, pemandangan yang mendukung— rumput hijau segar, sinar orange memancar, juga angin sepoy yang menerpa kedua nya. “Aska kenapa mau main bareng terus sama Kala?” Pertanyaan random yang terlontar dari bibir manis Kala tentu nya membuat atensi Aksa terahlikan.

“Karna Aksa cuma punya Kala, entah lah.” Aska mengerdikan bahunya menjawab pertanyaan 'Kala. Kala merasa tidak puas dengan jawaban Aska, Kala mengerucutkan bibirnya lucu.

“Masa begitu? Coba Aska tanya kenapa Kala main bareng terus sama Aska.” Kala bergerak antusias berharap untuk ditanyakan seperti itu. Aska tersenyum, Kala-nya benar benar terlihat antusias lihat saja mata sipit nya yang kini sudah menampakkan bentuk bulan sabit. “Kala, Kala kenapa mau main sama Aska?.”

“Kala suka!.” Jawaban Kala juga belum bisa membuat Aska puas. “Suka apa?.” Tanya Aska,

“Suka Aska.”

Jihoon berada di toilet untuk saat ini, membasuh muka nya yang sudah banyak di hiasi luka luka. Jangan tanya gimana we bar bar gank bisa aman masuk sekolah tanpa ada acara cegat mencegat dari pak satpam, mereka memanjat dari belakang sekolah untung nya lagi masih jam pelajaran jadi tidak banyak orang lalu lalang.

Jihoon menghadap kaca wastafel memperhatikan luka luka— beberapa sudah ada yang kering, tak lama notif dari hp nya berbunyi, pesan dari grup we bar bar.

Jihoon tersenyum simpul saat membaca pesan dari Jaehyuk, gemas batin-nya. Gemas sebagaimana di perlakukan seperti itu oleh sohib dari jaman zigot. Jihoon cepet cepet membasuh muka lagi, bergegas pergi ke UKS.

Pintu UKS di dorong pelan oleh Jihoon, kepala nya menyembul lucu berniat melihat ada orang apa tidak di dalam nya. Jihoon mendapati sosok mungil yang sedang terduduk di salah satu kasur yang disediakan, mengerjap bingung menatapi Jihoon yang tak kunjung masuk. Hanya berdiam diri di depan pintu.

Pandangan jihoon tidak bisa di alihkan dari atensi lelaki mungil di depan nya, sedang menerka nerka siapa sosok tersebut. “Kayak kenal...” Batin Jihoon.

“Hei? Masuk aja.” Lelaki mungil itu membuyarkan keheningan, Jihoon langsung masuk, menutup pintu UKS sama pelan nya. “Ah.. maaf” Jihoon tersenyum kikuk menggaruk kepala belakang nya yang tidak gatal.

Jihoon mengambil kotak P3K kemudian duduk di salah satu bangku, membersihkan luka nya dengan telaten sesekali melirik kepada si mungil.

Atensi Jihoon teralihkan kepada name-tag yang menempel pada seragam lelaki itu. 'Choi Hyunsuk' ahh pantas saja Jihoon merasa tidak asing dengan wajah manis nya.

Hyunsuk merasa seseorang di depan nya memperhatikan dirinya, “Ada apa? Butuh bantuan?” Hyunsuk tersenyum menampakan iris mata seperti bulan sabit saat senyum nya tercipta.

“Eh iya, plester nya abis nih.. aduh..” Jihoon gelagapan sendiri, entah kenapa dia merasa canggung.

Hyunsuk bangun dari kasur, duduk dihadapan Jihoon, kemudian, “Oh! Park Jihoon?” Sahut Hyunsuk.

Jihoon mengernyit dari mana kakak kelas nya ini tau? “Iya” Jawab nya. Hyunsuk mengangguk lucu tangan nya sibuk membuka plaster panda, dengan telaten menutupi luka luka Jihoon. “Gue sering liat Jihoon... Mukanya gini terus, luka luka. Oh ya jihoon, kenalin gue Choi Hyunsuk kelas 12 ips 1.” Hyunsuk masih sibuk mengurusi luka jihoon sembari memperkenalkan diri.

Jihoon mengangguk, tersenyum berterimakasih saat luka nya ditutupi plester panda dengan sempurna. “Makasih kak Hyunsuk, iya gue Jihoon kak kelas 11 IPS 3.”