— Coincidence?

“Felix?”

Felix baru saja memasukan ponselnya ke dalam saku ketika namanya dipanggil. Ia buru-buru memasang wajah seramah mungkin dan mengalihkan pandangannya ke arah suara.

Di sana Changbin berdiri masih dengan jas dokternya tersenyum lebar ke arah Felix. “Tadi Minho minta gue buat susul lo ke sini, dia engga bisa ke sini soalnya ada konsul sama koas, terus kata dia lo engga tahu ruangan kita.”

Felix balas tersenyum sambil menganggukan kepala, mengiyakan pernyataan Changbin. Setelahnya Changbin mengajaknya langsung menuju ruangan mereka.

Selama keduanya berjalan beriringan rasanya ia benar-benar ingin menjitak kepala kakak sepupunya, sebab ia tahu betul kalau kakaknya itu hanya beralasan pada Changbin agar mereka bisa lebih dekat.

“Um... Lo apa kabar?” tanya Changbin berusaha melelehkan suasana antara mereka.

“Baik, kok, hehe. Lo gimana?”

“Baik juga sih.”

Lebih dekat pala lo, Felix mengumpat dalam hatinya, jengkel. Bukannya lebih dekat seperti yang Minho bilang, mereka hanya saling canggung satu sama lain. Apalagi setelah kejadian di kedai minggu lalu, Felix bisa saja memukul wajahnya sendiri tiap kali mengingat kejadian itu, memalukan.

“Di sini,” ucap Changbin sambil menunjuk satu ruangan yang pintunya tertutup. Ia kemudian membuka pintu dan mempersilakan Felix masuk.

“Oh Felix!” sapa Minho saat pertama kali Felix masuk ke dalam ruangan. “Sini, duduk,” katanya sambil menarik satu kursi ke sebelahnya.

Felix kemudian langsung mengambil tempat yang Minho tunjukan. Ada beberapa orang di sana yang sedang berbicara dengan Minho diantaranya memegang pena dan buku di tangan mereka, sepertinya memang benar Minho sedang berbicara dengan beberapa koas. Namun tetap saja kesalnya masih terasa.

Mata Felix melirik Changbin yang ikut menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Laki-laki itu ikut menyimak percakapan antara Minho dan beberapa dokter muda itu. Sementara Felix hanya bisa mendengarkan sambil menghindari mata para dokter muda di depannya.

Setelah beberapa menit, akhirnya Minho menyuruh para dokter muda itu untuk makan siang. Barulah kakak sepupunya itu melirik Felix.

“Jadi lo ngapain ke sini?”

Felix jelas mengernyit, “Lo katanya mau garlic bread yang gue bikin?”

Alis Minho terangkat sebelah, “Serius buat nganterin garlic bread aja? Engga ada yang lain?”

AH, Felix jelas mengerti kemana pembicaraan ini berlangsung. Ia memutar matanya malas. Meskipun Minho tidak sepenuhnya salah, tetap saja rasanya sangat menyebalkan.

“Engga,” jawab Felix singkat. Tangannya membuka goodie bag yang ia bawa mengeluarkan dua buah tempat makanan yang berisi roti itu.

Satu box ia berikan kepada Minho, satunya lagi ia sodorkan pada Changbin yang kini duduk di sebelahnya sambil membaca beberapa dokumen yang Felix tidak tahu isinya.

“Eh?” Changbin menatap Felix heran, “Buat gue?”

“Iya. Gue buatnya banyak, jadi sekalian aja buat lo,” kata Felix. Matanya menatap lamat wajah Changbin yang terlihat sedikit terkejut.

Changbin tersenyum, ah bukan, tertawa kecil. Tangannya membuka box makanan itu dan mengambil satu potong roti dari sana. “Makasih ya! Kebetulan banget gue emang suka garlic bread.”

Jawaban tidak terduga itu membuat Felix mengerjapkan matanya beberapa kali. Apakah artinya Changbin bukanlah Vampire seperti dugaannya?

Hipotesanya salah lagi?

“Oh?”

Felix melirik Changbin yang terlihat sangat terkejut setelah menggigit rotinya. Ia menatap Changbin, jantungnya berdegup kencang. Ia pikir mungkin saja Changbin bereaksi atas bawang putih.

“Waw. I think this is the best garlic bread ever,” katanya sambil mengelap bibirnya yang sedikit berantakan dengan remahan roti.

Tanpa sadar senyum Felix melebar, pipinya terasa sedikit memanas. Ia bahkan meraba nadinya sendiri, sebuah kebiasaan saat ia gugup. “Lo berlebihan,” balas Felix.

Semetara Changbin malah terkekeh sambil meneruskan kegiatannya menghabiskan roti itu dengan wajah senang.

“Ekhem, kayaknya gue engga kelihatan ya di sini?”

Felix mengalihkan perhatiannya pada Minho yang masih di posisinya. Ia memutar matanya malas sebab Minho kini menaik-turunkan alisnya menggoda Felix.

“Gue balik ya? Bentar lagi gue gantian shift sama anak-anak di Aine.”

Changbin yang mendengarnya langsung menutup box makanannya, “Biar gue anter ke depan.”

“Yap, ide bagus, gue mau makan,” kata Minho sambil mulai membuka kotak makannya.

Felix jelas menolak tawaran Changbin, ia bukan anak kecil yang harus diantar ke pintu keluar. Namun Changbin dan Minho tidak akan membiarkannya pergi sendiri, jadi ia hanya bisa pasrah saja atas kemauan dua orang itu.

Baru beberapa langkah Felix dan Changbin keluar dari ruangan, suara ambulance juga bangkar yang didorong terdengar. Changbin dengan cepat berlari menghampiri beberapa perawat yang mendorong bangkar itu, diikuti Felix di belakang.

Mata Felix membulat kala menangkap pasien yang ada di atas bangkar itu adalah pasien yang sama dengan dua minggu lalu. Pasien yang sempat ia pikir sudah tiada. Tangannya bergetar saat mata mereka kembali bertemu, mengundang bayangan yang sudah pernah Felix lihat.

Pasien itu akan meninggal setelah Changbin berikan pertolongan, itu akan benar-benar terjadi sekarang.

“What happend?” tanya Changbin pada salah satu perawat yang mendorong bangkar.

“Pendarahan dari luka jahitan minggu lalu.”

Changbin terlihat bingung sebab jika pendarahan biasa tidak mungkin darahnya sebanyak ini. “Pendarahan?”

“Keluarganya bilang dia ditusuk di tempat yang sama seperti kecelakaan dua minggu lalu.”

Mata Changbin membulat, ia kemudian melirik Felix, “Felix, gue kayaknya engga bisa—”

“Gue bisa pulang sendiri,” kata Felix, ia menahan rasa mual dan pusing yang ia rasakan.

Changbin mengangguk kemudian menyusul pasien ke dalam ruangan untuk memberi tindakan.

Sementara Felix meraba-raba tembok di sebelahnya, mencari pegangan sebab kepalanya terasa sangat sakit. Seluruh dunia berputar di kepalanya saat ini. Tubuhnya melemas di salah satu bangku di sana.

Sebisa mungkin Felix mengatur napasnya, mengusir panik yang ia rasa. Tangannya memijit pelan pelipisnya.

“I thought you get used to it after all this time.”

Felix menegang, ia mengenali suara ini. Felix melihat ke arah suara. Matanya menangkap laki-laki tampan yang duduk di sebelahnya.

“Long time no see, Felix.”

Felix mendecih, “Akhirnya kamu muncul juga.”

Sang Kematian tertawa, “Ah, aku tahu beberapa minggu ini kamu mencariku, apa yang mau kamu tanyakan?”

Sebelum sempat Felix membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan sang kematian, Changbin keluar dari ruangan mencuri perhatian Felix. Matanya melihat ekspresi wajah Changbin yang kini sedang berhadapan dengan keluarga pasien tadi, laki-laki bergelar dokter itu terlihat sangat sedih dan kecewa, membuat Felix memejamkan matanya tidak tega.

“Oh, so you already met him?”

Sontak Felix mengalihkan pandangannya pada Sang Kematian. Alisnya berkerut bingung dengan perkataan laki-laki itu.

Sang Kematian tertawa, “Your special one?”

“What?”