Mendacious : Aria

Abian menatap Yoffie dan beberapa temannya yang mengobrol mengenai beberapa urusan bisnisnya yang Abian tidak mengerti, oh bukan, lebih tepatnya ia tidak tertarik. Sebenarnya jika boleh jujur ia ingin tidur lebih lama, efek jetlag yang ia alami masih sangat terasa, meski pun perbedaan waktu antara Indonesia dan Australia hanya tiga jam, tapi perjalanan selama 19 jam membuat kepalanya cukup pening.

Matanya iseng menyapu seluruh ruangan restoran, tidak ada yang menarik selain pemandangan yang disuguhkan dari jendela yang menghadap langsung ke Sydney Harbour Bridge. Hingga seseorang yang masuk bersama seorang pelayan mencuri seluruh perhatiannya.

Laki-laki dengan kemeja hitam dan rambut pirangnya itu mengambil tempat duduk yang tidak jauh dari mejanya saat ini. Ia tersnyum kecil, sepertinya Sydney cukup kecil untuk mereka berdua?

Abian memperhatikan Felixiano dari tempatnya duduk, laki-laki cantik itu tampak ramah berbicara pada waitress yang mencatat pesanannya. Abian bisa melihat kerutan halus yang tampak di sekitar mata Felix kala laki-laki itu tersenyum. Masih selalu sama, senyum Felixiano, sama cantiknya seperti dua tahun lalu, bedanya ia tidak bisa melihatnya dari dekat.

Felixiano memperhatikan pemandangan di luar jendela. Sesekali ia membuka ponselnya, yang membuat Abian jadi yakin kalau laki-laki cantik itu tidak akan datang sendirian.

Sepuluh menit berlalu, Abian masih diam-diam memperatikan Felixiano dari tempatnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa seseorang akan datang untuk menemani laki-laki itu, maka dalam hatinya Abian bertaruh, jika dalam lima menit Felixiano masih duduk sendirian, ia akan menghampiri laki-laki itu.

Terdengar gila. Tapi rasanya lebih gila lagi kalau orang yang membuatnya jauh-jauh mengejar USYD ada di dekatnya tanpa bisa ia ajak bicara.

Abian menyingsingkan lengan kemeja yang ia pakai membuatnya lebih mudah untuk melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Matanya dengan tajam memperhatikan jarum detik di sana sambil sesekali melirik ke arah Felixiano yang masih duduk seorang diri.

Lima.

Empat.

Tiga.

Dua.

Satu.

Jarum jam itu melalui angka 12 untuk yang kelima kalinya. “Fi, gue ke toilet bentar, ya?”

Yoffie hanya menoleh lalu mengangguk tanpa mengatakan apa-apa, ia masih sibuk membicarakan pekerjaannya.

Abian dengan yakin melangkahkan kakinya mendekati meja Felixiano, sementara Felix menundukan kepalanya sibuk dengan ponselnya. Jantungnya berpacu kencang, ada rasa rindu dan kalut yang berkumpul di dalam dadanya, dan dalam setiap langkahnya rindu yang ia rasa bertambah.

“Sorry cupcakes! Aku terlambat sedikit.”

AH! Semua perasaan yang ia rasakan meletup kala matanya menangkap laki-laki jangkung yang datang dan mengecup pipi Felixiano lembut lalu duduk di depan laki-laki cantik itu.

Abian terkekeh pelan, ia langsung mengabil langkah cepat menuju toilet.


Pemilik pupil coklat itu terpejam sembari menghela napas lega. Ia melirik sosok tegap yang baru saja melalui mejanya. Dari cara berjalannya, punggungnya, semuanya, Felixiano masih sangat hafal siapa yang baru saja berpapasan dengannya. Ada ketir yang terasa di mulutnya sebab sejak tadi ia menggigit bibirnya berusaha mengalihkan rasa gugup.

Dalam hati ia berterima kasih karena Harel datang tepat waktu.

“Kenapa? Ada yang ganggu kamu?” tanya Harel sambil menangkup pipi Felixiano, laki-laki itu menangkap raut tidak biasanya di wajah Felix.

Yang ditanya menggeleng, tangannya menggengam tangan Harel yang masih mengelus pipinya, “Engga apa-apa, kok. Engga usah khawatir.”