— ...

Felix turun dari motor yang ia naiki, membuka helm yang ia kenakan dan membetulkan tatanan rambutnya sembari melihat dirinya dari kaca spion sebelum akhirnya melangkahkan kaki ke gedung UGD untuk menemui sepupunya.

Ketika sampai di sana, ia segera menghubungi Minho sambil duduk di kursi tunggu yang ada di sana. Berkali-kali ia menghubungi kakaknya itu tidak ada jawaban. Akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri resepsionis rumah sakit untuk menanyakan dokter Minho. Namun yang ia dapat malah jawaban bahwa kakak sepupunya itu tidak ada jaga malam hari ini.

Dengan kebingungannya Felix kembali duduk dan mencoba menghubungi Minho sekali lagi, beharap kakak sepupunya itu akan menjawab.

“Felix?”

Yang dipanggil sontak mendongak guna melihat siapa yang memanggilnya. Hazelnya menangkap sosok tegap yang mengenakan jas putih serta stetoskop yang mengalung di lehernya, Dokter Seo.

Felix tersenyum sopan, “Hai!”

“Lagi nunggu siapa?” tanya Changbin.

“Kak Min, tadi dia minta dianterin brownies ke RS.”

Changbin mengernyit, raut wajahnya terlihat heran. “Kamu yakin dia minta dianterin jam segini? Soalnya Minho udah pulang tadi sore. Dia engga ada jaga malam hari ini.”

Felix mengumpat dalam hatinya, ia yakin ini pasti akal-akalan Minho yang sengaja membuatnya harus bertemu dengan Changbin. Ia menghela napas berusaha untuk tidak terlihat kesal.

“Oh yaudah kalau gitu—”

Suara ambulance disusul dengan bangkar yang dibawa tergesa terdengar keras. Baik Felix maupun Changbin sontak langsung melihat ke arah suara. Di arah pintu masuk terlihat beberapa perawat sibuk mendorong bangkar berisi seorang laki-laki yang berdarah-darah.

Felix memejamkan matanya kala bangkar itu melintas di depannya, sekilas ia dan pasien yang terbaring di sana bertatap. Pusing mendera, Felix bisa mencium bau amis dan rasa sesak dalam dadanya. Bayangan akan kematian orang itu terekam jelas dalam kepalanya. Changbin di sana, di dalam ruangan dengan semerbak obat, pasien itu menghembuskan napasnya yang terakhir setelah Changbin memberikan pertolongan semaksimal mungkin.

“Felix saya harus pergi.”

Sebelum Felix sempat menjawab Changbin sudah pergi dari sana. Ia mendudukan dirinya di kursi tunggu yang ada di sana. Tiap kali ia melihat kematian seseorang terlihat dekat membuatnya sedikit cemas dan sedikit merasa bersalah? Entahlah ada secuil rasa kasihan, dan ingin menolong.

Namun Felix selalu ingat apa yang terjadi kala ia berusaha memperkecil kemungkinan kematian orang lain. Itu tidak akan pernah bekerja.

Felix menghela napas sebelum akhirnya ia berdiri kembali menghampiri meja resepsionis UGD.

“Halo mbak, saya titip ini untuk Dokter Seo ya!” katanya sambil memberikan tas kertas berisi brownies.

“Dari bapak siapa?”

“Felix.”

Setelahnya Felix berpamitan dan pulang.