Maaf

“Lo gak tau anak OSIS udah kerja keras buat ini? Sampe rela ngabisin tabungan mereka sendiri yang gak seberapa karena kalian yang gak mau bayar kas! Lo tuh harusnya bersyukur ya mereka gak maksa lo buat nyempurnain acara ini karena alasan basi lo itu. Bersyukur lo selama ini anak OSIS nahan gua buat gak ngebantai geng lo. Tapi liat— liat! Liat apa yang lo sama temen-temen lo lakuin.”

“Bukan cuma anak OSIS, semua orang marah sama lo sekarang,”

Lapangan kembali lengang. Menyisakan deru napas Irvan yang masih mencengkram kerah seragam siswa lain yang katanya membuat semua orang marah. Lagi pula siapa yang tidak akan marah, kalau persiapan pentas seni perpisahan yang sudah disiapkan sebaik mungkin dihancurkan begitu saja dengan alibi 'tidak sengaja'?

Sesegera mungkin setelah guru meninggalkan kelas, Irvan yang melihat kejadian itu dari jendela kelasnya langsung berlari secepat kilat dan memukul habis-habisan salah satu anggota geng yang ketahuan menghancurkan persiapan pentas. Mencengkram kerah seragamnya, memarahinya sejadi mungkin. Lalu membantingnya ke tanah dengan sangat kencang, yang suaranya mungkin terdengar sampai ke seluruh penjuru SMA Jembatan Pelangi.

Orang itu kembali berdiri, lalu mendecih. “Gaya banget. Anak OSIS juga bukan! Belagu lo jan-”

Belum selesai dengan kalimatnya, orang itu tersungkur lagi sembari menutup mulutnya yang bersimbah darah. “Pergi,”

Satya datang bersama Keenan dan Hanung yang berusaha menahannya. Terlambat, Satya telah menendang wajah siswa kurang ajar itu terlebih dahulu sebelum Keenan maupun Hanung sempat menghampirinya. Satya menendang wajah orang itu sekencang mungkin sebelum kata-kata buruk dari orang itu sampai di telinga temannya yang sensitif.

Sungguh, Satya tak pernah merasa semarah ini.

Mengenali bahwa Satya adalah salah satu anggota OSIS, orang itu bergegas pergi tanpa perlawanan sekalipun. Jalannya lunglai, menabrak ini dan itu. Tapi siapa yang peduli.

Keenan memeluk Irvan yang deru napasnya masih memburu. Tubuh Irvan bergetar hebat, sebelum ia meneteskan air matanya dalam pelukan Keenan. Hanung menuntun Satya yang masih tenggelam dalam lamunannya menuju kelas Hanung yang berada jauh dari lapangan. Mau tak mau Keenan mengikuti langkah Hanung.

Tangis Irvan mereda. Keenan tetap menepuk-nepuk bahu Irvan untuk menenangkannya.

“Harusnya lo gak usah dateng,” Ucap Irvan sembari mengusak rambutnya.

Satya menaruh kepalanya diatas tangan yang ia tumpukan pada meja. Ia tak mau melihat wajah Irvan sekarang, sungguh. “Gila lo. Orang itu bisa mati kalo gua gak dateng,”

“Nyatanya lo yang bikin dia hampir mati,” Celetuk Keenan sambil mengunyah permen karet yang ia bawa, sembari bermain dengan ponselnya.

“Bang Sat ga usah ngomong dulu. Biar gua wakilin,” Hanung berdehem sebelum memulai kalimatnya. “Bang Do, kenapa lo tiba-tiba mukulin anak itu? Padahal kan anak OSIS pasti bisa nyari solusi lagi,” Hanung menekankan kata 'pasti' yang selalu Satya gunakan. Padahal belum tentu Satya bisa menepati 'pasti' nya itu.

Hanung mengetahui apa yang ingin Satya ucapkan pada Irvan sekarang, jadi Satya hanya mendengarkan.

“Gak tau,” Yaa meski Satya tahu kalau ditanya berapa kali pun Irvan akan menjawabnya dengan jawaban yang sama.

Satya berdiri dengan senyum masamnya sambil menghentak meja. “Lo selalu begini, Do. Lo tuh aneh. Lo peduli banget sama sesuatu yang bukan urusan lo. Tapi lo sendiri? Lo gak pernah peduli udah berapa kali lo di skors karena bikin anak orang celaka. Dan yang bikin gue tambah gak enak itu lo ngelakuin ini semua dengan gue sebagai alasan! Gue-”

Irvan ikut berdiri dan menghentak meja. “Lo tau kan alasan gua begini? Karena lo! Lo gak pernah berusaha buat ngelindungin apa yang lo punya. Lo gak pernah nolak, lo gak pernah ngutarain apa yang mau lo sampein. Kerja keras lo gak pernah dihargain, dan lo pasrah selama lo gak merasa bakal terlibat ke masalah yang lebih jauh. Tapi kalo begini masalah lo gak bakal kelar, Sat!”

Kelas Hanung yang kosong jadi terasa makin kosong setelah Irvan selesai dengan kalimatnya. Satya berdehem, lalu kembali duduk. Irvan masih berdiri, tangannya bertumpu di meja. Wajahnya makin menekuk sekarang.

“Maaf,”

Tak mendapat respon dari Satya, Irvan hanya menghela nafasnya kasar dengan pupil yang bergetar. Celaka, Satya benar-benar marah.

“Maaf, Satya. Gua bikin rusuh mulu. Padahal bukan urusan gua juga, ya kan? Haha. Gua-”

“Ah. Sebenernya kenapa lo begini, sih?” Satya menatap mata Irvan tajam.

Irvan mengangkat kepalanya yang tertunduk. Ia juga tidak tahu kenapa ia rela melakukan semua ini demi Satya? Ia bingung. Ini muncul dengan sendirinya, setiap Satya ataupun segala yang berhubungan dengannya tersakiti.

“Nggak tau,” Irvan menghela napas panjang sembari mengacak-acak rambutnya. Tidak tahu apa yang tiba-tiba membuatnya terlihat seperti orang frustasi.

Keenan terkekeh, “Bilang lah kalo lu sayang, peduli sama dia!”

Hanung ikut tertawa. Mengingat Irvan tak mudah mengungkapkan apa yang ia rasakan, tapi tindakannya menunjukkan hal tersebut. “Intinya bang Ido peduli sama bang Satya, ya. Okaaaay, case closed,”

Sebenarnya hal ini sudah sering terjadi. Satya disakiti, Irvan memukuli siapa yang membuat Satya sakit hati, lalu Satya memarahi Irvan dan bertanya-tanya, kenapa ia bisa jadi seperti ini. Akhirnya Irvan meminta maaf, lalu ulangi.

Tanpa mengungkapkan apa yang dirasa pun, teman-temannya sudah tahu kalau Irvan menyayangi sahabat dengan mata minimalis nya itu.

Keenan tiba-tiba menunjukkan ponselnya kepada Satya. Entah hal apa yang membuat mereka tiba-tiba tertawa lepas. Satya meminjam ponsel Keenan, melakukan sesuatu pada ponsel Keenan sebelum ia pergi dengan kekehannya.

“Oke. Lo, gue maafin. Tapi jangan lupa cek grup wasaf SATUKITA ya Do, see u!” Ucap Satya, sebelum berlari keluar dari kelas Hanung.

Irvan terlihat bingung, “Apa sih Keen?”

Tepat, bel berbunyi. Keenan segera bersiap mengambil seribu langkah mundur untuk kembali ke kelasnya. “Liat aja, sih. Gue saranin sih jangan sampe Evan liat,”

Irvan segera merebut ponsel Hanung untuk melihat grup SATUKITA. Ternyata foto profil grup tersebut Satya ganti menjadi foto Irvan yang sedang menangis tadi.

Ah, ini pasti hasil jepretan Keenan.

Hanung yang baru melihatnya pun ikut tertawa keras. Irvan segera berlari dengan kecepatan maksimal, “sATYAAAAA GUA BETOT LO YA,”