Heroine

Lampu disko berkedip, warnanya silih berganti menyilaukan mata. Dentuman musik yang keras menggetarkan lantai-lantai ruangan. Kerumunan massa yang berdansa dengan riang menghalangi jalan, mengusik senangnya.

Tubuhnya lunglai, kepalanya berputar.

Seakan dimabuk cinta, yang nyatanya tak pernah ada selama ini. Tubuh mungil itu mulai tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi rapinya dengan mata setengah terpejam. Pemuda mungil itu terus berjalan tanpa mengetahui tempat mana yang akan ia tuju.

Naluri membawanya ke hadapan seorang pria yang asik berdansa dengan pria lain. Matanya memicing yakin. Ia telah membuktikan bahwa dugaannya benar,

bahwa Ia diselingkuhi.

Tubuhnya melemas, lututnya bergetar. Membuat akhirnya ia tersungkur di tengah keramaian.

Hatinya sakit. Napasnya sesak, matanya mulai menitikkan air mata. Tersisa senyum lebar yang tak luput dari wajahnya sedari tadi, suasana ini membuatnya gila. Tangannya mengepal, hendak menghapus air mata yang terus mengalir.

“Kenapa.. hidupku harus semenyedihkan ini?”

Senyum orang yang sedari tadi ia tunggu mulai menyapa penglihatannya. Hatinya makin tersayat melihat senyum yang sama, dalam suasana yang tak lagi sama.

Miris. Ia mengasihani dirinya sendiri.

Orang itu melepas kawan dansanya. Mengulurkan tangannya kepada pemuda lain yang tengah tersungkur dengan pasrah di depan panggung dansa sembari terus mengusak matanya.

“Mari berdansa,”

Pria mungil itu, Yeo Hwanwoong. Pikirnya masih kalut, berlari mencari jawaban yang bahkan tak memiliki pertanyaan.

Dentum musik kian mengeras, riuh suasana semakin menggairahkan. Akalnya kembali tersadar. Ini sesuatu yang Hwanwoong senangi.

Ia menerima uluran tangan tersebut dan berdiri dengan senang hati.

Ia berdiri, “Dengan senang hati.”

Tubuhnya dengan mudah terbawa oleh pria bertubuh jauh lebih jenjang darinya. Ia berputar indah dalam rengkuhan kekasihnya, meski tak mencoba untuk menjadi indah.

Irama musik mengiringi gerak kakinya. Senyumnya makin cerah, air matanya mulai mengering.

Gerakan tubuh pria Yeo itu menarik atensi orang-orang disekitarnya. Begitu indah, memukau.

Mereka berdansa seakan dunia milik mereka. Yeo Hwanwoong dan Lee Keonhee, sepasang insan yang pernah berjalan bersama, dengan kasih dan cinta. Bahkan setelah sampai di titik ini, mereka masih terlihat serasi.

Mereka terlalu sempurna untuk satu sama lain.

Sembari berdansa, Keonhee menatap wajah Hwanwoong lekat-lekat. Wajah itu, wajah indah yang pernah membuat Keonhee jatuh hati dan begitu terpikat pada pandangan pertamanya.

Kini memandangnya saja Keonhee tak sanggup.

Tubuh Hwanwoong terus berputar mengikuti gerakan tubuh Keonhee. Tak diperhatikan pun, Keonhee tak pernah gagal untuk menarik Hwanwoong kembali pada pesonanya.

Hwanwoong tertegun memikirkan bagaimana Keonhee selalu terlihat menawan. Bagaimanapun, bukan berarti Hwanwoong hendak kembali membuka hatinya untuk seseorang yang lebih banyak menyakitinya ini.

Mengakhiri hubungannya adalah skenario terbaik. Meski dramanya akan memiliki akhir yang menyedihkan,

ini adalah akhir yang Ia buat.

Di adegan terakhir, dansa selesai. Musik berhenti, membiarkan sayup bisikan orang menginterupsi pendengaran keduanya.

Hwanwoong tersenyum. Bukankah kini dramanya telah usai? Air matanya tak perlu lagi jatuh tanpa sebab.

Hwanwoong memeluk Keonhee untuk yang terakhir kalinya. Mengusap telinga serta rambutnya dengan lembut, kemudian membisikkan sesuatu.

“You must gone,”