—Long Time No See, Death

Felix menatap lurus laki-laki tampan yang kini berdiri di ambang pintu setelah turun dari kereta kudanya. Laki-laki itu balas menatapnya dengan senyum kecil yang tampak pada bibirnya.

Felix mengalihkan pandangannya ke sekitar, mencoba melihat reaksi orang-orang di sekitarnya kala laki-laki tampan itu mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah duka. Ia menelan ludahnya susah payah, sebab ia tidak menemukan satu orang pun yang sadar akan kedatangan laki-laki tampan tadi.

Tangan Felix mengepal di sebelah lipatan celananya, ia menahan mati-matian untuk tidak mengumpat. Felix tidak takut dengan laki-laki yang menyebut dirinya kematian itu, hanya saja entah kenapa tiap kali laki-laki itu datang, Felix selalu merasa tidak nyaman. Kehadiran “kematian” sering kali membuatnya lelah, ia merasa energinya terserap oleh sang kematian.

Laki-laki tampan itu semakin dekat dengan dirinya, seiring dengan langkah lebar yang laki-laki itu ambil.

“Long time no see, Felix,” sapa kematian kala ia sampai tepat di sebelah Felix.

Tubuh Felix bergetar, “Long time no see, Death.”

Kekehan timbul setelah laki-laki tadi menangkap getaran dari suara Felix. “I thought you weren't afraid of me.”

“I'm not afraid of you.”

“Lalu kenapa badanmu bergetar?”

Felix menghela napasnya, tidak menjawab pertanyaan laki-laki tadi, “Anyways, why did you come here?”

“You know, if I come to someone's funeral, it's mean the person who died is special for me.”

Felix menganggukan kepalanya sebagai tanda bahwa ia mengerti.

Kemudian laki-laki itu menggulung lengan jubah yang ia gunakan dan menampilkan setangkai mawar hitam yang ia genggam. Ia lalu berjalan mendekati peti mati yang belum ditutup di tengah-tengah ruangan, disimpannya mawar itu ke dalam peti mati dan kembali menghampiri Felix.

“Kamu tahu apa artinya mawar hitam?”

“Duka?”

Laki-laki itu terkekeh, “Kamu memang pintar. Aku turut berduka dengan kematian manusia spesial ini, aku mungkin akan merindukannya.”

Felix sontak menatap laki-laki tampan itu dengan raut wajah bingung, “Maksudmu dia juga sering bertemu denganmu seperti aku?”

“Tidak. Kamu tidak perlu cemburu, kamu adalah manusia paling spesial untukku. Mungkin dipemakamanmu nanti, aku akan memberikan ribuan bunga mawar untukmu.”

Mata Felix membulat, bulu romanya meremang mendengar soal kematiannya sendiri. “Aku tidak pernah tahu bagaimana diriku mati.”

Laki-laki it tertawa seolah yang Felix ucapkan adalah lelucon. “Kamu tidak perlu tahu, itu berbahaya untukmu.”

Tubuh Felix menegang, ia menghela napas, ada benarnya ucapan laki-laki ini, ia tidak perlu tahu bagaimana dirinya sendiri mati.

“Aku harus pergi sekarang,” ucap sang kematian sambil tersenyum, detik berikutnya kereta kuda miliknya mendekat ke arah pintu menghalangi jalan masuk. “Senang bertemu denganmu, Felix. Sampai jumpa lain waktu.”

Tanpa menunggu jawaban dari Felix, laki-laki itu berjalan keluar dengan langkah pasti. Kepala Felix terasa sangat pening, pandangannya mulai kabur seiring dengan langkah sang kematian. Napasnya tercekat dan tubuhnya terasa lemas.

“Lix?”

“Felix?”

Wajah khawatir Jisung adalah hal terakhir yang Felix lihat sebelum akhirnya gelap melingkupi dirinya.