Felix menundukan kepalanya kala pendeta di ujung sana mulai memberikan khutbahnya di hadapan peti mati berwarna putih itu. Matanya sesekali menyapu pemakaman mencari seseorang yang selalu menemuinya di tempat seperti ini.

Kepalanya sedikit pening sebab beberapa kali orang-orang di sana menatap tepat di matanya. Membuatnya tidak sengaja menyaksikan kematian mereka. Hembusan napas pelan serta gelengan kepala berkali-kali ia lakukan untuk menyingkirkan beberapa bayangan mengerikan dari kematian orang-orang ini.

Matanya masih menyapu sekitar, hingga getaran pelan di dalam saku jaketnya mengalihkan perhatiannya. Ia menjauh dari kumpulan orang-orang tadi dan merogoh sakunya mengambil benda persegi yang bergetar di dalam sana.

“Halo?”

“Lix? Sorry gue baru buka hp, lo gimana?” Suara Jisung di ujung sana terdengar sangat berat, laki-laki gembil itu pasti baru bangun.

“Engga gimana-gimana, gue udah hapusin tweet aneh gue dan acc akunnya Changbin. Lo baru bangun ya?”

“Ji, mau susu apa jus?”

Felix mengernyit kala ia mendengar suara yang sangat ia kenali dari ujung telepon. Ia berdecak pelan, “Oh Kak Minho di sana?”

Jisung terkekeh kecil dari ujung telepon, “Iya, dia nginep tadi malem.”

“Pantesan susah dihubungi lo.”

“Sorry.”

Felix diam. Hening mendera telepon mereka, hingga Jisung dapat mendengar sayup-sayup suara seseorang tengah memimpin doa.

“Lo dimana?”

“Gue lagi jogging, kenapa?”

“Jogging sama pendeta lo? Gue jelas denger ada yang berdoa di sana.”

Felix tertawa pelan, “Udah dulu, Ji. Gue harus pergi.”

Setelahnya ia menekan tombol merah dan kembali memasukan ponselnya ke dalam saku. Ia kembali memperhatikan pemakaman di ujung sana, peti mati itu mulai diturunkan. Ia menghela napasnya, dia tidak datang hari ini.

Maka Felix bergegas pergi dari sana sebelum pendeta itu menghampirinya, sebab ia tahu bahwa sang pendeta menyadari kehadirannya.