— The Moon

Felix keluar dari swalayan kala matanya menangkap sosok tegap dengan badan berotot yang baru saja turun dari mobil. Ia tersenyum dan segera menghampiri laki-laki yang sedari tadi ia tunggu. Kedua tangannya ia masukan ke dalam saku jaketnya guna mengurangi rasa canggung saat keduanya sudah saling berhadapan.

Changbin mengulum senyum sembari menyapa Felix yang sudah berdiri dua langkah di depannya. “Hai!”

“Hai!” jawab Felix. Mata laki-laki itu menyipit dengan kerutan di bawah kantung matanya yang membuatnya terlihat manis.

“Mau langsung pergi?” tanya Changbin dengan gestur menunjuk mobilnya yang terparkir di dekat mereka.

“Oh! Engga perlu naik mobil, kita jalan aja, tempatnya engga jauh kok,” katanya.

Changbin beroh ria, kunci mobilnya ia masukan ke dalam saku hoodie-nya. Ia kemudian mempersilakan Felix untuk berjalan terlebih dulu agar laki-laki virgo itu bisa menunjukan jalan menuju tempat makan yang sebelumnya Felix bilang.

Sementara Felix terkekeh kecil, menetralisir rasa canggung yang mengudara. Ia berjalan dua langkah di depan Changbin, kepalanya sangat berisik memaksanya untuk membuka percakapan guna mengusir hawa tidak enak antara mereka.

“Um... By the way Changbin,” panggilnya sambil memutar tubuhnya hingga ia berjalan mundur di trotoar. “Gue lupa tanya, lo engga masalah sama seafood kan?”

Changbin mempercepat langkahnya agar sejajar dengan Felix, sehingga laki-laki itu tidak perlu memutar tubuhnya, “Engga kok, emang lo mau bawa gue ke tempat makan apa?”

“La Mian” jawab Felix.

“Oh.”

Hening yang mendera setelahnya membuat Changbin sedikit merasa tidak enak karena mungkin reaksinya tidak terlihat senang.

Sedangkan Felix sendiri terhanyut dengan beberapa pikiran yang mendadak memenuhi kepalanya, mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika Changbin memang makhluk abadi. Apa yang akan Felix lakukan kalau percobaan pertamanya dalam mencaritahu ini berhasil?

Apakah ia akan berhenti dan menjauhi Changbin?

OH!

Yang terpenting apa yang akan ia lakukan jika Changbin adalah werewolf dan berniat akan memangsanya malam ini?

“Felix!”

“Hah?” Seluruh bayangan di kepalanya musnah kala sikunya ditarik kencang sampai tubuhnya limbung dan hampir tersungkur jika saja tangan Changbin tidak melingkar di pinggangnya.

“Lampu penyebrangannya masih merah,” bisik Changbin tepat di telinga Felix.

Felix melihat sekitar, ia tepat berada di ujung trotoar di depannya adalah jalan raya yang cukup ramai. Lampu penyebrangan jalan masih berwarna merah. Matanya seketika membelalak, sadar bahwa ia mungkin saja celaka jika Changbin tidak menariknya.

Ia baru saja mau menghela napas ketika ia merasakan keanehan. Tangan Changbin masih melingkar di pinggangnya menarik perhatian beberapa orang yang juga akan menyebrangi jalanan.

Thanks” ucapnya sambil melepas tangan Changbin yang masih melingkar di pinggangnya.

“Ah, sorry.


Felix kembali setelah memesan makanan dan berbincang dengan Koko pemilik kedai. Ia mendaratkan pantatnya di kursi berhadapan dengan Changbin yang kini matanya sedang menjelajahi kedai kecil itu.

Keduanya sekarang duduk di salah satu meja yang terletak di luar kedai, Felix sengaja memilih meja di luar agar ia bisa dengan mudah membawa Changbin jika asumsinya mengenai Changbin benar.

“Tempatnya oke kan?” tanya Felix dengan nada yang ramah.

Changbin mengangguk, “Oke kok. Cukup rame juga ya?”

“Iya, Koko yang punya udah buka kedainya 30 tahunan. Kedai ini cukup terkenal juga di sini, makanya rame sampe dibukain tempat out door juga.”

Yang lebih tua mengangguk mengerti. Ia masih meneliti sekitar, Changbin sedikit pemilih mengenai tempat makan terutama kebersihan sekitarnya. Ia tidak menemukan sesuatu yang aneh, semuanya terlihat bersih dan aman, maka kini ia menatap Felix yang duduk di depannya.

“Lo udah sering ke sini?” tanya Changbin memecah keheningan.

“Lumayan sering.”

“Sendirian?”

Felix mengernyit, “Engga juga sih, kadang sama Jisung pacarnya Kak Minho, atau sama Kak Minho juga sering.”

Pesanan mereka kemudian datang, Felix mempersilakan Changbin untuk mencicipi makanannya lebih dulu. Ia ingin tahu apakah laki-laki itu menyukai makanannya atau tidak. Matanya menelusuri wajah Changbin meneliti ekspresi yang tercetak di sana kala laki-laki itu mencicipi kuah dari mie yang ia pesan.

“Eum, enak,” ucap Changbin yang mengundang senyum manis di wajah Felix. “Pantes aja kalau lo sering ke sini.”

Keduanya kemudian sibuk menikmati makanan masing-masing sambil sesekali berbincang mengenai hal kecil, entah itu cuaca, musik atau yang lain. Untuk sejenak Felix melupakan tujuan utamanya mengajak Changbin makan malam di sini. Ia terbawa pada pembawaan Changbin yang menakjubkan baginya, sebab untuk pertama kalinya ia tidak perlu merasa mual atau kasihan pada lawan bicaranya tiap kali mata mereka saling bertatap.

Felix merasa nyaman berbicara dengan Changbin.

Ting!

Layar ponselnya menyala, memberikan satu notifikasi dari Jisung. Felix segera membawa benda tersebut dari atas meja dan membaca satu kalimat yang mengingatkannya mengenai misinya malam ini.

Hei, lo oke kan? Kalau ada apa-apa ketik 1. Kalau lo oke, ketik 2.

Jari-jarinya membalas pesan dari Jisung dengan cepat, kemudian ia menyimpan ponselnya ke dalam saku jaketnya sebelum akhirnya ia kembali menatap Changbin.

Felix berdehem untuk menetralisir jantungnya yang mndadak berdetak cepat. Ia gugup untuk menjalankan misinya, kepalanya kembali berisik mengenai kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Felix mendongak menatap langit gelap yang hanya diterangi benda bulat sempurna di atas sana.

“Oh, look! The moon is beautiful,” katanya sambil menunjuk ke langit.

Changbin ikut melihat ke langit sambil mengunyah makanannya.

“Isn't it?” lanjut Felix sambil masih melihat ke langit.

Changbin termenung, dahinya berkerut mendengar kalimat yang keluar dari mulut laki-laki manis di depannya itu. Ia bingung dan kaget dalam waktu yang bersamaan. Saraf-saraf di otaknya saling bersatu menyuarakan hormon adrenalin untuk membuat jantungnya bekerja lebih cepat.

Sementara Felix membeku di tempatnya setelah beberapa saat menyadari ada yang salah dari ucapannya. Pipinya memanas, rona merah muncul menjalar hingga ke kupingnya. Ia bisa merasakan dingin di telapak tangannya.

AH SIAL.

“A— I mean, the moon is beautiful for real. I didn't mean anything—”

Tawa renyah keluar dari mulut Changbin, di matanya Felix terlihat lucu. Laki-laki manis itu terlihat seperti tomat ceri kesukaannya. Menggemaskan. “I get it, Felix. Calm down.”