— Why?

Felix baru saja merebahkan dirinya di atas ranjang ketika seseorang datang ke ruang rawat inapnya. Ia berniat memejamkan matanya saja, ia tahu kalau kakak sepupunya itu pasti akan mengomelinya habis-habisan karena ia bisa tiba-tiba sakit seperti sekarang.

“Halo Felix!” suara rendah yang tadi pagi ia dengar kembali menyapanya. Felix sontak membuka mata dan menegakan badannya guna memastikan siapa yang datang.

“Gimana? Pusingnya sudah hilang?” tanya dokter yang memeriksanya tadi pagi.

Felix tersenyum canggung, ia mengangguk pelan. “Udah mendingan kok, Dok,” jawabnya.

Ah. Ini kesempatannya untuk memastikan bahwa penglihatannya tadi pagi sedikit meleset. Ia menatap wajah sang dokter yang kini sedang mengecek tensi tubuhnya.

Dokter Seo yang merasa diperhatikan segera membalas tatapan mata Felix.

Hazel bertemu Onyx. Beberapa detik keduanya saling bertatap dalam diam.

Beep

Tatapan mereka terputus. Dokter Seo memeriks aangka-angka yang muncul pada alat pengukur tensinya. “Oh tensinya normal, kok.”

Felix menunduk, heran, ia masih tidak melihat bayangan apapun ketika keduanya saling bertatapan. Ini sangat aneh, seharusnya Felix dapat melihat kematian Dokter ini sejak pertama kali mereka bertemu.

“Felix?”

Minho membuka pintu ruang rawatnya, ia melihat sosok Jisung yang tertidur di atas sofa. Ia kemudian mendekat ke arah ranjang tempat Dokter Seo yang sedang memeriksa Felix juga Felix yang masih terbaring.

“Gue engga ngerti lagi sih, kok lo bisa-bisanya dehidrasi?” tanya Minho dengan nada yang terdengar galak di telinga Felix.

Yang ditanya hanya tersenyum lebar menampilkan barisan gigi putihnya dengan sangat canggung. Mata mereka bertemu, sontak saja bayangan mengenai kematian Minho datang ke kepalanya membuatnya sedikit pusing dan mual.

Dengan cepat ia mengalihkan tatapannya pada mata Dokter Seo. Ia masih tidak mendapat penglihatan apapun.

“Tadi pagi tensinya tinggi, sekarang sudah normal.”

Minho sontak menatap Felix, “Lo tuh kalau sakit bilang jangan diem-diem aja. Tau-tau pingsan.”

Felix memutar bola matanya malas, sementara Dokter Seo terkekeh. “Jangan dimarahin lah, Min, kalau dimarahin justru jadi makin males bilang kalau dia sakit.”

“Engga gitu, Bin, dia anaknya emang agak bandel,” jawab Minho sambil melirik ke arah Felix. “Jadi dia udah baikan kan?”

“Udah kok, keadaannya baik, kalau besok kondisinya stabil gini, boleh rawat jalan.”

Felix menghela napas lega, ia merasa senang akan kembali ke rumah.

“Sudah tidak ada yang ingin ditanyakan lagi?” tanya Dokter Seo pada Felix dan Minho yang kini saling meledek lewat tatapannya.

Felix kembali menatap mata Dokter Seo memastikan sekali lagi bahwa ia benar-benar tidak melihat apa-apa.

“Udah kok, nanti kalau dia mendadak kenapa-kenapa ada gue,” jawab Minho.

Setelah mendapat jawaban, Dokter Seo segera berpamitan dan meninggalkan ruang rawat inap Felix.

“WHAT THE FUCK?”

“APAAN?”

Felix memegang kepalanya yang terasa pening, bukan karena rasa sakitnya kembali, melainkan karena kenyataannya ia tidak dapat melihat sedikitpun kematian Dokter Seo. Itu aneh dan sangat mengganggunya.

“Lix? Sakit lagi?” tanya Minho yang kini mengambil tempat duduk di ujung ranjang Felix.

Felix menghela napasnya, ia menatap Minho, “Tuh kan gue bisa liat kematian lo!”

“ANJING!” umpat Minho sambil mendorong bahu Felix pelan. “Maksud lo apa? Gue udah tau lo bisa liat kematian gue, engga usah lo ingetin lagi dong!”

“Bukan gitu kak,” jawab Felix, ia meringis pelan sambil memijat pelipisnya, “Gue engga bisa liat kematiannya Dokter Seo.”

Minho mengernyitkan dahinya, ia kemudian tertawa, “Ngaco lo! Pasti lo salah.”

“Udah berkali-kali gue liat matanya, Kak, engga ada yang muncul di kepala gue! Aneh banget.”

Minho mendecak ia kemudian membetulkan posisi bantal Felix, “Mendingan lo tidur, deh, ya? Lo capek, engga usah mikirin yang engga penting begitu.”

Felix memajukan bibirnya, sebenarnya itu bukan hal kecil baginya. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya ia menemukan orang yang tidak bisa ia lihat kematiannya. Bukankah itu sangat aneh?

Namun ia juga malas untuk beradu argumen dengan kakak sepupunya itu. Maka ia segera merebahkan dirinya dan menarik selimut, menuruti perintah sang kakak.